Faktor-faktor yang Mempengaruhi hakim dalam memutus perkara

hukum96.com


Hakim sebagai pejabat yang diberikan wewenang untuk memeriksa serta memutuskan suatu perkara mempunyai kedudukan yang istemewa, karena hakim selain sebagai pegawai negeri, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hakim sebagai pegawai negeri digaji oleh pemerintah, akan tetapi ia tidak menjalankan perintah dari pemerintah, bahkan hakim dapat menghukum pemerintah apabila pemerintah melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

Pengertian dari Kekuasaan kehakiman adalah badan yang menentukan dan kekuatan kaidah - kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Hakim merupakan sebuah  pelaksana dari kekuasaan kehakiman, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan :

Ketentuan Pasal 4 menyebutkan bahwa:


  1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
  2. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dari rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Ketentuan Pasal 6 menjelaskan bahwa:

  1. Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undangundang menentukan lain.
  2. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Ketentuan Pasal 7 menjelaskan bahwa:

“Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”

Ketentuan Pasal 8 menjelaskan bahwa:

  1. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  2. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Baca Juga :  Tahapan Tugas Hakim Dan Saat Penemuan Hukum Dilakukan

Hakim didalam mempertimbangkan penjatuhan putusan suatu perkara, Ada beberapa teori yang sering di gunakan yaitu:

Teori pertama yaitu keseimbangan, Keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana.

Inti dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Penggunaan teori Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga pengalaman hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

Ketika hakim menghadapi suatu perkara yang paling penting adalah pengalaman dari seorang hakim itu sendiri. Ini merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan  dalam menghadapi suatu perkara pidana yang berkaitan langsung dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

Landasan yang mendasari teori dari Ratio Decidendi ini adalah landasan filsafat , yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sehingga ini merupakan dasar hukum hakim dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.


Pada kenyataannya dalam praktik, walaupun telah bertitik tolak dari sikap-sikap seseorang hakim yang baik, kerangka landasan berfikir atau bertindak dan melalui empat buah titik pertanyaan dalam putusan hakim yaitu : Bahwa benarkan putusan ini, jujurkah aku dalam mengambil keputusan, adilkah bagi pihak–pihak yang bersangkutan, bermanfaatkah putusanku ini. Sebagai manusia biasa hakim  tidak luput dari kelalaian, kekeliruan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekurangan hati-hatian, dan kesalahan. Pada praktik di lapangan, ada saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap kurang diperhatikan hakim dalam membuat keputusan.

Menurut Al. Wisnubroto, ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan, adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan suatu keputusan adalah Faktor Subyektif, yaitu: Sikap Perilaku Apriori.

Jika kita sering mengamati suatu proses persidangan maka hakim sering kali dalam mengadili suatu perkara dari awal, Hakim dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Oleh karena itu sikap tersebut sangat bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence), terutama dalam perkara pidana. Jika kita melihat faktanya bahwa  sikap keberpihakan ada pada  penuntut umum atau penggugat dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian yang tidak seimbang.

Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda dengan perilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.

Jika Hakim telah mmiliki sifat atau sikap yang  arogan, bahwa merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang bersengketa lainnya, sering kali dapat mempengaruhi keputusannya.

  • Faktor moral ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan, terutama hakim. sehingga ini berfungsi sebagai membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.
  • Faktor Obyektif, yaitu: Latar belakang sosial budaya

Profesionalisme yang meliputi pengetahuan, wawasan dan skills (keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan, oleh sebab itu hakim yang menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.


Pada hakekatnya dengan adanya pertimbangan–pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void) karena kurang pertimbangan hukum. Selanjutnya setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan, pada putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsur dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum.

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

1

FAKTOR-FAKTOR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN

PUTUSAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI

PENGADILAN NEGERI YOGYAKARTA

Anshari*

*Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Pontianak

Email Korespondensi :

Abstrak

Permasalahan peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia menyebar hampir ke

seluruh wilayah Indonesia, terutama di kota-kota besar. Pengaruh globalisasi dan hasil dari

kemajuan teknologi dapat dinikmati untuk kemaslahatan bersama. Namun di balik itu tampak sisi

negatif yang sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup generasi muda. Arus informasi

dan transformasi yang sudah tidak dapat dibendung lagi menyebabkan penyalahgunaan

Narkotika, semakin sulit untuk dikendalikan. Upaya pencegahan, penegakan hukum, dan upaya

mengurangi tindak pidana penyalahgunaan narkotika tersebut jelas menjadi perhatian

pemerintah, yang juga tidak terlepas dari peranan hakim sebagai salah satu aparat penegak

hukum dan keadilan yang tugasnya mengadili tersangka atau terdakwa. Hakim mempunyai peran

yang sangat penting dalam serangkaian proses penegakan hukum terutama dalam pemidanaan,

karena semua perkara hukum bermuara pada putusan-putusannya. Dalam menjalankan fungsi

yang penting ini, hakim menjadi pencipta norma-norma yang bersifat baru karena setiap putusan-

putusannya dapat dianggap sebagi yurisprudensi yang merupakan salah satu sumber hukum.

Hakim juga berperan dalam mempertahankan tertib hukum dengan cara memberikan putusan

terhadap setiap perkara yang dihadapkan kepadanya. Selain peran hakim sebagaimana tersebut

di atas, hakim juga memiliki peran dalam melakukan penafsiran hukum. Maka dari itu, dalam hal

memeriksa, mengadili, dan memutus suatu tindak pidana narkotika, perlu dilakukan penelitian

untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap

pelaku tindak pidana narkotika, dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi putusan

hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan

Negeri Yogyakarta.

Kata Kunci: Faktor Pertimbangan Hakim, Putusan Pidana, Tindak Pidana Narkotika

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia merupakan suatu negara yang sedang berkembang yang bercita-

cita menuju suatu negara maju. Tapi dalam proses perkembangan pembangunannya

banyak hal yang menghambat yang salah satunya adalah penyalahgunaan narkotika yang

sangat merusak masyarakat Indonesia khususnya generasi muda sebagai penerus

Bangsa. Perkembangan penyalahgunaan narkotika semakin hari semakin meningkat, hal

ini dapat kita amati dan saksikan di berbagai mass media cetak maupun elektronik yang

selalu dihiasi dengan berita-berita penyalahgunaan narkotika.

Dalam melaksanakan pembangunan tidak hanya mementingkan pembangunan secara

fisik material semata, namun yang lebih penting adalah pembangunan aspek mental

spiritual. Hal ini sangat membutuhkan partisipasi seluruh komponen bangsa, mulai dari

unsur pemerintah, praktisi, kalangan intelektual, dan kelompok-kelompok masyarakat

lainnya, maka dengan demikian suatu pembangunan akan tercapai apabila didukung oleh

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

2

sumber daya manusia yang handal erat kaitannya dengan generasi muda yang produktif

dan berkualitas.

Generasi muda tumbuh dan berkembang pada tiga dimensi sosial yaitu lingkungan

keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat, yang merupakan pendidikan

dan pembinaan generasi muda. Dimensi ini sangat berpengaruh terhadap tumbuh dan

berkembangnya generasi muda, sebab kesinambungan ketiga dimensi ini akan mewarnai

penampilan, sikap, dan perilaku mereka dalam masyarakat.

Masuknya unsur kebudayaan asing yang bersifat negatif yang merupakan dampak dari

teknologi dan komunikasi yang mengalami kemajuan pesat. Melalui media tersebut terjadi

pertemuan berbagai unsur kebudayaan asing. Generasi bangsa mengenal tata cara

kehidupan lain seperti cara berpakaian, bergaul, gaya hidup, minum-minuman keras

sampai pada kasus penyalahgunaan narkotika.

“Narkotika merupakan zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi

mereka yang menggunakan dengan memasukkan ke tubuh”.

Penggunaan

penyalahgunaan narkotika dapat membahayakan, yang akhirnya merusak system

syarafnya. Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan merugikan diri sendiri, keluarga,

masyarakat, dan negara.

Penyalahgunaan narkotika merupakan perbuatan yang bertentangan dengan

peraturan perundangan-undangan. Saat ini penyalahgunaan narkotika melingkupi semua

lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Penyalahgunaan

narkotika dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang akhirnya merugikan kader-

kader penerus bangsa.

Penyalahgunaan narkotika tidak terlepas dari sistem hukum positif yang berlaku di

negara Indonesia. Sistem hukum positif yang berlaku di negara Indonesia mengalami

perkembangan yang sangat pesat, hal ini terlihat dalam efektifnya pelaksanaan sanksi

pidana. Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-

undang No. 35 Tahun 2009 (Lembaran Negara RI. No. 143 Tahun 2009) tentang Narkotika

terdapat beberapa sanksi, seperti sanksi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan

maupun sanksi pidana denda yang penerapannya dilakukan secara kumulatif.

Penyalahgunaan narkotika yang semakin meningkat dan sulit diberantas, Badan

Narkotika Nasional (BNN) mencatat pengguna narkoba di Indonesia sekitar 3,2 juta orang,

atau sekitar 1,5 persen dari jumlah penduduk negeri ini. Dari jumlah tersebut, sebanyak

8.000 orang menggunakan narkotika dengan alat bantu berupa jarum suntik, dan 60

persennya terjangkit HIV/AIDS, serta sekitar 15.000 orang meninggal setiap tahun karena

menggunakan napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif) lain.

Dari hasil pengamatan perkembangan meningkatnya penyalahgunaan narkotika dalam

hal ini perlu dilakukan upaya pencegahan dan mengurangi tindak kejahatan

penyalahgunaan narkotika tersebut, yang tidak terlepas dari peranan hakim sebagai salah

satu aparat penegak hukum dan keadilan yang tugasnya mengadili tersangka atau

terdakwa. Yang dimaksud dengan mengadili adalah:

“Serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara

pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak pada sidang Pengadilan dalam

hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana, yaitu

Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990, hal. 3

Sumber: rethacuaemlive.blogspot.com, 2009, Artikel: Jumlah Pengguna Narkoba di Indonesia, di unduh dari

//dunia-narkoba.blogspot.com/2009/03/jumlah-pengguna-narkoba-di-indonesia.html

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

3

memeriksa dengan berdasarkan pada bukti-bukti yang cukup. Pada tahap ini tersangka

dituntut, diperiksa dan diadili oleh hakim dinamakan terdakwa”.

Untuk mengambil keputusan, hakim harus mempunyai pertimbangan yang bijak

supaya putusan tersebut sesuai dengan asas keadilan. Setiap putusan hakim merupakan

salah satu dari ketiga kemungkinan sebagai berikut:

1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib, yaitu pemidanaan

terhadap terdakwa apabila kesalahan terdakwa pada perbuatan yang telah

dilakukan dan perbuatan itu adalah suatu tindak pidana menurut hukum dan

keyakinan cukup dibuktikan.

2. Putusan bebas, yaitu terdakwa dibebaskan apabila menurut hasil pemeriksaan

kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan tidak terbukti.

3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yaitu jika kesalahan terdakwa menurut

hukum dan keyakinan cukup terbukti, tetapi apa yang dilakukan terdakwa bukan

merupakan suatu tindak pidana.

Putusan hakim yang isinya menjatuhkan hukuman yang sudah mempunyai kekuatan

hukum tetap, maka keputusan tersebut dapat dijalankan. Melaksanakan keputusan hakim

adalah menyelenggarakan agar supaya segala sesuatu yang tercantum dalam surat

keputusan hakim itu dapat dilaksanakan, misalnya apabila keputusan itu berisi

pembebasan terdakwa, agar supaya segera dikeluarkan dari tahanan, apabila berisi

penjatuhan pidana denda, agar supaya uang denda itu dibayar, dan apabila keputusan itu

memuat penjatuhan pidana penjara, agar supaya terpidana menjalani pidananya dalam

rumah Lembaga Pemasyarakatan dan sebagainya. Hasil keputusan hakim tersebut dapat

menimbulkan dampak yang sangat luas bagi masyarakat.

Hal tersebut di atas sangat berpengaruh terhadap perkembangan kasus

penyalahgunaan narkotika yang tidak berkurang bahkan semakin meningkat di beberapa

daerah pada umumnya dan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada khususnya. Dengan

peningkatan jumlah penyalahgunaan narkotika yang dari tahun ke tahun semakin

meningkat, maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana “Proses Penjatuhan Putusan

Oleh Hakim Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Di Pengadilan Negeri Yogyakarta”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Apa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku

tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Yogyakarta?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi putusan hakim dalam menjatuhkan

putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri

Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah,

yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana

terhadap pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Yogyakarta.

Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999, hal. 127

Ibid., hal. 128

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

4

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi putusan hakim dalam

menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan

Negeri Yogyakarta.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan merupakan penyaluran hasrat ingin tahu manusia dalam taraf

keilmuan. “Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang

disebut ilmu.”

“Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, karena ilmu merupakan

pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat yang dimaksud

yang tercantum dalam metode ilmiah.”

Agar suatu penelitian dapat bersifat obyektif maka dalam mengambil kesimpulan harus

berpedoman pada metode penelitian. Yang dimaksud dengan metode adalah “suatu

prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang memiliki langkah-langkah yang sistematis”.

Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Dalam penelitian ini

penulis menggunakan data sekunder yang berupa bahan-bahan pustaka serta

menghubungi narasumber untuk memperkuat data yang diperoleh.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada wilayah hukum Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta dengan instansi Pengadilan Negeri Yogyakarta.

3. Narasumber Penelitian

Untuk memperkuat data yang berhubungan dengan penelitian ini maka penulis

menghubungi narasumber yaitu Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta (atau yang

ditunjuk untuk mewakili) pada Pengadilan Negeri Yogyakarta yang pernah

menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

4. Sumber Data

Data sekunder yang diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, terdiri dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-

undang Nomor 22 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-undang

Nomor 35 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 143 Tahun

2009) tentang Narkotika, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 sebagaimana

diubah dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 (Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 157 Tahun 2009) tentang Kekuasaan Kehakiman,

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang

Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor

49 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 2009)

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang

Peradilan Umum.

b. Bahan hukum sekunder, yang diperoleh dari RUU KUHP (Rancangan Undang-

undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Dokumen-dokumen Hukum

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 46

Ibid, hal. 46

Peter R. Senn, dalam Ibid.

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

5

(Salinan Putusan Pengadilan) tentang perkara tindak pidana penyalahgunaan

narkotika, buku ilmiah, jurnal, majalah, surat kabar, televisi, internet, dan sumber

lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier, yang terdiri dari Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia,

dan Bahasa lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

5. Metode Pengumpulan Data

Cara-cara yang akan digunakan untuk mengumpulkan data dalam penyusunan

penelitian ini adalah:

a. Studi Pustaka, diperoleh dengan cara mempelajari kitab peraturan perundang-

undangan, buku-buku ilmiah, jurnal, majalah, surat kabar, berita televisi, dan

bahan-bahan lain yang dapat dijadikan sebagai data yang mendukung

penyusunan penelitian ini.

b. Wawancara langsung dengan narasumber yang dilakukan untuk melengkapi dan

menguatkan data-data yang diperoleh dari hasil studi pustaka.

c. Quisioner yang dilakukan dengan cara memberikan pertanyaan tertulis kepada

narasumber.

6. Analisis Data

Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan metode analisis secara kualitatif

yaitu data yang sudah terkumpul akan diseleksi dan diolah berdasarkan kualitasnya

yang relevan dengan tujuan dan permasalahan penelitian sehingga didapatkan suatu

gambaran tentang penjatuhan putusan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana

penyalahgunaan narkotika.

III. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Terhadap Pelaku

Tindak Pidana Narkotika

Sebelum memutuskan suatu perkara, hakim selalu memperhatikan hal-hal yang dapat

menjadi suatu pertimbangan-pertimbangan baik secara yuridis maupun di luar ketentuan-

ketentuan yuridis demi menemukan suatu kebenaran dan menciptakan keadilan.

Sesuai dengan asas tindak pidana tanpa kesalahan (geen straaf zonder schuld)

pidana hanya dapat dijatuhkan bila ada kesalahan terdakwa, yang dibuktikan di sidang

pengadilan, yaitu kesalahan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam dakwaan penuntut

umum. Jadi pengadilan menjatuhkan pidana apabila terdakwa bersalah melakukan

tindakan pidana yang didakwakan kepadanya (Pasal 193 KUHP). Bukan begitu saja dapat

dijatuhi pidana tetapi, harus didukung dengan alat bukti yang sah sesuai dengan rumusan

pasal 183 KUHP yang menegaskan bahwa:

“Hakim tidak pidana menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh keyakinan bahwa

tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.”

Berikut jenis-jenis alat bukti yang terdapat dalam pasal 184 KUHP, yaitu:

1. Keterangan saksi.

2. Keterangan ahli.

3. Surat.

4. Petunjuk.

5. Keterangan terdakwa.

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

6

Disamping itu yang patut diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan pidana,

berdasarkan hasil wawancara dengan bapak H.M. Luthfie, S.H. Yaitu:

1. Kesalahan pembuat tindak pidana.

2. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana.

3. Cara melakukan tindak pidana.

4. Sikap batin pembuat pidana.

5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana.

6. Pengaruh tindak pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana.

7. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana.

8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

9. Tanggung jawab pelaku terhadap korban.

10. Apakah tindak pidana dilakukan dengan rencana.

Menurut Bapak H.M. Luthfie, S.H., dalam menjatuhkan putusan pengadilan, hakim

mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang tidak hanya dipengaruhi hal-hal tersebut di

atas saja, melainkan ada beberapa faktor lain, dalam hal ini dapat memperingan dan

memperberat pidana, yaitu sebagai berikut:

1. Pidana diperingan:

Pidana diperingan berkaitan dengan hal-hal berikut ini:

a. Seseorang yang mencoba melakukan tindak pidana.

b. Seseorang yang membantu terjadinya tindak pidana.

c. Seseorang yang sukarela menyerahkan diri kepada pihak yang berwajib setelah

melakukan tindak pidana.

d. Wanita hamil yang melakukan tindak pidana.

e. Seseorang yang dengan sukarela memberikan ganti kerugian yang layak atau

memperbaiki kerusakan akibat tindak pidana yang dilakukan.

f. Seseorang yang melakukan tidak pidana karena kegoncangan jiwa yang hebat

sebagai akibat yang sangat berat dari keadaan pribadi atau keluarganya.

g. Seseorang yang melakukan tindak pidana, akan tetapi kurang dapat

dipertanggungjawabkan karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau

retardasi mental (keterbelakangan mental) atau disabilitas intelektual.

2. Pidana diperberat:

a. Pegawai negeri yang melanggar kewajiban jabatan khusus diancam dengan

pidana atau pada waktu melakukan tidak pidana menggunakan kekuasaan,

kesempatan, atau upaya yang diberikan kepadanya karena jabatannya.

b. Setiap orang yang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan bendera

kebangsaan, lagu kebangsaan atau lambang Negara.

c. Setiap orang yang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan keahlian

atau profesinya.

d. Orang dewasa melakukan tindak pidana bersama dengan anak di bawah umur.

e. Setiap orang yang melakukan tindak pidana dengan bersekutu, bersama-sama,

atau dengan kekerasan dengan cara yang kejam atau dengan berencana.

f. Setiap orang yang melakukan tindak pidana pada waktu huru hara atau terjdai

bencana.

Hasil wawancara dengan Bapak H.M. Luthfie, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta, pada 11-17 Juni 2009

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

7

g. Setiap orang yang melakukan tindak pidana pada waktu Negara dalam keadaan

bahaya.

h. Hal-hal lain yang ditentukan secara khusus dalam suatau peraturan perundang-

undangan.

i. Pemberatan tindak pidana di berlakukan juga terhadap setiap orang yang

melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu lima tahun sejak:

1) Menjalani seluruh atau sebagaian pidana pokok yang dijatuhkan.

2) Pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan.

3) Kewenangan menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum kadaluwarsa

buat tindak pidana.

4) Pengaruh tindak pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana.

5) Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindakan pidana.

6) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

7) Tanggung jawab pelaku terhadap korban.

8) Apakah tindakan pidana dilakukan dengan berencana.

Adanya banyak faktor yang diperhatikan dalam penjatuhan pidana tersebut, maka

menurut penulis diperlukan kejelian, kebijakan, dan kearifan seorang hakim dalam

menjatuhkan putusan. Berdasarkan hal tersebut tampak bahwa hakim tidak hanya

menjatuhkan putusan berdasarkan ketentuan peratuaran perundangan-undangan yang

berlaku, akan tetapi hakim juga menilai berdasarkan nilai-nilai sosial dan nilai-nilai

kemanusiaan. Pertimbangan-pertimbangan hakim merupakan sarana untuk memperoleh

rasa keadilan baik bagi terdakwa, korban, masyarakat atau pengadilan bagi hakim sendiri.

Keadilan yang dirasakan oleh terdakwa, maka terdakwa akan tahu bahwa kesalahan

yang ia perbuat itu mendapatkan keringanan hukuman berdasarkan hal-hal yang

meringkan yang disebut di dalam pembacaan putusan pengadilan sehingga terdakwa

merasa mendapatkan pengampunan atas perbuatan yang dilakukan meski harus

menjalani hukuman. Apabila disebutkan hal yang memberatkan bagi terdakwa, maka

terdakwa merasa bahwa perbuatannya itu dapat merugikan orang lain atau dirinya sendiri,

maka terdakwa akan merasa pantas menerima hukuman yang dijatuhkan tersebut.

Hakim dalam menjatuhkan pidana, juga memperhatikan masa depan terdakwa,

misalnya terdakwa merupakan tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah bagi isri

dan anak-anaknya, maka hakim mempertimbangkan hal yang demikian, sehingga

terdakwa mendapatkan keringanan sanksi.

Hal lain yang menjadi pertimbangan hakim adalah masalah umur terdakwa. Umur

seorang terdakwa dapat mempengaruhi pertimbangan hakim dalam mengambil

keputusan. Misalnya terdakwa telah berusia lanjut, maka sanksi yang akan diberikan

tentunya berbeda dengan terdakwa yang masih berusia produktif. Namun hal ini tentunya

tidak bersifat mutlak, maksudnya adalah tergantung pada kasus yang dihadapi. Dalam

kasus penyalahgunaan narkotika, masalah umur menurut pendapat hakim dan

berdasarkan pada kenyataan (fakta) di persidangan merupakan hal yang harus

dipertimbangkan sebelum hakim memutuskan perkara.

Suatu putusan hakim tidak berdiri sendiri tetapi mempunyai kekuatan berlaku untuk

peristiwa serupa yang terjadi kemudian hari. Hal ini adalah demi kesatuan dan kepastian

hukum. Kesatuan hukum menuntut keseragaman putusan terhadap perkara yang serupa.

Sedangkan kepastian hukum mengharap agar perkara serupa tidak diputus berbeda. Jadi

putusan hakim itu tidak bersifat normatif, yang berarti bahwa putusan hakim itu tidak hanya

Ibid.

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

8

berlaku bagi peristiwa tertentu saja, tetapi juga berlaku bagi peristiwa-peristiwa lainya yang

serupa yang terjadi kemudian.

Hal-hal tersebut harus diperhatikan untuk menjamin obyektifitas tegaknya kebenaran,

keadilan dan kepastian hukum. Selain itu hakim menjaga tertib sidang, menguasai hukum

materil, menjaga hak-hak terdakwa, mengusai hukum acara (hukum formil). Hakim

sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-

nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Masyarakat di Indonesia masih mengenal

adanya hukum tidak tertulis. Hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum

yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, sehingga hakim dapat memutuskan

dengan rasa keadilan dan dapat dipertanggungjawabkan terhadap masyarakat.

Menurut penulis, meskipun pada kenyataannya dewasa ini masih sering ditemui

beberapa kasus tentang dasar penjatuhan pidana bagi penyalahgunaan narkotika yang

belum sesuai dengan Undang-undang Narkotika, namun dapat dipahami bahwa dengan

dikeluarkannya Undang-undang Narkotika, telah banyak mempunyai pengaruh terhadap

kerja aparat penegak hukum.

Pengaruh itu antara lain terlihat pada adanya dasar hukum dalam penyelesaian

perkara penyalahgunaan narkotika, berbeda dengan sebelum adanya Undang-undang

Narkotika, aparat penegak hukum dalam melakukan tindakan terhadap penyalahgunaan

narkotika tidak mempunyai pedoman untuk melakukan tindakan karena belum diketahui

definisi apa yang dimaksud tentang narkotika. Akibatnya banyak putusan yang jauh

berbeda mengenai hal yang sama, dan bahkan banyak pelaku penyalahgunaan narkotika

yang sudah tertangkap malah dilepaskan dengan alasan belum ada aturan hukumnya.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Putusan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Putusan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana narkotika

dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal yang dapat mempengaruhi perilaku hakim

dalam menyelesaikan perkara. Faktor eksternal misalnya, tekanan pemerintah demi

terciptanya kepentingan yang menyangkut wibawa pemerintah ataupun demi kepentingan

lainnya. Kadang pemerintah turut campur dalam kasus-kasus tertentu dan juga adanya

tekanan dari kelompok-kelompok tertentu untuk memaksakan kehendaknya atau turut

campur dalam persidangan. Apabila hakim tidak mempunyai kepribadian yang kuat dan

tidak teguh pendirianya sebagai penegak hukum dan keadilan, maka tekanan dari luar ini

dapat berpengaruh sekali dalam mengambil suatu keputusan.

Tekanan keadaan juga mempengaruhi hakim secara internal, tekanan keadaan ini

adalah suatu keadaan pada saat yang harus dihadapi oleh hakim di dalam menjalankan

tugasnya. Tidak berbeda dengan anggota-anggota masyarakat yang lain, maka seorang

hakim sebagai anggota masyarakat juga menepati kedudukan tertentu di dalamnya.

Kedudukan tertentu ini tidak dapat ditetapkan atau dikehendaki secara otonomi oleh

orang-orang yang bersangkutan. Apa yang ingin dilakukan atau dikehendaki oleh seorang

hakim dapat ditentukan sendiri secara penuh, melainkan sangat tergantung pula akan

nilai-nilai dan susunan masyarakat.

Menurut Bapak H.M. Luthfie, S.H., faktor internal yang dapat mempengaruhi hakim

dalam mengambil suatu keputusan adalah:

1. Subyektif

a. Sikap perilaku yang apriori, seringkali hakim dalam mengadili satu perkara sejak

awal dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa tersangka atau terdakwa

bersalah, sehingga harus dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang salah.

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

9

Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan

yaitu asas praduga tak bersalah.

b. Sikap perilaku emosional, perilaku hakim yang mudah tersinggung atau marah

akan berbeda dengan perilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti

dalam menangani suatu perkara. Hal ini jelas akan berpengaruh pada hasil

keputusannya.

c. Sikap perilaku arogan, hakim yang memiliki sikap arogan merasa dirinya

berkuasa dan pandai melebihi orang lain sering kali mempengaruhi

keputusannya.

d. Moral, faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi penegak hukum dan

keadilan terutama hakim.

2. Obyektif

a. Latar belakang Sosial, Budaya, dan Ekonomi

Latar belakang sosial seorang hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim.

Dalam kajian sosiologis menunjukkan bahwa hakim yang berasal dari status

sosial tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam

masyarakat, bila dibandingkan dengan hakim yang berasal dari lingkungan

status sosial menengah ke bawah. Kebudayaan atau pendidikan seorang hakim

juga ikut mempengaruhi suatu keputusan hakim. Hakim yang berasal dari

lingkungan budaya yang keras dan liberal tentu akan berbeda dalam menangani

suatu perkara dibanding dengan hakim yang berasal dari lingkungan budaya

yang halus, longgar, dan kekeluargaan. Pendidikan seorang hakim juga ikut

mempengaruhi sikap perilakunya. Hakim yang rajin mengikuti pendidikan

tambahan, sepeti penataran, kursus-kursus atau bahkan melanjutkan pendidikan

yang stratanya lebih tinggi tentu akan memiliki lebih banyak dasar pertimbangan

dalam memutus sautu perkara, dibanding dengan seorang hakim yang hanya

mengandalkan pendidikan sarjana hukumnya. Satu hal lagi yang banyak

mempengaruhi perilaku hakim adalah latar belakang ekonomi. Sebagai manusia

biasa yang harus mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, faktor

ekonomi seringakali mempengaruhi pola pikirnya. Bisa saja karena desakan

ekonomi, seorang hakim yang awalnya memiliki komitmen kuat, secara

berangsur-angsur lemah pendiriannya dan menjadi pragmatis. Pada taraf yang

paling parah, faktor ini bahkan bisa mendorong hakim berani melakukan

tindakan yang salah hanya karena demi mendapatkan imbalan materi. Faktor ini

tentunya tidak bersifat absolut, sebab hakim yang memegang teguh kode etik

kehormatan hakim, tidak dapat dipengaruhi oleh faktor apapun termasuk

desakan ekonomi.

b. Profesionalisme

Profesionalisme yang meliputi pengetahuan, wawasan, dan keahlian yang

ditunjang dengan ketelitian merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim

dalam mengambil keputusan. Masalah profesionalisme ini juga seringkali

dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan, oleh karena itu hakim yang

menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan

menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan, jika

dibandingkan dengan hakim yang kurang mengindahkan etika profesi. Sekalipun

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

10

keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu menyelesaikan perkara, menegakkan

hukum dan memberikan keadilan.

Faktor-faktor tersebut menurut penulis sangat relevan jika dikaitkan dengan

penjatuhan pidana terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Apabila seorang

hakim mempunyai sikap yang apriori, emosional, atau arogansi, maka dapat saja

penjatuhan pidananya diperberat. Namun apabila seoarang hakim mempunyai sikap yang

arif dan bijaksana, maka hakim tersebut akan mempertimbangkan banyak faktor, terutama

dari sisi nilai sosial dan nilai kemanusiaan, dapat menyebabkan hakim menjatuhkan

pidana yang dapat meringankan terdakwa.

Sikap terdakwa yang sopan, masa depan terdakwa yang masih panjang, serta

penyebab terdakwa melakukan tindak pidana atau penyalahgunaan narkotika tentu

dijadikan sebagai dasar pertimbangan tersendiri oleh hakim. Seorang terdakwa yang baru

pertama kali dihukum akibat salah pergaulan, tentu penjatuhan sanksinya akan berbeda

dengan seorang terdakwa yang telah berulang kali dihukum. Seorang terdakwa yang baru

pertama kali dihukum dan dijatuhi hukuman yang meringankan terdakwa oleh hakim, maka

hakim mempunyai penilaian bahwa tingkah laku terdakwa masih dapat diperbaiki.

Sekalipun terikat pada suatu sistem yang ketat namun hakim dan peradilan tidak

identik dengan mesin peradilan yang dapat bekerja secara sistematis atau mekanis dalam

menyelesaikan perkara. Alasan sebenarnya sangat jelas dan sederhana, pertama karena

hakim adalah manusia yang dapat bekerja dengan akal budinya, sehingga dalam

menyelesaikan suatu perkara tidak cukup hanya mengandalkan daya pikir dan

keterampilan dalam mengoperasionalisasikan hukum, namun juga berlandaskan moral

yang muncul dari hati nuraninya.

Kasus yang bervariasi dapat berpengaruh terhadap putusan hakim, namun hal ini tentu

saja masih tergantung dari banyak faktor, seperti situasi, dan kondisi masyarakat, sistem

pengawasan dan lain-lainnya. Faktor lain yang paling menentukan adalah sikap dari hakim

itu sendiri dalam mengadapi kasus-kasus tersebut.

Bapak H.M. Luthfie, S.H., mengatakan bahwa jenis-jenis kasus di pengadilan jika

dikaitkan dengan kondisi hakim yang dapat berpengaruh terhadap hasil putusan antara

lain dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Jika dikaitkan dengan profesionalisme hakim, maka ada perkara yang sederhana dan

ada perkara sulit. Bagi hakim yang profesional (dalam arti keterampilan yang

memadai dan berpengalaman), variasi perkara itu tidak menjadi masalah, namun bagi

hakim yang masih kurang dalam pengalaman, maka akan berpengaruh sekali dalam

menangani perkara sulit.

2. Jika dikaitkan dengan semangat hakim, maka ada perkara yang menarik dan

membuka tantangan baru. Perkara-perkara semacam ini dapat memacu semangat

hakim untuk belajar, berkembang, dan berusaha menyelesaikan sebaik-baiknya.

Sebaliknya, apabila ada perkara yang ditangani bersifat monoton dan rutin maka

dapat menimbulkan kejenuhan bagi hakim.

3. Jika dikaitkan dengan kepribadian hakim, maka ada perkara yang menyangkut obyek

perkara kecil, beresiko tinggi, dan bersifat ketat. Namun ada juga perkara yang

menyangkut obyek perkara yang besar yang tidak beresiko, dalam arti menyimpan

kemungkinan untuk berkolusi. Bagi hakim yang memiliki kepribadian kuat dan teguh

Ibid.,

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

11

berpegang pada komitmen sebagai penegak hukum dan keadilan, maka jenis-jenis

perkara seperti itu tidak ada pengaruhnya, karena yang menjadi tujuannya adalah

bagaimana memutuskan perkara dengan sebaik-baiknya dan seadil adilnya.

Dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika tidak hanya

memperhatikan atau menilai terdakwa di luar pengadilan saja, dalam arti kelakuan

terdakwa di masyarakat yang dijelaskan oleh keterangnan saksi, tetapi juga

memperhatikan kelakuan terdakwa di persidangan.

C. Analisis Data Putusan Pengadilan

Dalam mengambil dan melakukan analisis data terhadap pertimbangan dan putusan

hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika, maka

penulis melakukan analisis terhadap salah satu putusan di Pengadilan Negeri Yogyakarta,

yaitu Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor: 262/Pid.B/2007/PN.YK. Analisis

Putusan tersebut sebagai berikut:

PUTUSAN

Nomor 262/Pid.B/2007/PN.YK

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

Pengadilan Negeri Yogakarta yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara

pidana acara pemeriksaan biasa dalam peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan

putusan seperti di bawah ini dalam perkara terdakwa:

1. Identitas Terdakwa

Nama : DADANG YAMIN alias ANDI

Tempat Lahir : Jakarta

Umur/Tgl. lahir : 27 tahun, 26 April 1984

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat Tinggal : Jl. Argo Sedayu Bantul, atau Jl. Pelepah Asri I

QJ 4/16 RT 011 RW 12 Kelapa Gading Jakarta Utara

Agama : Kristen

Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan : SMU

2. Posisi Kasus

Dalam hal memeriksa dan mengadili perkara terhadap DADANG YAMIN alias

ANDI didakwa dengan dua dakwaan sebagai berikut:

1) Bahwa terdakwa DADANG YAMIN alias ANDI pada hari Rabu tanggal 29

Agustus 2007, bertempat di halaman parkir depan gedung Pertamina Jl.

Pangeran Mangkubumi Jetis Yogyakarta atau setidak-tidaknya disuatu tempat

lain yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Yogyakarta,

secara tanpa hak dan melawan hukum telah memiliki menyimpan untuk dimiliki

atau mengusai narkotika golongan I bukan tanaman berupa putaw dengan

berat 0,2 gram yang berdasarkan hasil tes/pengujian yang dikeluarkan oleh

Laboratorium Forensik Cabang Semarang tanggal 12 Septembar 2007 Nomor:

764/KNF/IX/2007 yang kesimpulannya menyatakan putaw tersebut

mengandung heroin, heroin termasuk narkotika golongan 1 (satu) dalam UU RI

Ibid.,

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

12

Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, Yang dilakukan oleh terdakwa

dengan cara sebagai berikut:

Pada hari Rabu tanggal 29 Agustus 207 sekitar pukul 10.00 WIB telah nyata

kedapatan memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau menguasai narkotika

golongan I bukan tanaman berupa putaw dengan berat 0,2 gram, saat petugas

kepolisian yang mendapat informasi dari masyarakat menindaklanjuti informasi

tersebut dan mendapatkan terdakwa di halaman parkir di depan gedung

Pertamina Jl. Pengeran Mangkubumi Jetis Yogyakarta kemudian sewaktu

kepolisian melakukan pemeriksaan dan penggeledahan badan/pakaian

terhadap diri terdakwa telah ditemukan 1 (satu) bungkus Koran berisi 1 (satu)

bungkus plastik putih berisi putaw dengan berat 0,2 gram yang digenggam

menggunakan tangan sebelah kanan yang menurut keterangan terdakwa

putaw tersebut diperoleh dengan seorang yang bernama Denis (belum

tertangkap), selanjutnya terdakwa berikut barang bukti berupa 1 (satu) bungkus

kertas Koran berisi 1 (satu) bungkus plastik putih yang berisi putaw dengan

berat 0,2 gram tersebut dibawa ke Polda DIY untuk diproses perkaranya lebih

lanjut.

2) Bahwa ia terdakwa DADANG YAMIN alias ANDI pada hari Rabu tanggal 29

Agustus 2007 sekitar pukul 10.00 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain

dalam tahun 2007, bertempat di halaman Gedung Pertamina Mangkubumi Jetis

Yogyakarta atau setidak-tidaknya disuatu tempat lain yang termasuk dalam

daerah hukum pengadilan Negeri Yogyakarta, secara tanpa hak dan melawan

hukum telah menggunakan narkotika golongan 1 bagi diri sendiri berupa putaw

yang dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut:

Bahwa ia terdakwa DADANG YAMIN alias ANDI pada hari Rabu tangal 29

Agustus 2007 sekitar pukul 10.00 WIB telah kedapatan menggunakan

narkotika golongan I berupa putaw dengan cara putaw ditaruh di atas kertas

timah rokok kemudian di bawah kertas timah tersebut dibakar menggunakan

korek api gas dan setelah keluar asapnya dihirup dengan menggunakan

sedotan yang terbuat dari kertas yang dilinting, kemudian terdakwa ditangkap

petugas kepolisian yang sebelumnya telah mendapatkan informasi dari

masyarakat dan menindaklanjuti informasi tersebut, sewaktu petugas

kepolisian melakukan pemeriksaan dan penggeledahan terhadap terdakwa

telah ditemukan 1 (satu) bungkus kertas koran berisi 1 (satu) bungkus plastik

putih yang berisi putaw dengan berat 0,2 gram sisa dari yang dipergunakan

terdakwa, selanjutnya terdakwa berikut barang buktinya dibawa ke Polda DIY

untuk diproses perkaranya lebih lanjut, dari hasil laboratorium terdapat urine

terdakwa sebagaimana hasil Urinalisis No. Pol: R/219/IX/2007/Biddokkes dan

Berita Acara Pemeriksaan Urine No. Pol: R/219/IX/2007/Bidokkes tanggal 29

Agustus 2007 dengan hasil: MORFIN/PUTAW (+) Positif; Perbuatan terdakwa

sebagaimana diatur dan diacam pidana dalam pasal 85 huruf a Undang-

undang Nmor 22 tahun 1997 tentang Narkotika.

3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Terdakwa menguasai putaw tersebut yaitu menyimpan, memiliki atau menguasai

narkotika golongan I bukan tanaman, tidak memiliki ijin dari yang berwenang, atau

menteri kesehatan RI ataupun tidak berdasarkan resep dokter. Perbuatan terdakwa

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

13

sebagaimana diatur dan diacam pasal 85 huruf a Undang-undang Nomor 22 tahun

1997 tentang Narkotika.

4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Setelah mendengar tuntutan Penuntut Umum, yang pada pokoknya menuntut

agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan putusan

sebagai berikut:

1) Menyatakan terdakwa DADANG YAMIN alias ANDI telah terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tidak pidana “Secara tanpa hak dan

melawan hukum telah menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri”

sebagaimana diatur dan diacam pidana dalam pasal 85 huruf a Undang

undang Nomor 1997 tentang Narkotika sebagaimana dalam dakwaan kedua;

2) Menjatuhkan pidana terhadap terdawa DADANG YAMIN alias ANDI dengan

pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dikurangi selama terdkawa berada

dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan;

3) Menyatakan barang bukti berupa putaw berat 0,0358 gram (sisa pengujian

Labolatorium Forensik Cabang Semarang) beserta bungkusnya dirampas

untuk dimusnahkan;

4) Menetapkan agar terdakwa DADANG YAMIN alias ANDI membayar biaya

perkara sebesar Rp.1000,- (Seribu rupiah).

5. Putusan Hakim

MENGADILI

1) Menyatakan terdakwa DADANG YAMIN alias ANDI telah terbukti secara sah

dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “tanpa hak melawan

hukum memiliki Narkotika Golongan I bagi diri sendiri“ ;------------------------------

2) Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara

selama 6 (enam) bulan ;------------------------------------------------------------------------

3) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangi

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;--------------------------------------------------

-

4) Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan ;--------------------------------------------

5) Memerintahkan barang bukti berupa ;------------------------------------------------------

-

1 (satu) bungkus kertas Koran berisi 1 (satu) bungkus plastik putih berisi putaw

berat kurang lebih 0,0358 gram (sisa pengujian Labolatorium Forensik

Semarang) beserta bungkusnya ;------------------------------------------------------------

Dirampas untuk dimusnahkan ;---------------------------------------------------------------

6) Membebaskan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp.1.000,- (seribu rupiah) ;---------------------------------------------------------------------

-

6. Analisa

Dalam kasus tersebut di atas menyatakan bahwa terdakwa DADANG YAMIN

alias ANDI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana tanpa hak dan melawan hukum memiliki narkotika golongan I bagi diri sendiri.

Perbuatan terdakwa DADANG YAMIN alias ANDI didakwa oleh Penuntut Umum

dengan Dakwaan Alternatif yaitu:

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

14

1) Melanggar pasal 78 ayat (1) huruf b UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika.

2) Melanggar pasal 85 huruf a UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika.

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

15

Berdasarkan dakwaan alternatif tersebut, majelis hakim menentukan pilihan

dakwaan yang terpenuhi seluruh unsur-unsurnya sehingga dinyatakan terbukti, yaitu

dakwaan kedua melanggar Pasal 85 huruf a UU No. 22 tahun 1997 tentang

Narkotika, dengan unsur-unsur sebagai berikut:

“Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika

golongan I bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4

tahun”.

Berdasarkan dakwaan penuntut umum, yang pada pokoknya menuntut agar

majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa DADANG YAMIN alias ANDI

dengan pidana penjara 8 (delapan) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam

tahanan, dan pasal 85 huruf a UU No. 22 tahun1997 memberikan ancaman pidana

penjara 4 tahun, namun putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa

DADANG YAMIN alias ANDI yaitu dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan

dikurangi masa tahanan.

Putusan hakim tersebut yang merupakan putusan pidana di bawah tuntutan

penuntut umum dan juga di bawah ketentuan minimum khusus. Menurut penulis

putusan hakim tersebut tidak perlu diperdebatkan karena hakim dalam memutuskan

satu perkara pidana khusunya dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika, hakim

tidak hanya menilai terdakwa dari segi perbuatan saja, tetapi banyak segi atau faktor-

faktor yang menjadi pertimbangan-pertimbangan hakim. Dalam hal ini hakim

mempunyai pertimbangan serta penilaian bahwa terdakwa tesebut masih dapat

diperbaiki.

Pertimbangan-pertimbangan yang diambil oleh hakim dalam memutuskan suatu

perkara, hal ini dapat dilihat dalam pasal 51 rancangan KUHP tahun 1999-2000 dan

hasil wawancara dengan Bapak H.M. Luthfie, S.H., sebagai salah seorang hakim

Pengadilan Negeri Yogyakarta, antara lain:

1. Kesalahan pembuat tindak pidana.

2. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana.

3. Cara melakukan tindak pidana.

4. Sikap batin pembuat pidana.

5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana.

6. Pengaruh tindak pidana terhadap masa depan pembuat pidana.

7. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana.

8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

9. Tanggung jawab pelaku terhadap korban.

10. Apakah tindakan pidana dilakukan dengan rencana.

Selain itu hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang meringakan dan

memberatkan terdakwa sebagaimana yang terdapat pada rancangan KUHP baru

yaitu pasal 124 dan pasal 126. Di samping pertimbangan-pertimbangan tersebut,

dalam menjatuhkan pidana khususnya terhadap tindak pidana penyalahgunaan

narkotika, hakim juga dipengaruhi oleh faktor-faktor baik berupa faktor eksternal dan

internal dalam menyelesaikan perkara.

Seorang hakim mempunyai kebebasan atau kemandirian dalam menjatuhkan

putusan. Kemandirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan kehakiman bersifat

universal yaitu dalam melaksanakan peradilan, hakim pada dasarnya bebas dalam

memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari campur tangan atau turun tangan

Hasil wawancara dengan Bapak H.M. Luthfie, S.H., Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta, Tanggal

11-17 Juni 2009

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

16

kekuasaan extra yudisiil. Kebebasan hakim bukanlah dimaksudkan adanya semacam

hak istimewa dari para hakim untuk dapat berbuat sebebas-bebasnya, akan tetapi

dimaksudkan agar hakim dapat menjatuhkan putusan sesuai dengan hati nuraninya.

Kebebasan hakim bukan berarti bahwa hakim dapat berbuat sesuka hatinya,

namun hakim harus mempertanggungjawabkan keputusannya seperti dalam

ketentuan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 sebagaimana diubah dengan

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 157 Tahun 2009) tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana

putusan hakim harus berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan.

Berdasarkan kasus tersebut, maka pertimbagan hakim terhadap terdakwa DADANG

YAMIN alias ANDI yang pada intinya mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan

dan hal-hal yang meringankan terdakwa, yaitu:

1. Yang memberatkan:

a. Perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam

pemberantasan narkoba.

2. Yang meringakan:

a. Terdakwa mengakui dan menyesali atas perbuatannya.

b. Terdakwa berlaku sopan dalam persidangan.

c. Terdakwa berterus terang sehingga persidangan berjalan dengan lancar.

d. Terdakwa sekarang anak bimbingan rohani dari gereja Gerakan

Pentakosta, Bantul, Yogyakarta.

Di samping hal tersebut bahwa terdakwa tidak termasuk dalam daftar pencarian

orang (DPO) dan terdakwa masih dalam proses penyembuhan. Dalam hal ini hakim

juga mempertimbangan terdakwa yang baru pertama kali dihukum.

Pertimbangan-pertimbangan di atas digunakan hakim dalam mengambil putusan

yaitu dalam mempertimbangan terdakwa, untuk itu jelas kita ketahui bahwa tujuan

penjatuhan pidana bukan hanya untuk penderitaan, maka penjatuhan putusan pidana

terhadap terdakwa DADANG YAMIN alias ANDI adalah dilakukan oleh seorang hakim

dengan pertimbangan yang sangat matang dan penuh dengan pertanggungjawaban.

Berdasarkan keputusan hakim tersebut terhadap terdakwa DADANG YAMIN alias

ANDI, sesuai dengan pendapat Leden Marpaung

yang menganut asas “the

persuasive of presedent” yang menurut asas ini hakim diberi kebebasan dalam

memutuskan suatu perkara tanpa terikat dengan keputusan hakim terdahulu, dan

menganut asas the binding force of presedent dimana seorang hakim dapat

mengambil keputusan berdasarkan keyakinan, sehingga dapat disimpulkan setiap

pengambilan keputusan oleh hakim di Indonesia tidak terikat dengan Yurisprudensi.

Dalam hal ini menurut penulis, hakim menjatuhkan putusan berdasarkan

keyakinan, namun yang harus diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan di

samping alasan dan pertimbangan yang ada, yang paling pokok keputusan

mengandung unsur keadilan terhadap terdakwa, karena hal ini merupakan tujuan

utama dibentuknya hukum.

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, 1992, hal. 406

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

17

IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan (hasil penelitian dan analisis data)

yang telah diuraikan tersebut di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana

penyalahgunaan narkotika, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang pada

intinya memperhatikan pada hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang

meringankan pidana, namun keputusan hakim tersebut harus mampu

dipertanggungjawabkan dan memberikan serta menciptakan rasa keadilan.

2. Faktor-faktor yang menyebabkan hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana

khususnya terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah faktor di luar aspek

yuridis, seperti kelakuan terdakwa di persidangan maupun di luar persidangan,

umur terdakwa, serta masa depan terdakwa, sehingga dengan keleluasaan hakim

dalam menjatuhkan pidana, namun ada pembatasan tentang kebebasan hakim

tersebut bahwa sifat kebebasan hakim tidak mutlak, sebab tugas hakim adalah

untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pacasila.

3. Hakim di Indonesia dalam menjatuhkan pidana menganut asas the persuasive of

presedentyang menurut asas ini hakim diberi kebebasan dalam memutus suatu

perkara tanpa terikat dengan keputusan hakim terdahulu, dan juga menganut asas

the binding force of presedent dimana seorang hakim dapat mengambil

keputusan berdasarkan keyakinan.

B. Saran

Berdasarkan pada kesimpulan tersebut maka saran yang dapat diberikan adalah

sebagai berikut:

1. Hakim dalam menjatuhkan pidana haruslah menggunakan pertimbangan-

pertimbangan yang benar-benar matang dan dapat dipertanggungjawabkan

terhadap masyarakat.

2. Penjatuhan pidana diharapkan dapat memberikan dan menciptakan rasa keadilan

baik bagi terpidana maupun terpidana yang lain.

3. Hakim harus lebih serius, jujur dan maksimal dalam memutuskan perkara

penyalahgunaan narkotika.

4. Berbicara tentang narkotika merupakan hal yang menarik dan serius, untuk itu

sebaiknya hakim menjatuhkan hukuman mati bagi para pengedar gelap narkotika

dan diharapkan hakim memberikan rehabilitasi terhadap pengguna ataupun yang

sudah ketergantungan.

5. Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku penyalahgunaan

narkotika jangan hanya melihat dari segi keadilan saja tetapi harus memperhatikan

mental daripada tersangka.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana (Hukum Pidana untuk Tiap

Orang), Pradnya Paramita, Jakarta, 2004

Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, 1992

RES JUDICATA

Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 1-18

18

Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, 1987

M. Wresniwiro, dkk, Masalah Narkotika, Psikotropika, dan Obat-obat Berbahaya, Yayasan Mitra

Bintibmas, 1999

Santosa Sembiring, Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika, Nuana Aulia, Bandung, 2007

Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999

Sudikno Mertokusumo, Relevansi Peneguhan Etika Profesi Bagi Kemandirian Kekuasaan

Kehakiman, pada seminar 50 tahun Kemandirian Kekuasan Kehakiman di Indonesia,

Fakultas Hukum UGM, 26 Agustus 1995

Taufik Makarau, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia, Indonesia, Jakarta, 2003

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP)

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 35

Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 143 Tahun 2009) tentang Narkotika

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 48

Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 157 Tahun 2009) tentang Kekuasaan

Kehakiman

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 (Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 2009) tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang

Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum

Rancangan Peraturan Perundang-undangan

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Sumber Lain (Internet)

Sumber: rethacuaemlive.blogspot.com, 2009, Artikel: Jumlah Pengguna Narkoba di Indonesia, di

unduh dari //dunia-narkoba.blogspot.com/2009/03/jumlah-pengguna-narkoba-di-indonesia.html

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA