Gaya bahasa yang merupakan permainan bahasa untuk mendapatkan efek estetis dalam puisi disebut

Written By Anjar Wednesday, October 30, 2019

Wawasan Pendidikan; Puisi merupakan sebuah ungkapan jiwa yang ditampilkan secara ekspresif.  Ungkapan jiwa ini bisa berupa protes sosial, cinta, nilai-nilai spiritual dan ketuhanan, serta berbagai macam hal yang menyangkut kehidupan manusia. Jika sebelumnya kita telah membahas tentang pengertian, jenis, dan struktur puisi, kali ini kita akan membahas secara lengkap tentang unsur intrinsik, unsur ekstrinsik, dan majas/gaya bahasa pada puisi. (Baca Juga : Teks Puisi : Pengertian, Jenis, Unsur, dan Struktur Puisi)

picture by kudoswall.com

Unsur intrinsik merupakan unsur-unsur yang membangun sebuah puisi, diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Tema, yaitu inti permasalahan yang terkandung dalam puisi. Misalnya saja tema ketuhanan, kritik sosial, kemanusiaan, keindahan, kebahagiaan cinta, kegagalan cinta, perjuangan, penderitaan hidup dll.  Tema dalam puisi mencakup isi keseluruhannya, yang terdiri dari pikiran, perasaan, sikap, maksud dan tujuan penulisan puisi.
  2. Rasa dan nada, yaitu bagaimana perasaan penyair terhadap objek dan permasalahan yang dikemukakan terhadap pembacanya.  Apakah perasaan iba, geram, pasrah, ragu, kecewa, sinis, sabar, dll.  Sebuah puisi harus bisa menyentuh dan mempengaruhi perasaan pembacanya.
  3. Pesan atau amanat, yaitu berupa nasihat yang akan disampaikan kepada pembaca dan nilai-nilai apa yang ingin ditanamkan kepada pembaca.
  4. Rima atau persajakan, yaitu berupa persamaan bunyi antar kata atau antar baris, persamaan bunyi tersebut bisa di awal, di akhir, dan bahkan di tengah kata atau baris.
  5. Ritme atau irama, yaitu berupa alunan naik turun, panjang pendek atau keras lemahnya bunyi yang bisa beraturan atau berulang-ulang sehingga menghasilkan sebuah keindahan.  Ritme atau irama bisa menjadi gambaran suasana hati penyair dalam melafalkan puisinya.
  6. Metrum atau matra, yaitu berupa pengulangan tekanan pada posisi-posisi tertentu yang sifatnya tetap.
  7. Diksi, yaitu berupa pemilihan kata yang tepat dan cermat dari segi bunyi maupun maknanya sehingga menjadi media ekspresi yang maksimal dan bernilai estetis.  Diksi dalam puisi bisa bermakna denotasi maupun konotasi.  Untuk jenis puisi anak bisa menggunakan pemilihan kata denotasi.  Atau bisa menggunakan kata konotasi namun dengan pilihan kata yang sederhana.
  8. Gaya bahasa dan majas atau bahasa figuratif.  Unsur ini merupakan ciri khas kebahasaan yang digunakan dalam membuat puisi.  Penggunaannya mencakup struktur kebahasaan, pilihan kata, ungkapan, peribahasa/bidal/pepatah, pemakaian bahasa slank atau dialek, pemakaian atau pembentukan majas, dll.
Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik dalam puisi meliputi beberapa hal seperti berikut ini:

  1. Biografi pengarang
  2. Pendidikan pengarang
  3. Sosial budaya pengarang
  4. Agama pengarang, dll

Puisi merupakan realisasi perasaan penulisnya yang ditulis berdasarkan inspirasi, sekecil dan sesederhana apapun bentuknya.  Penulisan puisi pun harus didasarkan pada teknik-teknik tertentu yang meliputi cara penyampaian ide atau biasa disebut dengan majas/gaya bahasa.

Majas adalah permainan bahasa yang digunakan untuk mendapatkan efek estetis, memaksimalkan ekspresi, dan mendapatkan kesan atau rasa tertentu.  Berikut ini adalah beberapa majas yang sering digunakan dalam puisi:


a. Metafora, yaitu perbandingan langsung, contohnya adalah:

  • Kaulah kandil kemerlap, pelita jendela di malam gelap.
  • Aku ini binatang jalang.
b. Simile, yaitu membandingkan sesuatu dengan kata pembanding, contohnya adalah:
  • Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
  • Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyirak kelopak.
c. Hiperbola, yaitu ungkapan yang membesar-besarkan atau melebih-lebihkan.  Contohnya adalah:
  • Aku mau hidup seribu tahun lagi.
  • Cita-citanya setinggi langit.
d. Personifikasi, yaitu benda-benda mati yang digambarkan memiliki sifat dan perbuatan seperti manusia dan sering disebut dengan penginsanan.  Contohnya adalah:
  • Bulan tersenyum menyaksikan kebahagiaan mereka berdua.
  • Sepi menyanyi, malam dalam mendo’a tiba.
e. Sinekdok pars prototo, yaitu penyebutan sebagian untuk keseluruhan.  Contohnya adalah:
  • Sudah lama aku tidak melihat batang hidungnya.
  • Untuk memasuki tempat wisata itu setiap kepala harus membayar Rp 20.000.
f. Sinekdok totem pro parte, yaitu penyebutan keseluruhan tetapi untuk sebagian, contohnya adalah:
  • Politisi dan pejabat tinggi adalah calo-calo yang rapi.
  • Perang Dunia II berakhir pada tahun 1942.
g. Eufimisme, yaitu ungkapan penghalus agar tidak menyinggung perasaan orang lain.  Contohnya adalah:
  • Palayan toko disebut dengan pramuniaga.
  • Orang buta disebut sebagai tuna netra.
h. Tautologi, yaitu penggunaan kata-kata yang senada atau hampir sama dengan maksud untuk menyangatkan.  Contohnya adalah:
  • Bisa dan luka kubawa lari, hingga hilang pedih perih.
  • Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa.
i. Repetisi, yaitu berupa pengulangan kata-kata yang sama dalam suatu baris kalimat.  Contohnya adalah:
  • Untuk mencapai cita-citamu itu, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah belajar, belajar dan sekali lagi belajar.
  • Dengan seribu gunung langit tak runtuh, dengan seribu perawan hati tak jatuh, dan dengan seribu sibuk sepi tak mati.
j. Paralelisme, yaitu bentuk pengulangan frasa atau kata antar baris-baris puisi.  Pengulangan bunyi pada awal kalimat disebut dengan anafora, sedangkan pengulangan bunyi di akhir kalimat disebut dengan epifora.  Contohnya adalah:
  • Aku manusia..... Rindu rasa...... Rindu rupa
  • Kalau kau mau, aku akan menghampiri......Kalau kau kehendaki, aku akan menghampiri..... Kalau kamu minta, aku akan menghampiri
k. Klimaks, yaitu gaya bahasa yang mengandung urutan pikiran yang semakin meningkat.  Contohnya adalah:
  • Bukan hanya beratus, beribu malah berjuta orang yang telah menderita akibat peperangan.
  • Dari kecil sampai dewasa, malah sampai setua ini engkau belajar, tapi tak juga pandai-pandai.
l. Anti klimaks, yaitu gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang urutannya semakin menurun.  Contohnya adalah:
  • Jangankan satu juta, seratus ribu pun aku tak punya.
  • Kakeknya, ayahnya, dia sendiri, dan kini anaknya semuanya tidak luput dari penyakit turunan itu.
m. Paradoks, yaitu gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada, berlawanan namun benar.  Contohnya adalah:
  • Dia tertawa, tetapi hatinya menangis.
  • Gajinya besar, tetapi hidupnya melarat.
n. Antitesis, yaitu berupa kata-kata yang berlawanan.  Contohnya adalah:
  • Tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan semua hadir dalam perayaan itu.
  • Hidup matimu, susah senangmu serahkan saja pada Yang Maha Kuasa.
o. Pleonasme, yaitu menjelaskan sesuatu yang sebenarnya sudah jelas.  Contohnya adalah:
  • Naiklah ke atas lalu belok ke kiri di situlah rumahnya.
  • Maju ke depan dan perkenalkan namamu.
p. Metonimia, yaitu gaya bahasa yang menggunakan merk dagang untuk menjelaskan atau mengasosiasikan sebuah benda.  Contohnya adalah:
  • Keluarganya pulang kampung menggunakan Avanza. (merk mobil)
  • Dia tertipu puluhan juta karena membeli hermes palsu. (merk tas)
q. Ironi, yaitu berupa sindiran halus dengan cara mengatakan yang sebaliknya.  Contohnya adalah:
  • Masih pukul 08.00, kenapa kamu sudah bangun?
  • Yang kami minta hanyalah gapura saja, bukan tugu, lapangan bola, atau air mancur warna-warni.
r. Sinisme, yaitu berupa sindiran yang agak kasar.  Contohnya adalah:
  • Muntah aku melihat kelakuanmu yang tidak pernah berubah!
s. Sarkasme, yaitu sebuah ejekan atau sindiran kasar yang cukup pedas.  Contohnya adalah:
  • Apakah kamu tidak punya telinga, dipanggil dari tadi tidak datang juga.
  • Dasar otak udang, disuruh mengerjakan soal begitu saja tidak bisa.

Haryani, S.Pd., M.Pd. 2018.  Modul Pendamping Bahasa Indonesia Kelas X semester 2.  Klaten Utara:  Mulia Group.

By Blogger Bisnis 1:32 PM

Ketika membaca karya sastra, sobat pasti menyadari ada kekhasan atau karakteristik tersendiri dibandingkan dengan karya nonsastra. Nah, kurang lebih itulah yang disebut gaya bahasa. Banyak orang menyamakan gaya bahasa dengan majas. Padahal dua hal tersebut berbeda. Lalu, apa perbedaan gaya bahasa dan majas? Gaya bahasa mencakup aspek-aspek yang lebih spesifik seperti penjelasan berikut.

Aminuddin (1987:72) mengatakan bahwa gaya bahasa ialah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.

Gaya bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 2010) ialah (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; (3) keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra; dan (4) cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan.

Keraf (2010:112—113) menyatakan bahwa gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Gaya bahasa atau style merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).


Berbeda dengan uraian tersebut, Ratna (2009:416) berpendapat bahwa gaya bahasa (stylistic) merupakan unsur karya sastra sebagai akibat cara penyusunan bahasa sehingga menimbulkan aspek estetis. Secara tradisional disamakan dengan majas, secara modern meliputi keseluruhan cara penyajian karya sastra, termasuk bahasa nonsastra.

Menurut Keraf (1994:22—23) dalam Sobur (2006:83) dan Sudjiman (1993:13), gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, citraan, majas, dan pola rima yang digunakan seorang sastrawan yang terdapat dalam sebuah karya sastra.

Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi. Cakupan gaya bahasa tersebut diuraikan sebagai berikut.

Menurut Scott (1980:107) dalam Rosid (2011:37), diksi berasal dari bahasa Latin dicere, dictum yang berarti to say. Diksi berarti pemilihan dan penyusunan kata-kata dalam tuturan atau tulisan. Diksi yang baik adalah pemilihan kata-kata secara efektif dan tepat di dalam makna serta sesuai dengan pokok masalah, audien, dan kejadian.

Sementara itu, Keraf (2010:87) menyatakan bahwa ketepatan pemilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara. 

Pemilihan kata selalu disesuaikan dengan kebutuhan penulis. Cara penulis mengungkapkan gagasannya dalam wacana ilmiah tentu akan sangat berbeda dengan pengarang dalam cipta kreasi sastra walaupun keduanya mengembangkan sebuah ide yang sama.

Pengarang wacana ilmiah akan menggunakan gaya yang bersifat lugas, jelas, dan menjauhkan unsur-unsur gaya bahasa yang mengandung konotatif. Sedangkan pengarang dalam wacana sastra justru akan menggunakan pilihan kata yang bersifat konotasi, kata-kata yang indah sehingga memunculkan nilai estetik suatu karya sastra (Aminuddin, 1987:72).

Perbedaan itu dapat dilihat dari dua kalimat berikut. Pertama, kalimat dalam karya ilmiah (a) Pedoman Penulisan karya ilmiah ini memberikan petunjuk tentang cara menulis karya yang berupa skripsi, tesis, disertasi, artikel, makalah, tugas akhir, dan laporan penelitian (PPKI UM, 2010:2). (b) Sebagian pakar bahasa menganggap ini sebagai dialek melayu karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan didalamnya (Yasin, 2011).

Kedua, kalimt dalam  karya sastra (c) … Jempolnya bergerak, mencari satu nama itu. Dan begitu nama itu muncul di layar, ia tertegun sendirian. Batinnya menyapa spontan: Apa kabar kamu, Kecil? (Dee “Perahu Kertas”, 2011:213). (d) Misas pun lebih suka menenggelamkan diri dalam rumahnya yang sepi dan semakin sepi (Zaenal “Zalzalah”, 2009:291).

Kalimat (a) dan (b) memilih kata-kata yang lugas, jelas, dan tidak bermakna konotatif, informasi yang disampaikan kalimat dapat diterima pembaca tanpa penafsiran ganda. Sementara pada kalimat (c) dan (d), kata-kata yang dipilih disusun seindah mungkin untuk menimbulkan ketertarikan pembaca kepada tulisan penulis. Kata-kata itu lebih banyak yang bermakna konotatif, misalnya kata “batinnya menyapa”, dan “menenggelamkan diri”.

Struktur kalimat dalam kegiatan komunikasi bahasa, jika dilihat dari kepentingan style lebih penting dan bermakna daripada kata. Pola kalimat bahasa Indonesia terbentuk dari susunan kata akan memiliki makna yang berbeda jika dilihat dari konteks kalimat yang berbeda pula. Ada bermacam gaya bahasa yang terlahir dari penyiasatan struktur kalimat.

Salah satu gaya bahasa yang banyak digunakan orang adalah yang berangkat dari bentuk pengulangan, baik yang berupa pengulangan kata, bentuk kata, frasa, kalimat, maupun bentuk-bentuk yang lain, misalnya gaya repetisi, pararelisme, anafora, polisindenton, dan alisindenton, antitesis, alitrasi, klimaks, antiklimaks, dan pertanyaan retoris (sastrawangi, 2012).

Sementara itu, Aminuddin (1987:72) mengatakan bahwa tatanan kalimat pada karya sastra menunjukkan adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan hanya nu-ansa makna tertentu saja.

Berikut adalah contoh struktur kalimat dalam karya sastra.

Orang-orang yang tahu keadaan Marni anak-beranak dapat dengan mudah memahami keputusan perempuan itu. Marni baru berusia tiga puluh tahun, segar, dan cantik. Karena lama ditinggal suami, banyak lelaki, yang beristri atau tidak, ingin memiliki dia. Jadi semuanya wajar saja.Karman sendiri dapat menerima hal masuk akal itu.“Tetapi masalahnya, Marni adalah istri saya!” keluh Karman.Keluhan itu bahkan tak juga pupus meskipun sudah enam tahun mengendap dalam hatinya.

(Ahmad Tohari “Kubah”, 1995:13) 

Kalimat-kalimat dalam paragraf tersebut memiliki keterkaitan yang erat untuk dapat memahami gagasan yang disampaikan pengarang. Ahmad Tohari dalam menggambarkan kedukaan hati Karman karena istrinya menikah lagi tidak menggunakan kalimat yang biasa saja.

Melalui kalimat itu, Ahmad Tohari menggiring pembaca untuk menemukan bahwa perempuan (Marni) yang tengah dipikirkan Karman adalah istrinya sendiri yang menikah lagi enam tahun silam. Hal itu tidak akan ditemukan jika pembaca hanya membaca misalnya kalimat pertama saja pada paragraf tersebut, atau pun kalimat kedua saja dan seterusnya.

Panjang pendek kalimat juga bervariasi, ada yang pendek, seperti Jadi semuanya wajar saja. kalimat ini hanya terdiri atas subjek dan predikat, dan ada yang panjang, seperti Orang-orang yang tahu keadaan Marni anak-beranak dapat dengan mudah memahami keputusan perempuan itu. kalimat ini terdiri atas subjek, predikat, dan objek.

Menurut Scott (1980:139) dalam Rosid (2011:39), citraan atau imagery berasal dari bahasa Latin imago (image) dengan bentuk verbanya Imitari (to mitatie). Citraan merupakan gambaran angan-angan dalam puisi.

Penyair tidak hanya pencipta musik verbal tetapi juga pencipta gambaran dalam kata-kata untuk mendeskripsikan sesuatu sehingga pembaca dapat melihat, merasakan, dan mendengarnya.

Gambaran angan-angan tersebut untuk menimbulkan suasana yang khusus; membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran serta pengidraan juga untuk menarik perhatian.

Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 2010), citraan ialah cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu dan membentuk kesan atau gambaran visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, serta merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi.

Artikel Lainnya : 4 Kemampuan Berbahasa

Citraan atau imaji tersebut seolah-olah dapat ditangkap langsung oleh indra manusia, baik indra penglihatan, indra pendegar, indra penciuman, indra perasa, maupun indra peraba. 

Misal dalam baris puisi berikut “seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu” (WS Rendra, “Sajak O-rang Lapar”). Baris puisi Rendra itu membuat pembaca seolah-olah melihat seorang pemuda yang tengah menangis tersedu.

Ratna (2009:164) mengungkapkan bahwa majas (figure of speech) adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan. Majas berfungsi sebagai penunjang untuk melengkapi gaya bahasa.

Pendapat serupa dari Tarigan (1986:32) bahwa salah satu yang dapat digunakan oleh para penyair untuk membangkitkan imaji itu adalah dengan memanfaatkan majasatau figurative language, yang merupakan bahasa kias atau gaya bahasa. Majas berfungsi untuk memperjelas maksud serta menjelmakan imajinasi.

Keraf (1996) dalam Ratna (2009:439—447) menyatakan bahwa secara garis besar majas dibedakan menjadi empat macam, yaitu: penegasan, perbandingan, pertentangan, dan sindiran. Kemudian keempat macam majas tersebut dijabarkan sebagai berikut.

Majas yang termasuk ke dalam jenis majas penegasan antara lain: `, aforisme, alonim, anagram, antiklimak, apofasis/preterisio, aposiopesis, arkhaisme, bombastis, elipsis, enumerasio/akumulasio, esklamasio, interupsi, inversi/anastrof, invokasi, klimaks, kolokasi, koreksio/epanortosis, paralelisme, pararima, pleonasme, praterio, repetisi, retoris/erotesis, sigmatisme, silepsis, sindeton, sinkope/kontraksi, tautologi, dan zeugma.

Majas yang termasuk ke dalam jenis majas perbandingan antara lain: alegori, alusio, antonomasia, disfemisme, epilet, eponim, hipalase/enalase, hiperbola, litotes, metafora, metonimia, onomatope, paronomasia, perifrasis, personifikasi, simbolik, simile, sinekdok, sinestesia, dantropen.

Majas yang termasuk ke dalam majas pertentangan antara lain: anakronisme, antitesis, kontradiksio, oksimoron, okupasi, paradoks, dan prolepsis/antisipasi.

Majas yang termasuk ke dalam majassindiran antara lain: anifrasis, inuendo, ironi, permainan kata, sarkasme, dansinisme.

Perrine (1974:616-17) dalam Waluyo (1994:218) menyatakan bahwa majas digunakan pengarang untuk: (1) menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) menghasilkan imaji tambahan sehingga hal-hal yang abstrak menjadi konkret dan menjadikan karya itu nikmat dibaca, (3) menambah intensitas perasaan pengarang dalam menyampaikan makna dan sikapnya, dan (4) mengonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu dengan bahasa yang singkat.

Rima dan ritma merupakan pengulangan bunyi dalam puisi. Dengan pengulangan bunyi tersebut, puisi menjadi merdu bila dibaca. Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi menimbulkan suatu gerak yang teratur.

Gerak yang teratur itulah yang disebut ritma atau rhythm. Luxemburg (1989:196) dalam Rosid (2011: 48—50) menyatakan bahwa rima didasarkan atas permainan unsur bunyi. Bentuk-bentuk rima yang paling sering muncul adalah aliterasi, asonansi, dan rima akhir. Aliterasi adalah repetisi bunyi awal pada kata-kata yang berbeda, biasanya berupa konsonan. Aliterasi berfungsi mendekatkan kata-kata. 

Asonansi merupakan perulangan bunyi vokal. Sementara rima akhir berfungsi memperkuat susunan tematik sebuah puisi dan menghubungkan larik dengan larik.

Contoh aliterasi terdapat dalam cuplikan puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” karya Rustam Effendi sebagai berikut.

bukan beta bijak berperi,

pandai menggubah madahan syair,

musti menurut undangan mair.

sarat saraf saya mungkiri,

untai rangkaian seloka lama,

beta buang beta singkiri,

sebab laguku menurut sukma.

susah sungguh saya sampaikan,

( Rustam Effendi, “Bukan Beta Bijak Berperi”)

Terjadi pengulangan bunyi konsonan padapuisi tersebut sebagai huruf awal pada kata-kata yang berbeda. Hal itulah yang disebut dengan aliterasi. Pada baris pertama misalnya, bukan beta bijak berperi terjadi pengulangan huruf b sebagai huruf pertama kata bukan, beta, bijak, dan berperi.

Contoh asonansi terdapat dalam puisi “Rumahku” karya Chairil Anwar sebagai berikut.

Rumahku dari unggun-unggun sajak

Kaca jernih dari segala nampak

Kulari dari gedung lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala

Dipagi terbang entah kemana

Rumahku dari unggun-unggun sajak

Disini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang

Biar berleleran kata manis madu

(Chairil Anwar, “Rumahku”)

Puisi “Rumahku” tersebut banyak mengulang bunyi vokal /a/, /i/ dan /u/. Misalnya pada baris ke-5 Kemah kudirikan ketika senjakala mengulang bunyi /a/ pada setiap akhir kata.

Pada baris ke-3 Kulari dari gedung lebar halaman mengulang bunyi /i/ pada kata kulari dan dari. Kemudian, pada baris pertama Rumahku dari unggun-unggun sajak terjadi pengulangan bunyi /u/ pada kata rumahku, dan unggun.

Contoh rima akhir terdapat dalam puisi “Doa” karya Chairil Anwar sebagai berikut.

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu

Biar susah sungguh


mengingat kau penuh seluruh caya-Mu panas suci tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk


remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku


di pintu-Mu aku mengutuk aku tidak bisa berpaling

(Chairil Anwar, “Doa”)

Puisi tersebut mengulang bunyi /u/ pada sebagian besar akhir baris. Misalnya, akhir baris pertama bait pertam Tuhanku, baris ke-2 Dalam termangu, baris ke-3 Aku masih menyebut nama-Mu, dan pada baris pertama bait ke-2 pun juga masih mengulang bunyi /u/ Biar susah sungguh.

Pendapat serupa dinyatakan Tarigan (2011:35) bahwa rima dan ritma memiliki pengaruh untuk memperjelas makna puisi. Dalam kepustakaan Indonesia, ritme atau irama adalah turun naiknya suara secara teratur, sedangkan rima adalah persamaan bunyi.

Kesamaan bunyi yang dimaksud dapat ditunjukkan dengan cuplikan  bait puisi berikut.

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas

dan meluncur lewat sela-sela jari kita

tapi kini kita mulai merindukannya

(Taufiq Ismail, “Membacca Tanda-Tanda”)

aku bawakan resahku padamu

aku bawakan darahku padamu

aku bawakan mimpiku padamu

aku bawakan dukaku padamu

(Sutardji Calzoum Bachri, “Tapi”)

Rima pada bait pertama ialah rima aaaa  karena bait tersebut memiliki kesamaan bunyi akhir, sementara bait kedua menggunakan rima depan karena terdapat kesamaan kata pada awal baris puisi itu, kata “aku” dan “tapi” diulang pada awal baris puisi karya Sutardji tersebut.

Alisjahbana, Sutan Takdir. 1937. Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka.

Aminuddin. 1987. Pengantar Memahami Unsur-Unsur dalam Karya Sastra. Bagian I. Malang: FPBS IKIP Malang.

Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam KaryaSastra. Semarang: IKIP Semarang Press.

Lestari, Dewi. 2011. Perahu Kertas. Jogjakarta: Bentang Pustaka.

Parera, J. Daniel. 1988. Belajar Mengemukakan Pendapat: Standar, Logis, Pragmatik. Jakarta: Erlangga.

Purba, Antilan. 2009. Stilistika Sastra Indonesia: Kaji Bahasa Karya Sastra. Medan: USU Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Location:

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA