Hukuman apa yang pantas bagi koruptor brainly

Pada era reformasi justru tidak berdampak pada penurunan kasus korupsi.

Senin , 07 Dec 2020, 07:09 WIB

Republika/Putra M. Akbar

Menteri Sosial Juliari P Batubara mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Ahad (6/12).

Red: Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Universitas Jember, I Gede Widhiana Suarda PhD, mengatakan, masih adanya menteri yang melakukan tindak pidana korupsi merupakan salah satu indikator bahwa hukuman bagi koruptor di Indonesia tidak berfungsi. Putusan hakim untuk para koruptor, tidak punya efek jera sehingga era reformasi justru tidak berdampak pada penurunan kasus korupsi.

Baca Juga

"Kita bisa berhipotesis, masih terjadinya korupsi di tingkat menteri dan pejabat negara merupakan salah satu indikator tidak berfungsinya hukuman yang pernah dijatuhkan selama ini pada para pejabat yang korup," katanya, di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Ahad (7/12).

Kendati demikian, lanjut dia, masih diperlukan sebuah riset yang komprehensif untuk memastikan apakah hukuman bagi koruptor di Indonesia masih belum memberikan efek jera karena korupsi masih dilakukan oleh sejumlah pejabat. "Apabila terbukti di pengadilan bahwa kedua menteri itu korupsi maka hal itu menegaskan korupsi masih terjadi dalam lingkaran kekuasaan," ucap pakar pidana korupsi Fakultas Hukum Universitas Jember itu.

Menurut dia, korupsi masih menjadi masalah besar di Indoensia karena pelakunya adalah para elite tingkat atas. KPK telah membuktikan masih menjadi lembaga antirasuah yang bisa menangkap siapa saja tanpa pandang bulu.

"Saya pribadi mengapresiasi langkah KPK dalam melakukan penangkapan dua menteri dalam operasi tangkap tangan tersebut. Kalau dikatakan pembuktian penangkapan itu merupakan kiprah KPK, saya kira ada benarnya," katanya.

Ia menjelaskan salah satu tugas KPK adalah penegakan hukum tipikor yang di dalamnya termasuk penangkapan, penuntutan, dan eksekusi. Namun, ia juga masih menunggu kiprah KPK di bidang pencegahan.

"Menurut saya bidang pencegahan merupakan bidang strategis dalam upaya menciptakan Indonesia bebas korupsi. Bidang tersebut masih belum tampak, meski dikatakan sudah berjalan," ujarnya.

Pengajar hukum pidana Universitas Jember itu mengatakan, Presiden Jokowi harus menegaskan kepada para menteri lainnya untuk bekerja dengan lebih baik, bersih, jujur, dan berintegritas sehingga tidak terulang kembali para menteri melakukan tindak pidana korupsi. "Jokowi bisa menegaskan kepada para menterinya bahwa jabatan apapun tidak akan pernah kebal dari tuntutan korupsi, baik dalam level menteri sekalipun dan kalau berani coba-coba, silahkan berhadapan dgn hukum," ucap ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember itu.

Terkait dengan pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang menyebut hukuman mati bisa dijatuhkan bila korupsi dilakukan saat terjadi bencana alam nasional, Gede mengatakan pasal 2 ayat 2 bisa diterapkan dalam kondisi terntentu. Misalnya, dalam bencana alam dan krisis ekonomi.

"Artinya, koruptor bisa saja dijatuhi pidana mati asal memenuhi kriteria pasal 2 ayat 2 UU Tipikor itu. Namun, kalau menteri itu tidak dijerat dengan pasal itu, maka tidak bisa dijatuhkan hukuman mati," ujarnya.

KPK menetapkan Menteri Sosial JuliariBatubara, sebagai tersangka kasus suap. Hal itu hanya berselang sembilan hari dari penetapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, sebagai tersangka KPK dalam perkara dugaan penerimaan hadiah terkait perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan pada Kamis (26/11).

sumber : Antara

Liputan6.com, Jakarta - Permintaan untuk menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi di masa pandemi Covid-19 kembali menggema. Wacana ini dilontarkan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej.

Diketahui ada dua menteri yang diduga melakukan korupsi di masa pandemi Covid-19. Pertama adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Selanjutnya ada Menteri Sosial Juliari Batubara.

"Bagi saya mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mana pemberatannya sampai pada pidana mati," kata Edward dalam sebuah diskusi yang dikutip Rabu (17/2/2021).

Dia menjelaskan alasan kedua menteri yang korupsi di tengah pandemi Covid-19 bisa dijerat. Pertama mereka melakukan kejahatan itu dalam keadaan darurat Covid-19. Kedua, mereka melakukan kejahatan itu dalam jabatannya sebagai menteri.

"Jadi dua hal yang memberatkan itu sudah lebih dari cukup untuk diancam Pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," jelas Edward.

Wacana ini disambut langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pihaknya tak menutup kemungkinan menjerat dua mantan menteri Kabinet Jokowi-Maruf Amin yang terseret kasus suap dengan Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, tim penyidik lembaga antirasuah membuka kemungkinan mengembangkan kasus yang menjerat Juliari dan Edhy. Bahkan, menurut Ali, keduanya juga bisa dijerat dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sepanjang ditemukan alat bukti yang mencukupi.

"Pengembangan sangat dimungkinkan seperti penerapan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor, bahkan penerapan ketentuan UU lain seperti TPPU," ujar Ali dalam keterangannya, Rabu (17/2/2021).

Menurut Ali, kemungkinan pidana mati tersebut bisa diterapkan tim penyidik kepada keduanya.

"Kami tentu memahami harapan masyarakat terkait penyelesaian kedua perkara tersebut, termasuk soal hukuman bagi para pelakunya. Benar, secara normatif dalam UU Tipikor terutama Pasal 2 ayat (2) hukuman mati diatur secara jelas ketentuan tersebut dan dapat diterapkan," kata Ali.

Ali mengatakan, dalam menuntut terdakwa kasus korupsi dengan pidana mati, tim penuntut umum harus bisa membuktikan seluruh unsur yang ada dalam Pasal 2 UU Tipikor tersebut.

"Akan tetapi bukan hanya soal karena terbuktinya unsur ketentuan keadaan tertentu saja untuk menuntut hukuman mati, namun tentu seluruh unsur pasal 2 ayat (1) juga harus terpenuhi," kata Ali.

Ali mengatakan, untuk saat ini pihak lembaga antirasuah masih fokus menangani Juliari dan Edhy Prabowo dengan pasal penerima suap, yakni Pasal 12 UU Tipikor. Pasal tersebut mengancam pelaku dengan pidana penjara seumur hidup.

"Proses penyidikan kedua perkara tersebut sampai saat ini masih terus dilakukan. Kami memastikan perkembangan mengenai penyelesaian kedua perkara tangkap tangan KPK dimaksud selalu kami informasikan kepada masyarakat," kata Ali.

Bunyi Pasal 2 UU Tipikor

Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 menyatakan, 'Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.'

Sementara Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, 'Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.'

Sedangkan penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menyatakan, 'Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi'.

Scroll down untuk melanjutkan membaca

Perbesar

Presiden Joko Widodo berbincang dengan murid seusai menyaksikan drama bertajuk Prestasi Tanpa Korupsi di SMKN 57 Jakarta, Jakarta Selatan, Senin (9/12/2019). Kegiatan tersebut dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. (Liputan6.com/Biropres Kepresidenan)

Pertanyaan yang tak biasa itu muncul ketika Presiden Joko Widodo atau Jokowi menghadiri acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di SMKN 57, Jakarta. Saat berdialog dengan siswa, Presiden ditanya alasan Indonesia tidak bisa tegas terhadap koruptor.

"Mengapa negara kita mengatasi korupsi tidak terlalu tegas, kenapa nggak berani dihukum mati, kenapa kita hanya penjara," tanya Harley Hermansyah, siswa kelas XII Jurusan Tata Boga, Senin 9 Desember 2019.

Menjawab pertanyaan itu, Jokowi menjelaskan Indonesia tidak bisa menghukum mati koruptor karena tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Menurut dia, ancaman hukuman mati baru bisa diberikan kepada pelaku korupsi yang berkaitan dengan bencana alam.

"Kalau korupsi bencana alam dimungkinkan, kalau enggak tidak. Misalnya ada gempa dan tsunami di Aceh atau di NTB, kami ada anggaran untuk penanggulangan bencana tapi duit itu dikorupsi, itu bisa (diancam hukuman mati)," jawab Jokowi.

Jokowi berujar, meski tidak ada hukuman mati, perilaku korupsi di luar bencana alam tetap salah. "Apa pun yang namanya korupsi itu sama saja, namanya juga korupsi tidak boleh," kata dia.

Ia menjelaskan pemerintah saat ini sedang membuat sistem agar para pejabat tidak bisa korupsi.

"Tapi semua butuh proses, negara-negara lain juga butuh proses, ini bukan barang yang gampang ditangani tapi yakin lah kami semua pemerintah, KPK, terus berupaya mengurangi, menghilangkan korupsi di negara kita," ujar dia.

Setahun setelah percakapan itu, Menteri Sosial Juliari Peter Batubara menyerahkan diri ke KPK usai ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana bantuan sosial (Bansos) penanganan Covid-19. Politikus PDIP itu tiba di gedung KPK pada Minggu, 6 Desember 2020 sekitar pukul 02.45 WIB.

Dua pekan sebelumnya, KPK juga menangkap orang nomor satu di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yaitu Menteri Edhy Prabowo. Edhy ditangkap bersama jajaran dan keluarganya di Bandara Soekarno-Hatta pada Rabu 25 November 2020 dinihari, tepatnya pukul 01.23 WIB setelah melakukan kunjungan ke Honolulu, Amerika Serikat (AS).

Saat kedua menteri ditetapkan KPK sebagai tersangka, wacana untuk menerapkan hukuman mati mulai mengemuka. Apalagi rasuah yang dilakukan kedua orang itu terjadi saat negara tengah bekerja keras menghadapi pandemi Covid-19. Di sini terbuka kemungkinan diterapkannya Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Namun, penerapannya di lapangan tak semudah itu. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman ketika itu menuturkan, pidana mati memang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.

Dalam UU tersebut dijelaskan, pemberatan hukuman mati bisa diterapkan apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

"Jadi secara positif memang dimungkinkan untuk mengancam pidana mati kepada para pelaku tindak perkara korupsi dalam keadaan-keadaan yang disebutkan itu. Namun untuk Mensos yang sekarang jadi tersangka ini menurut Pukat memang tidak dapat diancamkan pidana mati," ujar Zaenur kepada Liputan6.com, Senin (7/12/2020).

Dia beralasan, kasus hukum yang disangkakan kepada Mensos Juliari Batubara bukanlah perkara yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor sehingga merugikan keuangan negara.

"Tetapi (disangka) Pasal 11 atau 12 yaitu penerimaan suap atau gratifikasi, sehingga memang tidak berlaku ancaman pidana mati tersebut," katanya.

Di sisi lain, Pukat UGM memandang Covid-19 bukanlah bencana alam nasional, melainkan bencana non-alam, sehingga tidak masuk kondisi yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Kendati, kondisi krisis ekonomi yang disebabkan pandemi Covid-19 bisa menjadi alasan penerapan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.

Namun Zaenur kembali menegaskan, bahwa ancaman hukuman mati ini bisa diterapkan jika terbukti ada kerugian keuangan negara akibat tindak pidana tersebut. Sementara dalam kasus ini, Mensos Juliari Batubara cs disangka dengan pasal suap dan gratifikasi.

"Karena itu, menurut saya ancaman bagi para pelaku ini sesuai dengan apa yang disangkakan yang tepat sebagaimana yang telah diatur dalam UU, dan itu nanti dituntut seoptimal mungkin," ucapnya.

Alih-alih menggunakan ancaman hukuman mati sebagai efek jera, Pukat UGM menyatakan bahwa KPK sebaiknya memiskinkan koruptor dengan cara merampas seluruh uang hasil kejahatannya melalui pendekatan UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Ini yang penting agar harta seluruh hasil kejahatannya dapat dirampas untuk negara, sehingg tidak ada pihak yang dapat menikmati hasil kejahatan korupsinya. Dan ini penting untuk konteks mengetahui siapa saja yang menerima aliran dana dari kasus korupsi ini, karena sering kali korupsi yang dilakukan oleh seorang politikus itu bisa mengalir sampai jauh, tidak hanya dinikmati oleh diri sendiri, kadang mengalir kepada banyak pihak," kata Zaenur.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA