Jelaskan apa yang dimaksud politik etis dan apa pengaruhnya terhadap pergerakan nasional?

dibaca normal 3 menit

Penulis: Yuda Prinada
tirto.id - 23 Sep 2021 21:55 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Politik Etis adalah politik "balas budi" yang mengawali sejarah dimulainya era pergerakan nasional. Berikut ini tujuan, tokoh, isi, dan dampak Politik Etis.

tirto.id - Politik Etis adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 17 September 1901. Politik Etis disebut pula sebagai Politik Balas Budi.

Politik Etis mengawali sejarah dimulainya era pergerakan nasional di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Politik Etis bermula dari kebijakan tanam paksa.

Advertising

Advertising

Tahun 1830, Johannes van den Bosch yang merupakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu, menetapkan kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel. Ketika aturan ini berlaku, masyarakat Indonesia dipaksa menanam komoditas ekspor demi kepentingan Belanda.

Akan tetapi, banyak penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan cultuurstelsel ini. Dampak yang ditimbulkan amat sangat menyengsarakan rakyat.

Tujuan dan Tokoh Politik Etis

Mulai muncul kritikan dan kecaman atas pelaksanaan tanam paksa, bahkan dari kalangan orang Belanda sendiri. Akibatnya, dikutip dari artikel bertajuk “Politik Etis Sebagai Awal Lahirnya Tokoh-tokoh Pergerakan Nasional" dalam website Kemendikbud, sistem tanam paksa akhirnya dihentikan pada 1863.

Baca juga:

Meskipun begitu, tanam paksa terlanjur menimbulkan kerugian besar bagi rakyat Indonesia. Maka, beberapa aktivis dari Belanda seperti Pieter Brooshooft dan C. Th. van Deventer memprakarsai digagasnya Politik Etis sebagai bentuk balas budi kepada rakyat Indonesia.

Van Deventer pertama kali mengungkapkan perihal Politik Etis melalui majalah De Gids pada 1899. Ternyata, desakan terkait ini diiterima oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sejak 17 September 1901, Politik Etis pun resmi diberlakukan.

Infografik SC Politik Etis Hindia Belanda. tirto.id/Sabit

Isi Politik Etis

Politik Etis berfokus kepada desentralisasi politik, kesejahteraan rakyat, dan efisiensi. Terkait isinya, terdapat tiga program utama, yakni irigasi, edukasi, dan emigrasi.

1. Irigasi

Dalam program ini, pemerintah Hindia Belanda melakukan pembangunan fasilitas untuk menunjang kesejahteraan rakyat. Sarana dan prasarana untuk menyokong aktivitas pertanian serta perkebunan diberikan, meliputi pembuatan waduk, perbaikan sanitasi, jalur transportasi pengangkut hasil tani, dan lainnya.

Baca juga:

2. Edukasi

Melalui program edukasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan upaya mengurangi angka buta huruf masyarakat dilakukan. Selain itu, mulai dilaksanakan pengadaan sekolah-sekolah untuk rakyat.

Akan tetapi, berdasarkan penjelasan Suhartono dalam Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945 (2001:7), hanya laki-laki saja yang boleh mengenyam pendidikan kolonial kala itu, sedangkan perempuan belajar di rumah.

Baca juga:

3. Emigrasi

Program emigrasi diterapkan dalam rangka meratakan kepadatan penduduk di Hindia Belanda atau Indonesia. Pada 1900 saja, Jawa dan Madura telah dihuni oleh 14 juta jiwa.

Melalui kebijakan yang aktif mulai 1901 ini, didirikan pemukiman-pemukiman baru di Sumatera yang disediakan untuk tempat perpindahan rakyat dari wilayah padat penduduk.

Baca juga:

Dampak Politik Balas Budi

Awalnya, kebijakan Politik Etis memang terlihat menguntungkan rakyat Indonesia. Akan tetapi, dalam perjalanannya terjadi penyimpangan Politik Balas Budi yang dilakukan oleh orang-orang Belanda.

Dampak Negatif

Dalam program irigasi, upaya pengairan yang ditujukan untuk aktivitas pertanian tidak berjalan mulus. Air yang disalurkan ternyata hanya untuk orang-orang Belanda, sedangkan kaum pribumi seakan dipersulit sehingga menghambat kegiatan pertaniannya.

Berikutnya, dalam program edukasi, pemerintah kolonial Hindia Belanda ternyata punya niatan buruk. Mereka ingin memperoleh tenaga kerja dengan kualitas SDM tinggi namun dengan upah rendah.

Program edukasi yang awalnya ditujukan untuk semua golongan, pada kenyataannya didominasi oleh orang-orang kaya atau dari kalangan bangsawan saja sehingga terjadi diskriminasi dalam hal pendidikan.

Baca juga:

Dampak Positif

Meskipun terjadi penyelewengan yang menimbulkan dampak negatif, Politik Etis setidaknya juga menghadirkan beberapa dampak positif bagi bangsa Indonesia.

Diterapkannya Politik Etis memicu lahirnya berbagai organisasi pergerakan dan perhimpunan yang bersifat daerah maupun nasional di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan lain-lain.

Program edukasi yang diberikan dalam Politik Etis melahirkan kaum terpelajar dari kalangan pribumi. Mereka inilah yang kemudian mengawali era pergerakan nasional dengan mendirikan berbagai organisasi yang berjuang melalui pemikiran, pengetahuan, hingga politik.

Baca juga:

Nantinya, berbagai organisasi pergerakan ini berganti wujud menjadi partai politik yang memperjuangkan kesetaraan atau merintis upaya kemerdekaan bagi Indonesia.

Politik Etis berakhir ketika Belanda menyerah dari Jepang tahun 1942 dalam Perang Asia Timur Raya atau Perang Dunia Kedua.

Tahun 1945, giliran Jepang yang kalah di Perang Dunia Kedua sehingga membuka peluang bagi bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Baca juga:

Baca juga artikel terkait POLITIK ETIS atau tulisan menarik lainnya Yuda Prinada
(tirto.id - prd/isw)

Penulis: Yuda Prinada Editor: Iswara N Raditya Kontributor: Yuda Prinada

© 2022 tirto.id - All Rights Reserved.

Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728)

403

POLITIK ETIS DAN PENGARUHNYA BAGI LAHIRNYA PERGERAKAN BANGSA INDONESIA

Agus Susilo

Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Lubuklinggau

Isbandiyah

Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Lubuklinggau

Abstrak

Politik etis dipusatkan membangun irigasi, menyelenggarakan emigrasi, dan memberikan

sebuah pendidikan bagi bangsa Indonesia. Politik etis menuntut bangsa Indonesia kearah

kemajuan, namun tetap bernaung di bawah penjajahan Belanda. Awal mula dilaksanakan

dengan penuh tanggung jawab, bahwa Belanda memperhatikan pribumi dan membantu

Indonesia dalam masa kesulitan. Meskipun pada kenyataannya kebijakan politik etis tidak

serta merta mensejahterakan rakyat Indonesia, namun mampu merubah tatanan

kehidupan bangsa, dimana sistem irigasi ada dimana-mana, masyarakat mengenal sistem

pertanian dan perkebunan modern. Emigrasi atau trasmigrasi, dimana masyarakat dikirim

keluar pulau Jawa, masyarakat Indonesia menjadi kenal satu sama lain dan membangun

hubungan yang baik. Dampak politik etis yang sangat menonjol adalah program edukasi

atau pendidikan. Adanya pendidikan bagi bangsa Indonesia, akhirnya dapat merubah

pemikiran bangsa Indonesia untuk berfikir lebih maju dan bagaimana memperjuangkan

suatu kemerdekaan tanpa jalan perang seperti di masa silam. Keuntungan dibidang

pendidikan, yaitu banyak melahirkan tokoh cendikian lokal yang cerdas dan memiliki

pemikiran yang setara dengan bangsa barat lainnya. Tokoh Cendikian atau golongan

terpelajar bangsa Indonesia inilah yang akhirnya memperjuangkan kemerdekaan rakyat

Indonesia dengan semangat nasionalisme dengan cara diplomasi dan perang kemerdekaan

Indonesia.

Kata Kunci: Politik Etis, Pergerakan, Indonesia

Abstract

Ethical politics is centered on building irrigation, organizing emigration, and providing

education for the Indonesian people. Ethical politics demands the Indonesian nation

towards progress, but remains under Dutch colonial rule. The beginning was carried out

with full responsibility, that the Dutch took notice of the natives and helped Indonesia

in times of adversity. Despite the fact that ethical political policy does not necessarily

prosper the people of Indonesia, but is able to change the life of the nation, where

irrigation systems are everywhere, people are familiar with modern farming and

plantation systems. Emigration or migration, where people are sent out of Java,

Indonesian people become acquainted with each other and build good relationships. The

very prominent impact of ethical politics is education or education programs. The

existence of education for the Indonesian people, finally can change the thinking of the

Indonesian people to think more advanced and how to fight for independence without a

road to war like in the past. Advantages in the field of education, namely giving birth to

many local character figures who are smart and have thoughts that are equivalent to

other western nations. This Indonesian character or educated group finally fought for

the independence of the Indonesian people in the spirit of nationalism by means of

diplomacy and the war of Indonesian independence.

Keywords: Ethical Politics, Movement, Indonesia

PENDAHULUAN

Perkembangan baru dalam politik

Belanda di Indonesia terjadi di Indonesia

sekitar awal abad ke-20. Politik baru

yang perkembangannya berpedoman

pada peningkatan kemajuan rakyat

Politik Etis dan Pengaruhnya bagi Lahirnya Pergerakan, Agus Susilo & Isbandiyah, 403-416

404

Indonesia. Politik baru tersebut disebut

dengan ethische politic, yang berarti

politik haluan utama (Mulyono, 1968:

99). Menurut Ricklefs, (2007:319). pada

permulaan abad ke-20, kebijakan

penjajahan Belanda mengalami

perubahan arah yang paling mendasar

dalam sejarahnya. Kekuasaannya

memperoleh definisi kewilayahan baru

dengan selesainya upaya-upaya

penaklukan yang dilakukan sebelumnya.

Kebijakan kolonial Belanda tersebut kini

juga memiliki tujuan baru. Politik Etis

berakar pada masalah kemanusiaan dan

sekaligus pada keuntungan ekonomi.

Kecaman-kecaman terhadap pemerintah

kolonial Belanda yang dilotarkan dalam

novel Max Havelaar (1860) dan dalam

dalam berbagai pengungkapan lainnya

mulai membuahkan hasil. Semakin

banyak suara Belanda yang mendukung

pemikiran untuk mengurangi penderitaan

rakyat Jawa yang tertindas (Galih,

Dhimas Rangga & Artono, 2017: 752).

Sepanjang abad kesembilan belas,

surplus tanah koloni telah diserap setiap

tahun sebagai upeti ke kas Belanda.

Sebagai berkat pembayaran ini, Belanda

dapat memodernisasikan dan

membangun masyarakat borjuis yang

sukses. Menjelang masa Depresi, Partai

Liberal telah menjadi arus dominan

dalam pembuatan kebijakan dan politik

di Belanda. Periode Politik Etis

sebenarnya tergantung pada penaklukan

militer dalam waktu yang bersamaan

dengan itu, karena hanya ketika Hindia

Belanda tergabung ke dalam satu entitas

tunggal saja yang memiliki tujuan

modernisasi sampai dapat dicapai. Di

bawah pemerintahan Gubernur Jenderal

van Heutsz jaringan kereta api diperluas

di Jawa dan Sumatera, monumen kuno

seperti Candi Borobudur dipugar, dan

kesempatan pendidikan diperluas

selebar-lebarnya (Vickers, Adrian, 2011:

24-27).

Politik Etis berakar pada masalah

kemanusiaan dan sekaligus pada

keuntungan ekonomi. Di Hindia Timur

pada tahun-tahun permulaan abad kedua

puluh, orang telah mulai bekerja

mengembangkan semangat Politik Etis.

Di abad ke-19, sebagian orang Belanda

sudah mulai prihatin terhadap

kesejahteraan dan status pribumi.

Bangsa Indonesia membutuhkan sebuah

perubahan kehidupan perekonomian dan

pendidikan. Kemauan dari politik etis

yang diberikan oleh bangsa Belanda

terhadap bangsa Indonesia yang lemah

secara adil. Untuk menumbuhkan

kesadaran diri dan perasaan

individualisme pada elit baru Indonesia

yang berpendidikan Barat itu sebenarnya

suatu pengurangan terus menerus

meningkatkan martabat mereka, yang

berakibat pada pengurangan kekuasaan

tata pemerintahan pribumi (Van Niel,

Robert, 1984: 58).

Van Deventer mendapat inspirasi

untuk tulisannya didasarkan atas

Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728)

405

pandangannya terhadap politik

penghisapan yang dilakukan oleh bangsa

penjajah terhadap masyarakat Hindia-

Belanda (Indonesia). Ia menganggap

bahwa masyarakat Hindia-Belanda sudah

cukup mengalami penderitaan dalam

upaya untuk memakmurkan

perekonomian negara Belanda. Menurut

Van Deventer, sudah saatnya pemerintah

Belanda memperhatikan kemajuan

rakyat jajahannya. Pemerintah Belanda

harus menebus hutangnya kepada

masyarakat pribumi dengan memberikan

prioritas utama yaitu mensejahterakan

mereka (Utomo, 1995: 13). Di awali

dengan adanya kesadaran nasional yang

pernah dicetuskan oleh R.A. Kartini,

karena Kartini telah memasukkan

mimpinya nation bewustzjin (kesadaran

berbangsa). Oleh karena itu periode

Kartini ini lebih tepat disebut “Awal

Kesadaran Nasional”. Sedangkan

berdirinya Budi Utomo dapat disebut

“Awal Pergerakan Nasional”. Kartini

masih bergerak secara individu,

sedangkan Budi Utomo bergerak secara

organisasi pergerakan nasional. Melalui

pergerakan nasional inilah, akhirnya

tercapai “Proklamasi Kemerdekaan

Indonesia”. Proklamasi inilah yang

disebut sebagai puncak-puncak

pergerakan nasional (Sudiyo, 2002: 17).

Melihat latar belakang dari proses

pembetukan sistem politik yag baru,

yaitu Politik Etis, maka penulis ingin

mengungkapkan bagaimana proses

pelaksanaan dari Politik Etis tersebut

serta dampak yang ditimbulkan setelah

diberlakukannya sistem politik tersebut.

METODE PENELITIAN

Jenis penilitian ini yaitu penelitian

sejarah yang mana metode yang

digunakan yaitu metode penelitian

sejarah. Metode Sejarah yaitu

penelaahan serta sumber-sumber lain

yang berisi informasi mengenai masa

lampau dan dilaksanakan secara

sistematis. Proses penelitian sejarah

terdiri penyelidikan, menjelaskan dan

memahami kegiatan atau peristiwa yang

terjadi beberapa waktu yang lampau

untuk menemukan kebenaran. Metode

sejarah itu sendiri mempunyai empat

langkah yang berurutan: heuristik, kritik,

interpretasi, dan historiografi

(Gottschalk, 2008 : 39).

Pelaksanaan penelitian dilakukan

melalui tahapan sesuai dengan metode

penelitian yang digunakan yaitu metode

historis. Peneliti mengunakan tahapan

penelitian sebagimana yang diungkapkan

oleh Sjamsuddin (2007:85-155), yaitu

pengumpulan sumber (heuristik), kritik

sumber, serta interprestasi dan penulisan

sejarah (historiografi).

Heuristik adalah teknik mencari

sumber. Berdasarkan bentuk

penyajiannya, sumber-sumber sejarah

terdiri atas arsip, dokumen, buku,

majalah/jurnal, surat kabar, dan lain-

lain. Saat ini data sejarah bisa di dapat

Politik Etis dan Pengaruhnya bagi Lahirnya Pergerakan, Agus Susilo & Isbandiyah, 403-416

406

dari berbagai macam cara selain studi

pustaka, sumber sejarah juga dapat

diakses melalui media cetak dan

elektronik. Yang terpenting seorang

peneliti harus mengetahui bagaimana

menangani bukti-bukti sejarah dan

bagaimana menghubungkannya (Alian,

2012: 9-10). Agar pencarian sumber

berlangsung secara efektif, dua unsur

penunjang heuristik harus diperhatikan,

yaitu: a) pencarian sumber harus

berpedoman pada kerangka kerja, serta

memperhatikan permasalahan-

permasalahan yang tersirat dalam

kerangka tulisan (bab dan subbab),

peneliti mengetahui sumber-sumber yang

belum ditemukan. b) Dalam mencari

sumber di Perpustakaan, peneliti wajib

memahami sistem katalog Perpustakaan

yang bersangkutan.

Dalam menggunakan sumber-

sumber sejarah, haruslah mengevaluasi

atau melakukan kritik terhadap sumber-

sumber yang digunakan. Kritik sumber

adalah proses menguji sumber, apakah

sumber yang dikemukakan asli atau palsu

(kritik ekstern) dan apakah dapat

dipercaya atau dipertanggung jawabkan

atau tidak. Kritik ada dua macam, yaitu:

Kritik Ekstern dan Kritik Intern. Kritik

ekstern adalah menyelidiki untuk

menentukan keaslian dengan menjawab

pertanyaan-pertanyaan 5W + 1H.

Sedangkan kritik intern adalah

penentuan dapat tidaknya keterangan

dalam dokumen digunakan sebagai fakta

sejarah (Yass, 2004: 35-36). Jadi dapat

disimpulkan bahwa kritik intern

dilakukan untuk mencari keaslian isi

sumber atau data guna memperoleh

suatu kebenaran atau kekeliruan yang

terjadi, sedangkan kritik ekstern

bertujuan untuk mencari keaslian sumber

yang ditelusuri melalui kritik intern

(Alian, 2012: 11).

Interpretasi menyatakan bahwa

interpretasi menganalisis data-data

sejarah. Dengan interpretasi ini penulis

berusaha untuk menghubungkan fakta

atau berusaha untuk dapat memberikan

penafsiran apa yang ada dalam penulisan

laporan penelitian ini. (Kuntowijoyo,

1994: 100). Penafsiran atas fakta harus

dilandasi oleh sikap obyektif. Kalaupun

dalam hal tertentu bersikap subyektif

rasional dan jangan subyektif emosional.

Rekontruksi peristiwa sejarah harus

menghasilkan sejarah yang benar atau

mendekati kebenaran.

Historiografi adalah merangkaikan

fakta beserta maknanya secara

kronologis/diakronik dan sistematis,

menjadi tulisan sejarah sebagai kisah.

Kedua sifat uraian itu harus benar-benar

terlihat, karena kedua hal itu merupakan

bagian dari ciri karya sejarah ilmiah,

sekaligus ciri sejarah sebagai ilmu.

Historiografi juga suatu perpaduan

antara kerja seni (art) dan kemampuan

berpikir kritis serta analitis (science)

(Gottschalk, 2008 : 39-40).

Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728)

407

PEMBAHASAN

Proses Pelaksanaan Politik Etis di

Indonesia

Pelaksanaan politik etis oleh

pemerintah kolonial Belanda, sudah

pasti, tidak lepas dari kepentingan

kolonial Belanda. Politik etis menuntun

bangsa Indonesia kearah kemajuan,

namun tetap bernaung di bawah

penjajah Belanda. Politik Etis secara

resmi ditetapkan pada bulan September

1901, ketika Wilhelmina menyampaikan

pidato tahunan. Awal mula dilaksanakan

dengan penuh tanggung jawab, bahwa

Belanda memperhatikan pribumi dan

membantu Indonesia saat mengalami

kesulitan. Tidak ada tekad baik dan

keikhlasan hati yang tulus untuk

melaksanakannya. Mereka berbuat

demikian karena takut kritik dan takut

kalau tetap membiarkan penderitaan

penduduk pribumi terus menerus akan

memicu timbulnya perlawanan rakyat

secara meluas atau terus menerus. yang

kolonialistik-eksploitatis (Daliman, A,

2012: 72).

Pada 17 September 1901 Ratu

Belanda, yaitu Ratu Wilhelmina (1890-

1948) mengumumkan mengenai suatu

penyelidikan tentang taraf kesejahteraan

masyarakat yang berada Jawa. Isi pidato

dari Ratu Belanda yaitu “sebagai negara

Kristen, Nedherland berkewajiban di

Kepulauan Hindia-Belanda untuk lebih

memperhatikan penduduk pribumi,

memberikan jalan yang tegas terhadap

Kristenisasi, serta meresapi keseluruhan

tingkah laku pemerintah dengan

kesadaran bahwa Netherland mempunyai

meringankan beban bangsa Indonesia

dengan adanya kebijakan politik etis

pada daerah ini. Berhubungan dengan

itu, kesejahteraan rakyat Indonesia yang

telah mengalami masa penjajahan

selama bertahun-tahun. Politik Etis

dimulai secara resmi setelah pidato dari

Ratu Belanda dan merupakan pertanda

bagi dimulainya zaman baru bagi

masyarakat Indonesia (Nasution, 1983:

15).

Dalam misi untuk menyelidiki

kemerosotan kemakmuran di Jawa, pada

tahun 1904 Menteri Idenburg menugaskan

Van Deventer dan beberapa rekannya

yang juga mendukung jalannya Politik

Etis yaitu G.P. Rauffaer, E.B. Kielstra,

dan D. Fock untuk membuat sebuah

ikhtisar keadaan. Ikhtisar tersebut dibuat

dengan menunggu hasil verifikasi

penjajahan yang telah menyengsarakan

rakyat pada tahun yang sama (1904).

Setelah melaksanakan politik pintu

terbuka, pemerintah Hindia Belanda

memasuki periode kapitalisme modern.

Hasil revolusi Industri selama dua puluh

tahun sebelumnya terwujud dalam

perkembangan industri, perkapalan,

perbankan, dan komunikasi yang

modern. Laporan tersebut berisi

mengenai kemunduran masyarakat Jawa.

Laporan yang dibuat Van Deventer

Politik Etis dan Pengaruhnya bagi Lahirnya Pergerakan, Agus Susilo & Isbandiyah, 403-416

408

kemudian memiliki peran yang cukup

penting dan kemudian diserahkan kepada

pemerintah di Negeri Belanda. Laporan

yang dibuat oleh Van Deventer kemudian

dijadikan sebagai usulan, namun

mendapat tentangan dari kaum Liberal

dan Demokrat Radikal. Pengairan, kredit

pertanian, dan emigrasi mendapat

perhatian, namun tidak dengan

pendidikan yang malah diabaikan (Niel,

1984: 58).

Semua ini berlangsung dalam suatu

lingkungan ekonomi yang sedang berubah

dengan cepat. Aksi-aksi penaklukannya

didaerah-daerah diluar Jawa telah

memperluas kekuasaan Belanda atas

wilayah-wilayah di Nusanntarayang lebih

penting dalam pembangunan ekonomi

baru dari pada Jawa. Ada dua jenis

komoditi yang sangat penting untuk

menempatkan Indonesia pada garis

depan bagi kepentingan perekonomian

dunia pada abad ke-20, yaitu minyak

bumi dan karet (Ricklefs, 2007: 320-321).

Pada abad ke-19 sebagian orang

Belanda sudah mulai prihatin terhadap

kesejahteraan dan status masyarakat

pribumi. Mereka kemudian melakukan

usaha-usaha secara pribadi untuk

perbaikan keadaan. Orang-orang yang

berusaha membantu dalam

meningkatkan kemakmuran Hindia-

Belanda yaitu pertama K. E. Holle

merupakan seorang yang membantu

langsung dalam bidang pertanian kepada

orang Sunda dan berusaha untuk

memperbaiki keadaan negeri dan

penduduk Hindia-Belanda. Kedua, C.

Snouck Hurgronje merupakan penasihat

yang berhubungan dengan soal-soal

pribumi. Beliau merupakan orang yang

telah menguasai pengetahuan mengenai

kehidupan dan adat kebiasaan penduduk

Jawa pada tahun 1890. Beliau juga

memberikan konsep tentang memberikan

pendidikan, pengairan dan perpindahan

penduduk. Untuk pendidikan yang pada

awalnya hanya untuk kaum priyayi,

namun karena adanya kebutuhan

birokrasi yang semakin meningkat, maka

banyak anak priyayi rendah dan bahkan

orang biasa dapat masuk pendidikan

Barat di Hindia-Belanda (Indonesia).

Ketiga, W.P.D. de Wolff van Westerrode

yang meletakkan dasar-dasar

pengorganisaian Bank Kredit untuk

Simpan Pinjam dan Pertanian yang

mengadakan perlindungan terhadap

hutang-hutang (Niel, 1984: 60).

Di bawah Abendanon, politik etis

yang memberikan pendidikan bergaya

eropa dan pemakaian bahasa Belanda

lebih diutamakan. Pada tahun 1900, tiga

hoofdensholen Sekolah para kepala yang

lama di Bandung, Magelang, dan

Probolinggo disusun kembali menjadi

Sekolah-Sekolah yang nyata-nyata

direncanakan untuk menghasilkan

pegawai pemerintah dan diberi nama

baru OSVIA (Opleidingscholeh voor

inlandsche ambtenaren, Sekolah

pelatihan untuk pejabat pribumi).

Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728)

409

Pejabat pribumi di Sekolah di bimbing

dan diajari cara melaksanakan kewajiban

dalam birokrasi pemerinntahan nantinya.

Masa pendidikannya berlangsung 5 untuk

menyelesaikan pendidikan di Sekolah

rendah Eropa (Galih, Dhimas Rangga &

Artono, 2017: 757).

Penduduk pribumi hanya berkaitan

dalam proyek-proyek infrastruktur saja.

Dimana mempunyai kaitan lebih langsung

dengan kesejahteraan adalah proyek-

proyek pengairan yang diupayakan

pemerintah namun tidak selalu berhasil.

Suatu rencana yang akan diupayakan

dalam mengalirkan sungai Bengawan Sala

harus diabaikan setelah melalui

perjalanan panjang padahal telah

menelan dana sekitar 17 juta gulden.

Meskipun demikian, luas kawasan

persawahan yang dapat diairi antara

tahun 1885 dan 1930 meningkat sekitar

1,8 kali lipat. Arti pentingnya dapat

dilihat pada perspektif jumlah penduduk

yang juga meningkat dengan jumlah yang

kira-kira sama dalam periode yang sama.

Pemerintah kolonial Belanda gagal

membuat kebijakan yang dapat

mendorong industrialisasi di Indonesia

(Ricklefs, 2007: 325-326).

Pemerintah Belanda memegang

peranan penting dalam pendidikan.

Perubahan pendidikan tidak akan terjadi

tanpa adanya persetujuan Gubernur

Jenderal atau dewan pendidikan yang

bertindak atas nama pemerintah kolonial

Belanda. Pendidikan pada masa kolonial

Belanda tidak didasari oleh adanya

struktur organisasi yang teratur, sebab

pendirian lembaga pendidikan hanya

sebagai wujud usaha pemerintah Belanda

untuk mempermudahkan dalam

pelaksanaan politiknya. Adanya lembaga

pendidikan, menjadikan masyarakat

berpacu untuk meningkatkan intelektual

bangsa, walaupun kebijakan pendidikan

masih terbatas (Ismawati, Dwi Nur, dkk,

2017: 284-285).

Agar seseorang atau sekelompok

orang yang memiliki kekuasaan sekaligus

juga dapat mempunyai kewenangan atas

kekuasaan itu, maka yang bersangkutan

dapat memperolehnya melalui berbagai

sumber kewenangan yang ada. Melalui

sumber-sumber kewenangan tersebut

yang dimilikinya, dan berbagai macam

cara yang dapat ditempuh untuk

memperolehnya. Kewenangan atau

wewenang dapat diperoleh dari sumber-

sumber instrumental. Sumber

kewenangan ini menunjukkan bahwa hak

untuk memerintah berasal dari instrumen

yang dimilikinya, seperti keahlian,

keterampilan ataupun kekayaan. Adanya

seseorang untuk mempunyai kewenangan

atau hak untuk memerintah karena

dimilikinya keahlian di bidang tertentu

ataupun kekayaan yang melimpah

(Haryanto, 2005: 13-16).

Banyak sekali usaha yang

dijalankan di bidang pendidikan, dan

hasil-hasilnya sering kali membuat

bangga para pejabat Belanda. Semua

Politik Etis dan Pengaruhnya bagi Lahirnya Pergerakan, Agus Susilo & Isbandiyah, 403-416

410

mendukung politik Etis menyetujui

ditingkatkannya dunia pendidikan bagi

bangsa Indonesia dan memeratakan

kesejahteraan rakyat Indonesia atas

Hindia Belanda. Para tokoh Belanda yang

mendukung politik etis mengupayakan

supaya politik etis terealisasi bagi rakyat

Indonesia. Pendekatan elitis diharapkan

dapat memberikan sumbangan secara

langsung bagi kesejahteraan. Tak satu

kebijakan pun dijalankan dengan dana

yang cukup memadai, dan tak satu pun

menghasilkan apa yang diinginkan oleh

para pendukungnya (Ricklefs, 2007:329-

330).

Pengaruh Politik Etis Terhadap

Kebangkitan Nasional

Kebijakan Politik Etis pemerintah

Kolonial Belanda dalam mendirikan

Sekolah-sekolah bagi anak-anak pribumi

merupakan langkah awal dalam

perjuangan pemuda di Indonesia.

Meskipun sebagian besar yang

diperbolehkan sekolah adalah anak-anak

dari para bangsawan pribumi (elit

pribumi), namun kemudian para anak

bangsawan itu muncul sebagai kaum

intelek yang memikirkan nasib bangsanya

yang tertindas. Para pemuda lulusan

sekolah-sekolah tinggi kehakiman,

kedokteran dan teknik yang kemudian

berperan dalam perjuangan para pemuda

Indonesia kalangan terpelajar. Pada

awalnya, perjuangan pemuda Indonesia

dimulai dari Sekolah Menengah (STOVIA,

OSVIA dan sekolah pertanian), namun

kemudian mahasiswa dari sekolah tinggi

pun ikut mengambil bagian. Lulusan

sekolah-sekolah menengah maupun

sekolah tinggi itu yang kemudian menjadi

pioner dalam perjuangan bangsa

Indonesia dan pergerakan emansipasi

kemerdekaan (Leirissa, 1985: 29).

Melalui surat kabar dapat dilihat

kondisi kaum pribumi pada masa kolonial

Belanda, antara lain keterpurukan hidup

yang dialami masyarakat Indonesia dalam

berbagai bidang, status yang rendah bila

dibandingkan dengan golongan Eropa,

diskriminasi antara pribumi dan Belanda

(Kartodirjo, 2014: 115-116). Melihat

keadaan bangsanya yang tertindas demi

kepentingan para petinggi dan negara

Belanda, para elit pribumi itu kemudian

memiliki gagasan dan mengajak rakyat

pribumi untuk melawan pemerintahan

Kolonial Belanda. Perlawanan tersebut

dilatar belakangi atas hasrat ingin maju

dan memperluas kesempatan menuntut

pendidikan. Gagasan perlawanan atau

gagasan untuk mengemansipasi diri

tersebut diawali dengan pembentukan

organisasi-organisasi pergerakan

nasional, seperti Budi Utomo, Serikat

Islam, Indische Partij yang kemudian

diikuti dengan terbentuknya beberapa

organisasi pergerakan nasional lainnya.

Di dalam organisasi-organisasi bentukan

para elit pribumi tersebut mereka

kemudian menyusun siasat-siasat untuk

menaikkan derajat bangsa pribumi agar

Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728)

411

tidak lagi tertindas oleh keserakahan

pemerintahan Kolonial Belanda.

Organisasi-organisasi Pergerakan

Nasional yang dibentuk oleh para

generasi muda sebelum tahun 1928,

antara lain:

1. Budi Utomo (20 Mei 1908)

Budi Utomo lahir dari pertemuan-

pertemuan dan diskusi yang sering

dilakukan di Perpustakaan School tot

Opleiding van Inlandsche Artsen oleh

beberapa mahasiswa, antara lain

Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo,

Goembrek, Saleh, dan Soeleman. Mereka

memikirkan nasib bangsa yang sangat

buruk dan selalu dianggap bodoh dan

tidak bermartabat oleh bangsa lain

(Belanda). Istilah Budi Utomo berasal

dari kata “Budi” yang barti perangai atau

tabiat dan “Utama” yang berarti baik

atau luhur. Budi Utomo yang dimaksud

oleh pendirinya dalah perkumpulan yang

akan mencapau sesuatu berdasarkan

keluhuran budi dan kebaikan perangai

atau tabiat. Nama Budi Utomo ini

terinspirasi dari dialog antara Sutomo

dan Dr. Wahidin Sudiro Husodo (Sudiyo,

2002: 21).

Para pendiri organsasi Budi Utomo

ini merupakan para murid STOVIA di

daerah Kwitang (sekarang termasuk salah

satu daerah di Jakarta) yaitu Sutomo ,

Gunawan, dan Gumbrek pada 20 Mei

1908. Organisasi Budi Utomo didirikann

untuk merealisasikan keinginan Dr.

Wahidin Soediro Husodo yang merasa iba

melihat nasib bangsanya yang tidak

dapat mengenyam pendidikan di bangku

sekolah. Beliau bertekad untuk

mendirikan studie fonds (dana belajar)

atau yang disebut juga dengan beasiswa.

Dana tersebut disediakan untuk anak-

anak Jawa yang tidak dapat melanjutkan

pendidikan karena kurangya biaya.

Program utama dari organisasi ini

adalah perbaikan pendidikan dan

pengajaran bagi anak pribumi. Tujuan

Budi Utomo menurut Panyarikan (1993:

20-21) ialah:

a. Mengadakan studie fonds untuk

menolong anak-anak Indonesia di

tanah Jawa yang akan melanjutkan

belajar tetapi tidak memiliki biaya.

b. Mengusahakan supaya bumiputera di

tanah Jawa mengetahui adat

istiadatnya.

Namun program Budi Utomo pada

saat itu masih terbatas di Jawa dan

Madura saja. Kemudian berkembang

meliputi Bali dan Lombok. Dalam Utomo

(1995: 51), tujuan perkumpulan semula

adalah mencapai kemakmuran yang

harmonis untuk nusa dan bangsa Jawa

dan Madura. Usaha-usaha yang akan

dilakukan oleh Budi Utomo adalah

sebagai berikut, yaitu:

(1) Memajukan pengajaran sesuai

dengan yang dicita-citakan Dr.

Wahidin.

Politik Etis dan Pengaruhnya bagi Lahirnya Pergerakan, Agus Susilo & Isbandiyah, 403-416

412

(2) Memajukan pertanian, peternakan,

dan perdagangan.

(3) Memajukan teknik dan industri, dan

(4) Menghidupkan kembali kebudayaan.

Alasan Budi Utomo juga

memusatkan program kemasyarakatan

dan kebudayaan karena pada masa itu

program edukasi dari Politik Etis Belanda

hakikatnya adalah imperialisme

kebudayaan secara halus (Kansil &

Julianto, 1985: 23). Maka program Budi

Utomo memberikan protes keras bagi

penjajahan budaya yang terselubung

didalam program edukasi tersebut.

Program tersebut bertujuan agar

bumiputera mengetahui adat istiadatnya

sendiri dan tidak terpengaruh pada

kebudayaan Eropa.

2. Sarekat Islam (10 September 1912)

Pada tahun 1905 didirikan sebuah

organisasi bernama Sarekat Dagang

Islami di Jakarta, kemudian pada tahun

1911 Sarekat Dagang Islam di Bogor.

Tujuan pendirian Sarekat Dagang Islam

antara lain untuk menentang kecurangan

pedagang Tionghoa yang menjual bahan

dagangan dengan prinsip “menjual

barang busuk dengan harga murah”.

Setelah itu Tirto Adi Suryo berkeliling

Jawa hingga sampai di Solo. Di Solo

beliau membuka cabang di Solo dengan

semboyan “kebebasan ekonomi”, rakyat

tujuannya, Islam jiwanya. Hal itu adalah

untuk kekuatan persatuan dan kesatuan.

Perkumpulan yang didirikan di Solo

tersebut diketuai oleh H. Samanhudi

(Hatta, 1997: 9).

Nama Sarekat Dagang Islam

kemudian diubah menjadi Sarekat Islam

(SI). Pertumbuhan organisasi ini muncul

akibat penjajahan Barat yang sangat

panjang, sehingga menimbulkan

semangat persatuan dam juga

disebabkan oleh kesadaran Asia

umumnya. Selain itu beberapa sebab

khususnya antara lain: (a) perdagangan

bangsa Tionghoa menjadi sebuah

halangan bagi perdagangan Indonesia,

(b) kemajuan gerak langkah penyebaran

agama Kristen dan juga ucapan-ucapan

yang menghina dalam parlemen Belanda

tentang tipisnya kepecayaan agama

bangsa Indonesia, dan (c) cara adat lama

yang terus digunakan di daerah kerajaan-

kerajaan Jawa semakin lama dirasa tidak

sesuai (Pringgodigdo (1977: 4).

3. Indische Partij (25 Desember 1912)

Indische Partij merupakan

organisasi politi pertama di Indonesia

yang merupakan pendukung gagasan

nasionalisme politik. Penggagas

berdirinya Indische Partij adalah E.F.E.

Douwes Dekker (Danurdirdjo Setiabudi).

Beliau merupakan seorang Indo yang

melihat praktik perbedaan ras dan suku

bangsa antara bangsa Barat (Belanda dan

Eropa) dengan keturunan Indo.

Tujuan pembentukan Indische

Partij yaitu nasib kaum Indo yang pada

masa itu dianggap sebagai golongan yang

Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728)

413

dilupakan oleh bangsa Belanda. Indische

Partij memiliki tujuan “Indie Merdeka”

dasarnya adalah Nasionalis Indische,

selanjutnya dengan semboyan “Indier

untuk Indes” organisasi baru ini berusaha

membangun rasa cinta tanah air dari

semua “Indiere” dan berusaha

mewujudkan kerja sama yang erat untuk

kemajuan tanah air dan menyiapkan

kemerdekaan. Berdasarkan asas dan

tujuan Indische Partij memperjuangkan

persatuan nasional. Indische Partij

mengemukakan bahwa yang menjadi

ikatan adalah perasaan nasional

(Irwanto, Dedi, 2007: 33).

Douwes Dekker menyadari bahwa

kaum Indo sangatlah sedikit jumlahnya,

maka bila beliau tidak melakukan

kerjasama, tidak akan mendapat

kemenangan. Melalui karangan-

karanganya dalam majalah de Express,

Dekker melakukan propaganda yang

berisi: (1) pelaksanaan suatu program

“Hindia” buat setiap gerakan politik yang

sehat dengan tujuan penghapusan

perhubungan kolonial, dan (2)

menyadarkan golongan Indo dan

penduduk bumiputera bahwa perjuangan

yang telah dilakukan bangsa Indonesia

akan sia-sia karena suatu ancaman yang

sama, yaitu bahaya exploitasi kolonial.

Selanjutnya ia menyarankan agar

mendirikan sebuah organisasi mampu

mengayomi dan mengapresiasi berbagai

lapisan masyarakat dan lepas dari batas-

batasan yang sempit.

Atas dasar gagasan-gagasan Douwes

Dekker, maka dibentuklah sebuah

organisasi pergerakan bernama Indische

Partij oleh tiga serangkai yaitu Douwes

Dekker, Suwardi Suryoningrat, dan Cipto

Mangunkusumo. Semboyan dari

organisasi ini adalah Indie untuk

Indier”. Organisasi ini berusaha

membangun nasionalisme pada bangsa

Indonesia dan berusaha untuk

mewujudkan kerja sama yang baik untuk

memperjuangkan hak dan menyiapkan

kemerdekaan (Pringgodigdo, 1977: 12).

PENUTUP

Politik etis berakar pada masalah

kemanusiaan dan sekaligus pada

keuntungan ekonomi. Pada akhir abad

XIX, para pegawai kolonial baru yang

datang dari negeri Belanda menuju

Indonesia sudah memiliki suatu

pemikiran tentang pemerintah kolonial

ini. Berbekal pengetahuan dasar dari isi

novel Max Havelaar, sebagian besar

pegawai kolonial ini membawa pemikiran

etis ke Hindia Belanda. Politik etis

membawa sedikit perubahan dalam

kehidupan bangsa Indonesia. Dimana ada

tiga kebijakan baru yang diterapkan,

yaitu pendidikan (education), irigasi

(pengairan) dan emigrasi (perpindahan

penduduk). Bangsa Belanda di negeri

Belanda memprotes kebijakan

sebelumnya yang tidak memperhatikan

kehidupan masyarakat Indonesia. Adanya

politik etis ini masyarakat diharapkan

Politik Etis dan Pengaruhnya bagi Lahirnya Pergerakan, Agus Susilo & Isbandiyah, 403-416

414

memiliki hidup yang lebih baik dan

makmur.

Politik etis ini ternyata hanya

menguntungkan pemerintah Belanda,

dimana kebijakan politik etis ini hanya

memberikan banyak manfaat bagi bangsa

Kolonial Belanda dan bangsa asing lain di

Indonesia. Kebijakan politik etis seperti

pengairan atau irigasi hanyalah untuk

kepentingan perkebunan bangsa Belanda

dan bangsa asing lainnya, seperti

program trasmigrasi atau perpindahan

penduduk dari Jawa ke Sumatera,

Kalimantan dan pulau-pulau yang kurang

jumlah penduduknya, ternyata hanya

untuk perkebunan bangsa Belanda,

begitu juga bidang Edukasi atau

pendidikan hanya untuk anak-anak

keturunan bangsa Belanda, bangsa Eropa

dan anak para bangsawan lokal yang

mampu menempuh dunia pendidikan.

Namun hanya menguntungkan bangsa

Belanda dan bangsa asing, ternyata

pendidikan banyak melahirkan tokoh

cendikian lokal yang cerdas dan memiliki

pemikiran yang setara dengan bangsa

barat lainnya. Tokoh Cendikian atau

pendidikan bangsa Indonesia inilah yang

akhirnya memperjuangkan kemerdekaan

rakyat Indonesia dengan rasa

nasionalisme dan cinta tanah air

Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Alian, Sair. (2012). Metodologi Sejarah

Dan Histiografi. Palembang: Proyek

SP4 Universitas Sriwijaya.

Daliman, A, (2012). Sejarah Indonesia

Abad XIX-Awal Abad XX.

Yograkarta: Ombak.

Galih, Dhimas Rangga & Artono, (2017).

Penerapan Politik Etis di Surabaya

Tahun 1911-1930. Avatara Jurnal

Pendidikan Sejarah Volume 6,

Nomor 3. Fakultas Ilmu Sosial dan

Hukum Unnesa. Surabaya.

Gottschalk, L, (2008). Mengerti Sejarah.

Jakarta: Universitas Indonesia.

Haryanto, (2005). Kekuasaan Elit Suatu

Bahasan Pengantar. Yogyakarta:

JIP Fisipol UGM.

Hatta, M. (1997). Permulaan Pergerakan

Nasional. Jakarta: Idayu Press.

Irwanto, Dedi, (2007). Sejarah Indonesia

IV. Palembang: FKIP UNSRI.

Ismawati, Dwi Nur, dkk. (2017). The

Intelectual’s Contribution In The

National Movement of In

Indonesian 1908-1928. Jurnal

Historica Volume 1, Issue. 1.

History Education Program Unej.

Jember.

Kansil, C.S.T & Julianto. (1985). Sejarah

Perjuangan Pergerakan kebangsaan

Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728)

415

Kartodirjo, S. (2014). Pengantar Sejarah

Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan

Nasional. Yogyakarta: Ombak.

Kuntowijoyo, (1994). Pengantar Ilmu

Sejarah. Yogyakarta: Benteng

Budaya.

Leirissa, R.Z. (1985). Sejarah Masyarakat

Indonesia 1900-1950. Jakarta:

Akademika Pressindo.

Mulyono, S. (1968). Nasionalisme Sebagai

Modal Perjuangan Bangsa Indonesia

I. Jakarta: Balai Pustaka.

Nasution, (1983). Sejarah Pendidikan

Indonesia. Bandung: Bumi Aksara.

Niel, R.V. (1984). Munculnya Elit Modern

Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.

Panyarikan, K. S. (1993). Sejarah

Indonesia Baru Dari Pergerakan

Nasional Samapi Dekrit Presiden.

Malang: IKIP Malang.

Pringgodigdo, A.K. (1977). Sejarah

Pergerakan Rakyat Indonesia.

Jakarta: Dian Rakyat.

Ricklefs, M.C. (2007). Sejarah Indonesia

Modern (1200-2004). Jakarta:

Serambi Alam Semesta.

Sjamsuddin, Helius. (2007). Metodologi

Sejarah. Jakarta: Ombak.

Sudiyo, (2002). Pergerakan Nasional

Mencapai & Mempertahankan

Kemerdekaan. Jakarta: Rineka

Cipta.

Utomo, C.B. (1995). Dinamika

Pergerakan Kebangsaan Indonesia:

Dari Kebangkita Hingga

Kemerdekaan. Semarang: IKIP

Semarang Press.

Vickers, Adrian. (2011). Sejarah

Indonesia Modern. Yogyakarta:

Insan Madani.

Wiharyanto, A. Kardiyat. Kebijakan

Ekonomi Kolonial Tahun 1830-1901.

Yogyakarta: FKIP Pendidikan

Sejarah Universitas Sanata Dharma.

Yass, Marzuki. (2004). Metodologi

Sejarah Dan Histiografi.

Palembang: Proyek SP4 Universitas

Sriwijaya.

Politik Etis dan Pengaruhnya bagi Lahirnya Pergerakan, Agus Susilo & Isbandiyah, 403-416

416

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA