Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati ayat ini dapat kita baca dalam

Dalam banyak hal kita tetap dengan jujur harus mengatakan bahwa pemberlakuan yang setara bagi sesama manusia belum terwujud pun dalam gereja. Hal sederhana dan pemandangan yang biasa jika kita menemukan masih banyak majelis yang akan berdiri lalu sibuk mencari tempat duduk yang kosong untuk pejabat atau orang “penting” yang terlambat datang ke gereja meskipun ibadah sudah dimulai. Ini akan kontras jika ada seorang ibu yang sudah tua berpakaian seadanya dan berjalan perlahan, matanya melihat ke kiri dan ke kanan mencari-cari tempat yang kosong untuk ia duduk. Orang bukannya memberi tempat malah akan menggerutu dan menganggap sebagai pengganggu jalannya ibadah. Celakanya ini dianggap sebagai sesuatu yang biasa dalam gereja.

Surat Yakobus merupakan salah satu surat yang sangat unik, sederhana karena hanya terdiri dari 5 pasal dan kontroversial dengan bahasa yang praktis, tetapi juga sulit dipahami. Salah satu tema dari surat ini, yaitu berisikan tentang peringatan untuk tidak membeda-bedakan orang. Rupanya ada ketidakharmonisan dalam jemaat, sehingga mengganggu relasi antara sesama warga jemaat. Sebagai pemimpin jemaat di Yerusalem, Yakobus merasa bertanggung jawab untuk memberikan nasihat dan arahan kepada jemaatnya yang berlatar belakang Yahudi. Penekanan utama nasihat dan pengajaran Yakobus adalah perbuatan baik karena orang-orang yang dipimpinnya ternyata tidak mengalami perkembangan atau pertumbuhan dalam imannya. Mereka menyatakan diri beriman tetapi tidak menyatakan atau mewujudkan iman itu, sehingga iman mereka tidak berbuah. Salah satu pintu masuk dalam mewujudkan iman yang ditawarkan Yakobus adalah memandang semua orang dengan kebenaran dan hati Allah.

Pengakuan sebagai orang beriman adalah akta yang tak terbantahkan dalam diskursus keagamaan. Sebab jika tidak demikian maka bobot keagamaan seseorang akan dipertanyakan. Pertanyaan lanjut adalah apakah semua orang beragama itu beriman? Ataukah orang yang beriman itu beragama? Yakobus mengatakan: “Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati.” Karena iman menuntut pembuktian bukan sekedar dogma, kepercayaan, tetapi melampaui doktrin-doktrin keagamaan tersebut. Karena itu Yakobus mengguggat cara beriman jemaatnya yang masih terpusat pada ajaran agama, tetapi tidak menghidupi ajaran itu dalam tindakan nyata. Hal yang sangat sederhana, yaitu tidak membeda-bedakan orang, memandang semua orang dengan kebenaran dan hati Allah. Memandang yang dimaksudkan di sini bukan sekedar melihat atau mengarahkan pandangan kita kepada orang tersebut, sehingga itu dirasa cukup tetapi memandang dengan kebenaran berimplikasi pada sikap dan bahasa tubuh yang menunjukkan penerimaan sepenuhnya akan kehadiran orang lain. Sebuah persekutuan akan menjadi sehat dan bertumbuh jika semua orang menunjukkan sikap penerimaan yang terbuka dan memotivasi sebagaimana Allah menerima semua orang dengan tanpa memandang muka. Memang disadari konstruksi diri seseorang tidak lepas dari pengaruh-pengaruh yang ada di sekitarnya dan itu akan sangat mempengaruhi pikirannya, pemahamannya dan perilakunya. Karena itu konstruksi diri ini harus diletakkan pada koridor kesadaran bahwa diri (self) adalah bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan proses transformasi kehidupan yang sedang berjalan, sehingga pertanyaan “Siapa saya?“ menjadi

sesuatu yang amat sangat penting. Identifikasi diri ini akan sangat membantu dalam menuntun perilaku dan perspektif terhadap sesama baik itu manusia, hewan dan alam sekitar. Ini akan mengubah pusat dari diri kepada orang lain, kepada manusia lain, kepada entitas lain, misalnya alam dan makhluk lainnya.

IMAN TANPA PERBUATAN PADA HAKIKATNYA ADALAH MATI

(Bacaan Pertama Misa Kudus, Hari Biasa Pekan Biasa VI, Jumat 17-2-12) 

Apa guna, Saudara-saudaraku, jika seseorang mengatakan bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata, “Selamat jalan, kenakanlah pakaian hangat dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Denmikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, makan iman pada hakekatnya mati.

Tetapi mungkin ada orang berkata, “Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan”; aku akan menjawab dia, “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.” Engkau percaya bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun percaya akan hal itu dan gemetar. Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong? Bukankah Abraham, bapak kita, dibenarkan berdasarkan perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah? Kamu lihat bahwa iman bekerja sama dengan perbuatan-perbuatannya dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna. Dengan demikian, genaplah nas yang mengatakan, “Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka hal itu diperhitungkan kepadanya sebagai kebenaran.” Karena itu,  Abraham disebut “Sahabat Allah”. Jadi kamu lihat bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman. Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati. (Yak 2:14-24,26)

Mazmur Tanggapan: Mzm 112:1-6; Bacaan Injil: Mrk 8:34-9:1 

Dalam kehidupan anda sebagai seorang Kristiani yang Katolik, tentunya anda pernah (seringkali atau jarang) berinter-aksi dengan saudari-saudara kita Kristiani lainya yang berasal dari denominasi-denominasi lainnya. Barangkali anda telah mengalami rasa persatuan yang indah, namun pada saat sama merasa sedih atas kenyataan bahwa gereja-gereja masih terpisah-pisah. Salah satu “tembok pemisah” yang klasik adalah isu pembenaran. Apakah kita dibenarkan oleh iman saja, atau apakah pekerjaan baik juga diperlukan untuk keselamatan?  Dapatkah kita mempunyai iman tanpa perbuatan-perbuatan?

Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang telah membawa kepada banyak perpecahan yang kita lihat pada hari ini. Namun di sisi lain, kita mempunyai alasan untuk berpengharapan bahwa perpecahan ini dapat diatasi. Dokumen yang berjudul “Joint Declaration on the Doctrine of Justification” (Deklarasi Bersama tentang Doktrin Pembenaran), mengungkapkan buah dari sebuah dialog bertahun-tahun lamanya antara gereja Lutheran dan gereja Katolik dan menunjukkan sampai berapa banyak kita dapat bersetuju.

Sementara tetap masih ada perbedaan-perbedaan yang serius yang harus dibahas lebih lanjut, dokumen ekumenis ini merupakan sebuah landmark. Dalam dokumen tertulis ini, kedua gereja mengakui bahwa pembenaran adalah karya Allah, bukan karya manusia. Kita diselamatkan oleh rahmat-Nya melalui iman sebagai suatu anugerah dari Allah kepada umat-Nya. Yang “mengejutkan” adalah, bahwa kedua gereja mengakui bahwa “pekerjaan baik” adalah sentral bagi kehidupan Kristiani kita.  Sementara kita dipanggil untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan baik, kita tidak dapat mengklaim semua itu sebagai hasil karya kita sendiri atau sebagai sumber keselamatan kita. Seperti iman, demikian pula dengan pekerjaan-pekerjaan kasih. Semuanya datang dari Roh Kudus Allah.

Memang masih banyak yang harus dilakukan dalam perjuangan kita untuk tercapainya persatuan Kristiani, kita tidak boleh merasa ragu-ragu untuk mengakui mukjizat yang ada di belakang persetujuan antara gereja Lutheran dan gereja Katolik sehingga sampai menghasilkan dokumen di bidang ekumenisme yang sangat berarti. Apabila “kebencian” dan “rasa tidak percaya” yang sudah berabad-abad lamanya pada akhirnya menyusut, maka hasilnya tentulah adalah sebuah gereja yang lebih kuat, sebuah gereja yang sepenuhnya akan memusatkan segala sumber dayanya untuk memenuhi/melaksanakan misinya di tengah-tengah dunia, seturut “amanat agung” dari Yesus Kristun sendiri (lihat Mat 28:19-20). Oleh karena itu, marilah kita dengan penuh rasa gembira dan syukur berdoa kepada Allah dan memohon dari-Nya agar rencana-Nya untuk persatuan para pengikut/murid Kristus dapat terlaksana secara penuh. Marilah kita juga ikut ambil bagian dalam rencana itu dengan menghayati kehidupan penuh iman dan dengan pergi keluar dalam kasih kepada para saudari-saudara yang membutuhkan, di mana saja kita  menjumpai mereka.

DOA: Tuhan Yesus, perkenankanlah kami mengalami dalam hidup kami apa yang Engkau sendiri doakan kepada Bapa pada malam sebelum sengsara dan kematian-Mu di atas kayu salib: “semoga mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu” (Yoh 17:22). Oleh kuasa Roh Kudus-Mu, semoga kami semua anggota Tubuh-Mu bersatu dengan Engkau sebagai Kepala. Terpujilah nama-Mu yang Mahakudus. Amin.

Catatan: Untuk mendalami Bacaan Injil hari ini (Mrk 8:34-9:1), bacalah tulisan dengan judul “SIAPA SAJA YANG MAU MENYELAMATKAN NYAWANYA ……” (bacaan untuk tanggal 17-2-12), dalam situs/blog PAX ET BONUM //catatanseorangofs.wordpress.com; kategori: 12-02 PERMENUNGAN ALKITABIAH FEBRUARI 2012. 

Cilandak,  23 Januari 2012 [Hari Keenam Pekan Doa Sedunia untuk Persatuan Umat Kristiani] 

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA