Istri pergi dari rumah apakah jatuh talak?

Alhamdulillah.

 Kata 'pergi' merupakan salah satu redaksi talak yang tidak tegas menurut jumhur fuqoha. Maka mengucapkan lafaz tersebut tidak menyebabkan jatuh talak, kecuali jika disertai niat talak.

Sebagian ulama mazhab Syafii dan Hambali berpendapat bahwa kalimat tersebut termasuk kata talak yang bersifat tegas. Jika seorang suami berkata kepada isterinya, 'pegilah' maka talaknya jatuh. Ketika itu alasannya bahwa dirinya tidak niat talak tidak diterima, kecuali ada petunjuk bahwa dia tidak menghendaki talak. Seperti ucapannya, 'pergilah' setelah dia memerintahkan untuk segera berangkat ke ladang. Ibnu Hajar Al-Makky  dari kalangan Syafiiah berfatwa bahwa 'pergilah' merupakan kata kiasan, sebab berasal dari kata (سرح) tanpa tasydid, bukan (سرّح) dengan tasydid.

Ar-Ramli dalam Kitab Nihayatul Muhtaj, 6/429 menyebutkan bahwa tidak diterima alasan seorang suami yang menyatakan kata talak bahwa dirinya tidak bermaksud menceraikannya, kecuali jika ada petunjuk tentang hal tersebut. Diantaranya misalnya jika dia memerintahkan isterinya untuk pagi-pagi segera berangkat ke ladang, lalu dia katakan, 'pergilah'. Ketika itu alasannya diterima."

Sedangkan ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa talak dapat jatuh dengan ucapan 'pergilah' walau tanpa niat. Karena menurut sebagian mereka kata ini bersifat tegas (berarti talak), atau kata kiasan yang sangat jelas sehingga tidak membutuhkan niat.

Sedangkan Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni, 7/294 berkata, "Jika seseorang berkata, 'Aku cerai kamu, atau aku pisahkan kamu, atau aku lepaskan kamu, maka talak pasti jatuh." Hal ini menunjukkan bahwa kata yang tegas bermakna talak ada tiga; Talak, pisah dan pergi dan semua turunan katanya. Ini adalah mazhab Syafi'i.

Sedangkan Abu Abdullah bin Hamid berpendapat bahwa kata yang tegas bermakna talak, hanya kata talak saja dan kata turunannya, tidak ada kata yang lain. Ini merupakan pendapat mazhab Abu Hanifah dan Malik. Hanya saja menurut Malik bahwa talak jatuh dengannya tanpa niat. Karena kiasan yang tampak tidak membutuhkan niat. Pendapat ini beralasan bahwa kata 'pisah' dan 'lepas' sering digunakan untuk perkara selain talak, maka keduanya bukan merupakan kata yang tegas sebagaimana halnya kata-kata kiasan lainnya.  

Sedangkan alasan pihak pertama adalah karena kata-kata tersebut tercantum dalam Al-Quran dengan makna perceraian antara suami isteri. Maka dengan demikian keduanya (pisah dan pergi) termasuk kata yang tegas maknanya seperti kata talak. Allah Ta'ala berfirman,

فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ (سورة البقرة: 229)

"Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik." (QS. Al-Baqarah: 229)

فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ (سورة البقرة: 231)

"Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). "  (QS. Al-Baqarah: 231)

وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللّهُ كُلاًّ مِّن سَعَتِهِ وَكَانَ اللّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا} (سورة النساء:  130)

"Jika keduanya bercerai, Maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana." (QS. An-Nisa: 130) 

فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا  (سورة الأحزاب: 28)

"Maka Marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik." (QS. Al-Ahzab: 28)

Pandangan Ibnu Hamid lebih benar, karena sesuatu yang dianggap kalimat yang bermakna tegas adalah apa yang terdapat dalam Al-Quran, tidak mengandung makna lainnya kecuali dengan kemungkinan yang jauh. Kata 'pisah' dan 'lepas' meskipun terdapat dalam Al-Quran dengan makna perceraian antara sepasang suami isteri, namun tercantum juga dengan makna yang lain, dan dalam percakapan sehari-hari juga banyak (disebutkan dengan makna lain). Firman Allah Ta'ala,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُوا (سورة آل عمران: 103)

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai," (QS. Ali Imran: 103)

"Kebanyakan orang tidak menggunakan kata ini dengan makna talak, Maka dia bukan termasuk kata talak yang bermakna tegas menurut mereka.

Kesimpulannya, talak tidak jatuh pada diri anda dengan kata tersebut, selama suami anda tidak bermaksud talak. 

Belum lama saya bertengkar dengan suami saya, lantas suami saya mengusir saya dari rumah dan menyuruh saya pulang ke rumah orang tua saya. Bagaimana hukumnya kejadian seperti tadi? Apakah sudah termasuk talak?

Jawaban (Kiai Muhammad Hamdi)

Apabila dilihat dari sisi ungkapan kalimat yang digunakan, talak terbagi menjadi dua jenis.

Pertama, talak sharih.

Kedua, talak kinayah

Talak sharih adalah talak yang diucapkan dengan menggunakan kata atau kalimat yang tegas (terang-terangan) untuk talak, yaitu kata “talak” atau “cerai”. Seperti ucapan suami kepada istrinya, “Aku talak engkau!”, “Aku ceraikan engkau!”, dan “Engkau tertalak”. 

Talak sharih tidak memembutuhkan niat dari suami. Jika suami menceraikan istrinya menggunakan kata-kata yang sharih, maka telah jatuh talaknya, meskipun suami tidak berniat untuk menceraikan istrinya.

Sedangkan talak kinayah adalah talak yang diucapkan dengan menggunakan kalimat yang bisa digunakan untuk talak dan juga bisa digunakan untuk selainnya. Dengan kata lain, talak kinayah merupakan talak yang diucapkan suami menggunakan kata sindiran.  Talak kinayah dapat dikatakan sah jika disertai dengan niat sang suami. 

Al-Khathib Asy-Syirbini berkata:

وَيَقَعُ أَيْضًا بِكِنَايَةٍ وَهِيَ مَا يَحْتَمِلُ الطَّلَاقَ وَغَيْرَهُ لَكِنْ بِنِيَّةٍ لِإِيقَاعِهِ

Talak juga jatuh dengan kinayah, yaitu kalimat yang mungkin bermakna talak dan selain talak, akan tetapi dengan niat agar talaknya jatuh.

Taqiyuddin Al-Husaini berkata:

وَالْكِنَايَةُ كُلُّ لَفْظٍ اِحْتَمَلَ الطَّلَاقَ وَغَيْرَهُ وَيَفْتَقِرُ إِلَى النِّيَّةِ

Kinayah adalah setiap lafal yang mungkin bermakna talak dan selainnya yang membutuhkan niat.

Contoh talak kinayah, misalnya, ucapan suami kepada istrinya, “Engkau terbebas dariku!”, “Pilihlah jalanmu sendiri!”, “Pulanglah ke rumah orang tuamu!”, dan sebagainya. Sehingga perintah suami kepada istrinya untuk pulang kampung, bagaimana pun ungkapannya, selama tidak mengucapkan kata “talak” atau “cerai”, adalah termasuk talak kinayah. 

Jika suami berniat menalaknya ketika mengucapkan kalimat tadi, maka secara tidak langsung, telah jatuh talaknya. Tapi, bila suami tidak berniat talak ketika mengucapkannya, maka tidak jatuh talak pada istrinya. Jika tidak jatuh talak, maka tidak ada hukum atau konsekuensi apa pun. Seperti halnya tidak terjadi apa-apa.

Sementara talak yang sudah jatuh (sah), tidak bisa dibatalkan. Tetapi, suami masih bisa kembali dalam ikatan pernikahan bersama istrinya dengan cara rujuk. Cara rujuknya cukup dengan ucapan, “Aku rujuk engkau”. Tidak pula disyaratkan adanya saksi dan persetujuan istri ketika rujuk. Hal ini di pertegas oleh Taqiyuddin Al-Husaini:

وَلَا يُشْتَرَطُ فِيهَا الْإِشْهَادُ عَلَى الصَّحِيحِ

Tidak disyaratkan dalam rujuk adanya persaksian menurut pendapat yang shahih.

وَلَا يُشْتَرطُ رِضَا الزَّوْجَةِ فِي ذَلِكَ نَعَمْ يُشْتَرَطُ أَنْ تَكُونَ الرَّجْعَةُ بِالْقَوْلِ الصَّرِيْحِ لِلْقَادِرِ

Tidak disyaratkan kerelaan istri dalam rujuk, namun rujuk disyaratkan dengan ucapan yang tegas bagi yang mampu (berbicara).

Rujuk bisa dilakukan jika istrinya masih dalam masa ‘iddah (masa tunggu bagi perempuan yang ditinggal oleh suaminya baik karena cerai atau meninggal), dan talak yang dijatuhkan merupakan talak satu atau dua yang disebut dengan talak raj’i. Jika masa ‘iddahnya istri sudah habis atau sudah talak tiga, yang disebut juga talak ba’in, maka tidak cukup dengan rujuk, tetapi harus dengan akad nikah yang baru. 

Khusus untuk talak tiga, jika ingin kembali bersama mantan istrinya, maka mantan istrinya harus menikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain (suami baru), dan ia sudah bercerai dengan suami barunya tersebut.

Sahabat KESAN yang budiman, terkait masalah sahabat di atas, jika pengusiran itu masuk dalam kategori talak sharih, maka konsekuensinya sudah jatuh talak terhadap istri. Tapi, (jika dilihat dari pertanyaan) tampaknya pengusiran itu masuk dalam kategori talak kinayah, karena masuk dalam kategori talak kinayah, maka konsekuensinya ada dua.

Pertama, jika pengusiran itu didasari niat, maka secara tidak langsung telah jatuh talak satu. Jika suami ingin kembali bersama istrinya, si suami harus rujuk dengan istrinya tersebut.

Kedua, jika pengusiran itu tidak didasari niat atau hanya emosi sesaat, maka pengusiran itu bukanlah talak, dan tidak menimbulkan konsekuensi apa pun.

Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.

Referensi: Mughni al-Muhtaj; Al-Khathib Asy-Syirbini; Kifayah al-Akhyar; Taqiyuddin Al-Husaini; Fath al-Qarib; Muhammad bin Qasim Al-Ghazi

###

*Jika artikel di aplikasi KESAN dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin.

Apakah jatuh talak jika istri meninggalkan rumah?

Intisari Jawaban. Mengenai istri meninggalkan suami apakah jatuh talak, menurut kami talak tidak otomatis jatuh. Sebab, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Apa hukum nya istri pergi dari rumah?

(Penyuluh Hukum Ahli Pertama) Istri yang meninggalkan suami tanpa pamit menurut Hukum Islam adalah dosa besar dan akan dilaknat oleh Allah Swt sebagaimana dalam HR Abu Dawud Ath-thayalisi yang berbunyi hak suami terhadap istrinya adalah isteri tidak menghalangi permintaan suaminya sekalipun semasa berada di atas ...

Apabila istri kabur dari rumah Apakah suami wajib memberi nafkah?

Sebab istri tak menerima nafkah dari suami ketika istri tak taat lagi kepada suaminya. Jadi suami boleh tidak memberikan nafkah kepada istrinya, apabila terjadi hal sebagai berikut: Pertama istri kabur atau pindah dari rumah suaminya ke tempat lain tanpa seizin suaminya atau alasan yang dibenarkan agama.

Ketika istri pergi tanpa izin suami apa hukumnya?

Dilansir dari laman NU, hukum istri keluar rumah tanpa seizin suami menurut syari'at Islam ternyata tidak diperbolehkan. Terlebih jika dapat mendatangkan mudharat, maka tindakan tersebut bisa digolongkan sebagai bentuk pembangkangan seorang istri terhadap suami atau nusyuz.