Contoh Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan tajdid

Persayarikatan Muhammadiyah mulai sejak berdri hingga sekarang identik dengan gerakan pembaruan Islam. Gerakan ini tidak lepas dari kondisi ketika ia lahir dari gagasan KH Ahmad Dahlan. Oleh karenanya, Muhammadiyah bdengaerada di garda depan dalam melakukan pemurnian ajaran-ajaran Islam yang telah mengalami percampuran dengan entitas budaya dan praktik-praktik di luar ajaran Islam sendiri. Lazim apabila slogan al-ruju’ ilal al-Qur’an wa al-Hadits menjadi landasan normative Persyarikatan ini. Melalui dasar inilah ajaran Islam memiliki pola elastitas dan kesesuaian dengan alur perubahan dan perkembangan zaman.

Pada tulisan ini, pembaruan dideskripsikan dengan melacak akar kata yang digunakannya, yaitu tajdid dan tajrid. Istilah ini terus menerus berkelindan dengan eksistensi Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang berdiri untuk mengabdikan dirinya pada kemurnian ajaran Islam dan kemaslahatan umat atau masyarakat. Alhasil, sampai detik ini Muhammadiyah dikenal telah banyak melakukan prubahan dalam kehidupan keagamaan, sosial, budaya, dan politik untuk membangun masyarakat yang Islami.

  1. Pengertian Tajdid dan Tajrid

Istilah tajdid berasal dari bahasa Arab yaitu jaddala, yudaddidu, tajdidan yang berarti memperbarui atau menjadikan baru. Bisa juga ia memiliki makna sebagai membangkitkan, menjadikan (muda, tangkas, kuat). Kata ini berarti pula memperbaharui, memperpanjang izin, dispensasi, dan kontrak (Ali dan Muhdhar, 2003: 656) sedangkan orang yang melakukan pembaruan disebut mujaddid. Rasulullah SAW mengisyaratkan :”Sesungguhnya Allah Akan mengutus kepada umat ini (Islam) pada permulaan setiap abad orang-orang yang akan memperbaiki, memperbarui agamanya”.

Artinya :”Sesungguhnya pada setiap penghujung seratus tahun, Allah subhanahu wa Ta’ala akan mengutus umat ini orang yang akan memperbarui agama mereka” (HR. Abu Daud No. 374 dan dinilai sahih oleh Syeikh al-Albani dalam silsilah al-Ahadits ash-Shahihah No. 599)

Dalam kamus Bahasa Indonesia, tajdid berarti pembaruan, modernisasi atau restorasi (Depdiknas, 2005: 1123). Walaupun demikian, kata tajdid ini jarang digunakan di masyarakat, dan yang sering menggunakan istilah ini adalah kalangan Miuhammadiyah. Namun, yang dimaksudkan adalah pembaruan yang dititikberatkan pada kehidupan keagamaan, baik berbentuk pemikiran maupun gerakan (Zakiyuddin, 2001).

Banyak ahli juga mendefinisikan pegertian tajdid, salah satunya adalah Quraish Shihab (2009: 10) yang mengartikan tajdid sebagai pencerahan dan pembaruan. Tajdid dalam makna pencerahan mencakup penjelasan ulang dalam bentuk kemasan yang lebih baik dan sesuai menyangkut ajaran-ajaran agama yang pernah diungkap oleh para pendahulu. Akan halnya, tajdid dalam arti pembaruan adalah mempersembahkan sesuatu yang benar-benar baru yang belum pernah diungkap oleh siapapun sebelumnya.

Selain itu, istilah tajdid atau pembaruan juga sering digunakan dalam konteks gerakan Islam modern. Istilah ini mempunyai akar yang kuat pada Islam klasik (pra-modern) dan biasanya dihubungkan dengan upaya purifikasi untuk memperbarui iman dan prakteknya. Pada masa modern, biasanya dimaksudkan sebagai upaya para salafi, dan modernis Islam untuk memperkenalkan pengaruh Islam dalam kehidupan Muslim. Dengan demikian, ada dua kecenderungan di sini, yaitu kecenderungan salafi dan kecenderungan reformis/modern (Khalil, 1995: 431).

Selanjutnya, istilah modernis (Inggris) atau modernisasi (Indonesia) atau pembaruan dalam Islam diartikan sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan re-interpretasi trhadap pemahaman, pemikiran dan pendapat tentang masalah ke Islamam yang dilakukan oleh pemikir terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, yang diperbarui adalah hasil pemikiran atau pendapat, dan bukan memperbarui atau mengubah apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Entitas yang diubah atau diperbarui adalah hasil pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadits tersebut (Nata, 2001: 155).

Di sisi lain, Nurcholis Majid (1955: 172) mengatakan bahwa pengeertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik dengan pengertian rasionalisasi, yang berarti proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah.

Harun Nasution (1975: 11) mengatakan, pembaruan seirama dengan pengertian modernism dalam masyarakat Barat, yaitu usaha untuk mengubah pikiran, gerakan, aliran, paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sebagaimana halnya di Barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Upaya modernisasi tersebut dilakukan untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia dibidang ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan tidak lain adalah hasil pemahaman manusia terhadap hukum-hukum obyektif yang menguasai alam, Ideal dan material, sehingga ala mini berjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis. Orang yang bertindak menurut ilmu pengetahuan (ilmiah) berarti ia bertindak menurut hukum alam yang berlaku. Oleh karena itu, ia tidak melawan hukum alam, malah menggunakan hukum alam itu sendiri, maka ia memperoleh daya guna yang tinggi. Jadi, sesuatu dapat disebut modern kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam (Majid, 1995).

Modernisasi dalam pengertian sebagaimana disebutkan itu adalah suatu keharusan, malahan keawajiban yang mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Dasar perintah adanya penyesuaian antara sikap ilmiah dengan sunnatullah dapat dilihat dari beberapa ayat berikut ini :

  1. Allah menciptakan seluruh ala mini dengan hak (benar), bukan batil (palsu). (QS. An Nahl: 3; Shaad: 27).
  2. Dia mengaturnya dengan pengaturan Ilahi (sunnatullah) yang menguasai dan pasti (QS. Al-Araaf: 54; al-Furqan: 2).
  3. Sebagai buatan Tuhan Maha Pencipta, alam ini adalah baik dan menyenangkan serta mendatangkan kebahagiaan duniawi juga harmonis. (QS. Al-Anbiyaa: 7; ala-Mulk: 3).
  4. Manusia diperintah oleh Allah untuk mengamati dan menela’ah hukum-hukum yang ada dalam ciptaanNya (QS. Yunus: 101).
  5. Allah mernciptakan seluruh alam raya untuk kepentingan manusia, kesejahtraan hidup dan kebahagiaannya, sebagai rahmat dariNya. Akan tetapi, hanya golongan manusia yang berpikir atau berasional yang akan mengerti dan kemudian memanfaatkan karunia itu. (QS. Al-Jaatsiyah: 13)
  6. Karena adanya perintah untuk mempergunakan akal pikiran (rasio) itu, maka melarang sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran, yaitu terutama berupa pewarisan membuta terhadap tradisi-tradisi lama yang merupakan cara berpikir dan tata kerja generasi sebelumnya (QS. Al-Baqarah: 170; al-Zukhruf: 22-25; (Nata, 2001: 156).

Bagaimana dengan pandangan Muhgammadiyah? Sebenarnya, sejak tahun 1968 rumusan tasjdid di kalangan Muhammadiyah telah ada, dan bahkan tidak pernah ada warga Muhammadiyah yang menggugatnya. Akan tetapi, rumusan tersebut sangat sederhana, tanpa disertai penjelasan yang memadai. Masalah tersebut baru dibahas pada musyawarah Tarjih ke-22 di Malang tahun 1989. Hasil muktamar tersebut ditanfizkan tahun 1990 menyebutkan bahwa tajdid secara bahasa berarti pembaruan dan dari segi istilah memiliki 2 arti yaitu: pemurnian dan peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya. Berikut ini pendapat para tokoh Muhammadiyah tentang tajdid yaitu :

  1. Tajdid menurut Muhammadiyah bukan sekedar pemurnian, dan juga tidak memadai lagi. Tajdid yang dimaksud Ahmad Dahlan bukan sekedar pemurnian seperti meluruskan arah kiblat, tetapi juga memperbarui cara paham beragama dan mendirikan lembaga-lembaga sosial baru yang bersifat pembaruan dalam rangka pengembangan.
  2. Haedar Nashir (2000: 293), Tajdid yaitu memperbarui alam pikiran sesuai zaman modern, melembagakan pendidikan Islam modern, merintis pelayanan-pelayanan sosial yang dibutuhkan masyarakat vsesuai dengan spirit Islam modern dan bahkan melawan misi zending dengan langkah-langkah yang modern sehingga disebut sebagai gerakan Islam modernis.
  3. Din Syamsuddin (2014: 20-21), Tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan dan perwujudan ajaran Islam, dan dalam arti pemurnian berarti pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah shahihah. Untuk melaksanakan tajdid dari kedua pengertian tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajran Islam.
  4. Selanjutnya makna tajdid  menurut Syamsul Anwar (dalam Nashir, 2010: 228), ikhtiar menemukan kembali substansi agama untuk pemaknaan baru dalam pengungkapannya dalam suatu konteks baru yang berubah, baik melalui purifikasi maupun dinamisasi. Purifikasi ialah mengembalikan ajaran Islam pada yang asli sebagaimana telah ditentukan segala sesuatunya secara baku dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahihah khususnya yang menyangkut ibadah dan aqidah. Sedangka dinamisasi atau pembaruan ialah memperbarui urusan-urusan keagamaan sesuai pesan substansial ajaran Islam, lebih khusus di bidang muamalah duniawi.
  5. Menurut Asmuni Abdurrahman, tajdid itu berarti pembaruan; dan dari segi istilah memiliki dua arti yakni pemurnian dan pengembangan.

Sekalipun rumusan tajdid telah ada sekitar tahun 60-an, identitas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid baru dirumuskan akhir-akhir ini. Selama ini, Muhammadiyah dikenal telah banyak melakukan perubahan dalam kehidupan keagamaan, sosial, budaya, dan politik. Pada perempat pertama abad ke-20, Muhammadiyah dikenal sebagai simbol perubahan, kemajuan dan karenanya dikenal sebagai gerakan modern. Streotipe keagamaan yang menempel pada diri seorang Muslim sebagai eksklusif, tertutup, dan kolot terpatahkan oleh seorang anggota Muhammadiyah yang memiliki watak rasional dan terbuka.

Pandangan dunia yang menjauhkan diri dari kehidupan dunia diganti dengan pandangan yang menyebutkan bahwa Islam memperbolehkan umatnya untuk memperoleh kebahagiaan duniawi. Sikap keagamaan yang in-toleran diganti dengan toleran; sikap budaya yang uniformis diganti dengan pluralis; pandangan keilmuan yang membatasi pada ilmu agama diganti dengan wawasan bahwa ilmu tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama. Stigma sosial yang menggambarkan bahwa orang Islam itu miskin, malas, bodoh terbantahkan oleh semangat yang dikembangkan oleh warga Muhammadiyah yang kerja keras, memiliki penghasilan dan memiliki pengetahuan untuk menekuni profesinya. Namun, masih bisakah keberhasilan institusional dan karateristik individual yang disebutkan di atas, dipakai untuk mengukur tingkat keberhasilan Muhammadiyah sekarang ini?

Tampaknya, predikat yang diemban Muhammadiyah dahulu tidak diimbang dengan kesiapan warga Muhammadiyah sekarang untuk menyikapi persoalan yang berkembang, bahkan dikhawatikan akan menhilangkan jati diri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid (Jainuri, 1997: 1). Oleh karena itu, ada dua langkah yang ditawarkan oleh Ahmad Jainuri pada konteks tersebut, yaitu :

Pertama; untuk mengatasi tantangan yang dihadapi Muhammadiyah, kembali kepada semangat dan model yang telah dibangun oleh para generasi awal Muhammadiyah. Mereka ini dipandang telah berhasil dalam meletakkan ideology dasar dan melaksanakan program pembaruan dalam arti yang sangat luas. Meskipun secara kuantitatif perkembangan fisik oraganisasi dan amal usaha semakin bertambah sekarang ini, kualitas gagasan dan ide pembaruan tereduksi menjadi sangat superficial dan masih terjebak pada persoalan trivial. Itulah sebanya gagasan pembaruan dipahami sebatas pemberantasan TBC (Tahyul, Bid’ah dan Churafat) atau pembnaruan daslam arti tajrid (pemurnian). Kenyataan inilah yang kemudian mendsorong munculnya usaha baru (tajdid gerakan) untuk menata kembali makna dan misi Muhammadiyah yang sesungguhnya.

Kedua, rekonstruksi tajdid gerakan juga diarahkan untuk menjawab tantangan kemajuan yang dihadapi oleh Muhammadiyah. Aspek penting dari rekonstruksi ini adalah menumbuhkan kesadaran warga Muhammadiyah untuk tidak puas dengan keadaan yang ada, melainkan peka terhadap perubahan bagi perbaikan kehidupan masyarakat.

Kehidupan masyarakat sekarang ini telah banyak dipengaruhi oleh modernisasi yang hanya menjadikan harta benda sebagai indicator keberhasilan seseorang. Misi tajdid Muhammadiyah adalah membangun kembali watak dan karakter masyarakat yang telah tertutup oleh kecenderungan modernisasi yang hanya menekankan pada pemenuhan keberhasilan material yang mendorong tumbuhnya kehidupan hedonis, yang menjadikan harta benda sebagai indicator keberhasilan seseorang.

Rumusan tajdid tersrbut mengisyaratkan bahwa dalam Muhammadiyah ijtihad dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara ekspelisit dalam sumber utama al-Qur’an dan al-Sunnah, dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam bentuknya yang kedua dilakukan dengan cara menafsirkan kembali al-Qur’an dan Hadits sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam memahami nash. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika pemahaman akal dengan kehendak zhahir nash bertentangan, kehendak nash harus didahulukan.

Untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan urusan muamalah duniawi, penggunaan akal sangat diperlukan dalam rangka kemaslahatan umat manusia. Urusan muamalah duniawi yang dimaksudkan adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan sesama manusia, dalam fiqih dikenal dengan bidang muamalah. Salah satu upaya yang ditawarkan oleh Muhammadiyah dalam menyelesaikan masalah-masalah kotemporer adalah menggiatkan cara memahami al-Qur’an dan al-Sunnah melalui pendekatan interdisipliner.

Istilah tajrid berasal dari bahasa Arab yang berarti pengosongan, pengungsian, pengupasan, pelepasan atau pengambil alihan (Ali, 1999: 410). Tajrid dalam bahasa Indonesia berarti pemurnian. Isltilah ini tidak sepepuler istilah tajdid, sekalipun yang dimaksudkan adalah memurnikan hal-hal yang bersifat khusus. Istilah ini dipopulerkan oleh Din Saymsuddin ketua PP Muhammadiyah melalui bukunya Muhammadiyah untuk semua. Dikatakan bahwa Muhammadiyah berada antara tajrid dan tajdid. Dalam ibadah kita tajrid, hanya ikut Nabi SAW dan tidak ada pembaruan, sedangkan dalam muamalah kita tajdid, yakni melakukan modernisasi dan pembaruan (Syamsuddin, 2014: 14). Lebih lanjut dikatakan bahwa Islam berkemajuan yang dimaksud oleh Muhammadiyah adalah Islam yang tidak sekedar muncul dalam nilai ibadah semata, tetapi menjadi penyeimbang antara pemurnian dan kemajuan. Misalnya shalat harus dilakukan dengan penghayatan dan pemaknaan walaupun singkat. Karena itu, Muhammadiyah menghendaki agar ada keseimbangan antara pemurnian dan kemajuan (Syamsuddun, 2014: 24).

Menurut istilah, ada beberapa kalangan yang mencoba untuk memberikan batasan. Syamsul Anwar (2005: 71) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan purifikasi atau pemurnian ialah m,engembalikan ajaran Islam pada sumbernya yang asli sebagaimana telah ditentukan segala sesuatunya secara baku dalam al-Qur’an dan Sunnah yang shahih khususnya menyangkut ibadah dan aqidah. Menurut Muarif dkk (2014: 46), gerakan pembaruan/purifikasi merupakan cermin dari ortodoksi Islam. Gerakan seperti ini umumnya menggunakan jargon “kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah” yang selalu menghendaki orsinalitas ajaran. Dengan demikian, jelaslah bahwa masalah-masalah yang dapat dipurifikasi adalah masalah yang berkaitan dengan masalah tauhid dan masalah ibadah mahdhah.

  • Latar Belakang munculnya Tajdid dan Tajrid

Untuk melengkapi materi pembaruan dalam Islam inhi, ada baiknya dikemukakan penyebab munculnya tajdid (pembareuan) dalam Islam. Sebagaimana dipahami, Islam modernis muncul sebagai respon terhadap bewrbagai keterbelakangan yang dialami oleh umat Islam, seperti keterbelakangan dalam bidang ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik dan lain sebagainya. Keadaan seperti ini dinilai tidak sejalan dengan Islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam kedua sumber tesebut, Islam digambarkan sebagai agama yang membawa kepada kemajuan dalam segala bidang untuk tercipta kemaslahatan umat. Namun, dalam kenyataan, umat Islam tidak memperlihatkan sikapnya yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah tersebut, sehingga menimbulkan kekeliruan-kekeliruan.

Keterbelakangan tersebut disadari setelah abad ke 18, tepatnya ketika Mesir jatuh di tangan Barat (Perancis), yang secara serentak mengagetkan sekaligus mengingatkan umat Islam bahwa ada perbedaan antara Barat yang maju dan dunia Muslim yang terbelakang dan hal ini merupakan ancaman bagi umat Islam. Ini juga menandai adanya kontak politik dan intelektual dengan Barat. Pada waktu itu, disadari atau tidak, secara politis maupun secara intelektual umat Islam telah mengalami kermunduran, sedangkan Barat dianggap telah maju dan modern. Kemunduran tersebut, disebabkan oleh kekeliruan dan kesalahan dalam memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Penyebab kemunduran tersebut antara lain :

  1. Umat Islam mundur karena telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran yang dating dari luar Islam. Paham qada dan qadar diubah menjadi fatalism, yang membawa umat Islam jadi statis. Di masa lampau, paham qada dan qadar mengandung arti bahwa segala sesuatu terjadi menurut ketentuan sebab-musabab. Kemauan manusia merupakan salah satu dari mata rantai sebab-musabab itu. Oleh karena itu, keyakinan pada qada dan qadar memupuk keberanian dan kesabaran dalam jiwa umat Islam untuk menghadapi segala macam bahaya dan kesukaran. Karena percaya pada qada dan qadr inilah, umat Islam di masa silam bersifat dinamis dan dapat menciptakan peradaban yang tinggi.
  2. Umat Islam mundur karena sebab yang bersifat politis, yaitu berupa perpecahan yang terdapat di kalangan umat Islam, pemerintahan yang absolut, mempercayakan pimpinan umat kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya, merngabaikan masalah pertahanan militer, menyerahkan administrasi negara kepada orang-orang yang tidak kompeten dan intervensi asing.
  3. Umat Islam mundur karena lemahnya p-ersaudaraan Islam. Tali persaudaraan Islam telah terputus, bukan di kalangan awan saja, tetapi juga dikalangan ulama-ulama. Ulama Turki tidak mengenal lagi ulama Hijaz. Demikian pula, ulama India tidak mempunyai hubungan dengan ulama Afganistan. Tali persaudaraan antara raja-raja Islam juga sudah putus (Nasution, 1975: 55-56)
  4. Umat Islam mundur disebabkan oleh pahan jumud (keadaan membeku), statis, tidak ada perubahan di kalangan umat Islam, karena umat Islam lebih suka berpegang pada tradisi yang memang tidak mau menerima perubahan.
  5. Umat Islam mundur karena masuknya berbagai macam bid’ah, khurafat, dan tahyul ke dalam Islam. Bid’ah inilah yang membuat umat Islam lupa akan ajaran-ajaran yang sebenarnya (Nata, 2001: 160).

Kelima sikap umat Islam tersebut dibawah masuk ke dalam tubuh Islam oleh orang-orang yang bukan Arab yang kemudian mengambil alih kekuasaan politik di dunia Islam. Dengan masuknya mereka ke daslam Islam, adat istiadat dan paham-paham animistis mereka turut pula mempengaruhi umat Islam yang mereka perintah. Disamping itu, mereka tidask berasal dari bangsa yang mementingkan pemakaian akal seperti yang dianjurkan dalam Islam. Mereka berasal dari bangsa yang jahil dan tidak kenal ilmu pengetahuan. Mereka memusuhi ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan akan membuka mata rakyat. Rakyat perlu dibiarkan dalam keadaan bodoh agar mudah diperintah. Paham dan sikap demikian mereka bawa ke dalam Islam, dan selanjutnya mereka membawa rakyat ke dalam keadaan statis, seperti pujaan yang berlebih-lebihan pada sekh dan wali, kepatuhan membuta pada ulama, taqlik pada ulama-ulama terdahulu, dan tawakkal serta penyerahan bulat dalam segala-galanya pada qada dan qadar. Maka, bekulah akal dan berhetilah pemikiran dalam Islam. Lama kelamaan, paham jumud tersebut meluas dalam masyarakat di seluruh dunia.

Itulah diantara sebab-sebab yang membawa kepada kemunduran umat Islam, dan harus diatasi dengan jalan membangun Islam dalam paham yang modernis. Jalan untuk memperbaiki keadaan umat Islam ialah melenyapkan pengertian-pengertian salah yang dianut umat pada umumnya, dan kembali kepada ajaran-ajaran dasar yang sebenarnya. Hati mesti disucikan, budi pekerti luhur dihidupkan kembali, termasuk kesetiaan berkorban untuk umat. Dengan berpedoman pada ajaran-ajaran dasar, umat Islam akan dapat bergerak mencapai kemajuan.

Selanjutnya, corak pemerintahan yang otokratis harus diubah jadi corak pemerintahan yang demokratis. Persaudaraan umat Islam mesti diwujudkan kembali. Untuk menolong umat Islam dari ketersesatan dan keterbelakangan itu, mereka harus dijauhkan dari paham bid’ah, tahyul dan khurafat. Umat harus dibawah kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang semula, yaitu sebagaimana terdapat di zaman salaf, zaman sahabat dan ulama-ulama besar.

Namun demikian, menurut Muhammad Abduh, untuk mencapai kemajuan, tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran yang asli sebagaimana dikemukakan  oleh Muhammad bin Abdul Wahab, karena zaman dan suasana umat Islam sekarang telah jauh berubah dari zaman dan suasana zaman klasik. Tetapi, ajaran-ajaran asli itu perlu disesuaikan dengan keadaan modern sekarang ini (Nata, 2001: 162). Ajaran-ajaran yang dimaksudkan adalah ajaran yang berkaitan dengan urusan muamalah duniawi atau hubungan manusia dengan manusia.

Berdasarkan uraian tersebut, terlihat latar belakang timbulnya ide dan gerakan pembaruan dalam Islam merupakan respon kepedulian terhadap upaya untuk mengatasi berbagai keterbelakangan umat Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu mencari sebab-sebab kemunduran dan keterbelakangan trsebut, kemudian mencari solusi terbaik dengan cara reinterpretasi atas al-Qur’an dan al-Sunnah, revitalisasi posisi umat Islam, dan reformulasi berbagai produk pemikiran ulama masa lalu.

  • Model-Model Tajdid dan Tajrid Muhammadiyah

Ahmad Jainuri (1997) dalam makalahnya “Model Tajdid Muhammadiyah” telah mempertanyakan beberapa hal, antara lain : Pertama; Apakah Muhammadiyah itu gerakan tajdid atau bukan? Kedua; Apakah tajdid yang dilakukan Muhammadiyah adalah jawaban terhadap tantangan kemunduruan kehidupan atau jawaban terhadap kemajuan yang dicapai Muhammadiyah atau kedua-duanya? Ketiga; Model tajdid yang bagaimana yang harus dilakukan oleh Muhammadiyah dalam membangun peradaban utama? Dari beberapa pertanyaan itu, sebenarnya tersimpul suatu pola : apa yang dimaksud tajdid dalam Muhammadiyah dan bagaimana perkembangannya satu abad pertama? Secara garis besar, perkembangan tajdid dalam Muhammadiyah dapat dibedakan dalam tiga fase, yakni fase aksi-reaksi, fase konsepsionalisasi dan fase rekonstruksi.

Ketika Muhammadiyah didirikan, para tokoh Muhammadiyah, termasuk KH Ahmad Dahlan belum memikirkan landasan konsepsional dan teoritis tentang apa yang akan dilakukan. Faktanya, upaya mereka untuk secara praktis dan pragmatis menyebarkan ajaran Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Konsetrasi mereka difokuskan pada bagaimana menysuaikan praktik keagamaan yang dilakukan masyarakat pada waktu itu dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah pada satu sisi, tetapi juga memperhatikan tradisi agama lain., khususnya Kristen, yang kebetulan disebarkan oleh penjajah negeri ini. Kecenderungan yang bersifat reaktif dalam menyelesaikan masalah tarjih yang dihadapi mulai terlihat. Pembetulan arah kiblat dalam pelaksanaan shalat, misalnya, menjadi bukti betapa reaktifnya tokoh Muhammadiyah saat itu.

Jargon yang diusung saat itu adalah “kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah” secara apa adanya, terutama dalam masalah aqidah dan ibadah mahdhah. Munculnya istilah TBC (Tahyul, Bid’ah, Khurafat) merupakan akibat dari gerakan pemurnian periode itu. Produk pemikiran yang dihasilkan Majelis Tarjih didominasi oleh upaya memurnikan bidang aqidah dan ibadah itu. Periode ini berlangsung sampai tahun 60-an. Kemudian, pada awal tahun 1960-an sampai tahun 1990-an, sudah mulai terasa bagaimana pentingnya membuat dasar dan teori penyelesaian masalah yang dihadapi oleh umat Islam yang didominasi oleh persoalan muamalah duniawi. Tentu kaidah ini belum mencakup konsep dan metode penyelesaian masalah secara komprehensif.

Ada beberapa hal yang menjadi karakteristik Muhammadiyah dalam konteks ini : Pertama, kongkrit dan produktif, yaitu melalui amal usaha yang didirikan, hasilnya kongkrit dapat dirasakan dan dimanfaatkan oleh umat Islam, bangsa Indonesia dan umat manusia di seluruh dunia. Suburnya amal salih di lingkungan aktivis Muhammadiyah ditujukan kepada komunitas Muhammadiyah, bangsa dan kepada seluruh umat manusia di dunia dalam rangka rahmatan lil alamin.  Kedua, tajdid Muhammadiyah bersifat terbuka. Makna dari keterbukaan tersebut adalah bahwa Muhammadiyah mampu mengantisipasi perubahan dan kemajuan di sekitar kita. Dari sekian amal usahanmya, rumah sakitnya misalnya, dapat dimasuki dan dimanfaatkan oleh siapapun. Sekolah sampai kampusnya boleh dimasuki dan dimanfaatkan oleh siapa saja. Kalau Muhammadiyah mendirikan lembaga ekonomi dan usaha atau jasa, mereka yang menjadi nasabah, mitra dan konsumennya pun bisa siapa saja yang membutuhkan. Ketiga, tajdid Muhammadiyah sangat fungsional dan selaras dengan cita-cita Muhammadiyah untuk menjadikan Islam sebagai agama yang berkemajuan. Juga Islam yang berkebajikan yang senatiasa hadir sbagai pemecah masalah-masalah (problem solfing) termasuk masalah kesehatan, pendidikan dan sosial ekonomi.

Dengan demikian, tajdid dalam bidang muamalah berbasis pada upaya dinamisasi, elaborasi, berbasis perubahan menuju capaian prestasi yang berkualitas. Suatu saat nanti, aqpa yang diusahakan Muhammadiyah hendaknya tampil menjadi pusat-pusat keunggulan seperti sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi, lembaga-lembaga ekonomi. Sementara itu, tajdid dalam bidang aqidah dan ibadah mahdhah bukan dalam makna dinamisasi, tetapi tajdid yang berwajah tajrid, yaitu purifikasi atau pemurnian ajaran Islam. Artinya, untuk masalah aqidah dan ibadah mahdhah, hanya mencukupkan diri pada apa yang dapat dirujuk dalam al-Qur’an dan hadits atau apa yang dikerjakan dan disikapi oleh Nabi Muhammad SAW.

Dengan demikian, manusia memiliki kesempatan untuk melakukan pengayaan makna dan pendalaman hakekat dari fungsi agama Islam itu sendiri di tengah kehidupan. Arah kita menjadi jelas, orientasi kehidupan individu dfan masyarakat juga menjadi jelas, basis nilainya menjadi jelas, meskipun kita hidup di tengah zaman yang rumit, terus berubah dan berhadapan dengan keanekaragaman gejala kehidupan. Spirit Rahmatan lil’alamin juga menjadi tidak mengawang-awang.

Fungsi tajdid di bidang ini adalah untuk membuat aktif dan hidup keimanan kita dalam perilaku, dan tajdid Muhammadiyah tidak untuk membekukan keimanan kita dalam perangkat formalism istilah atau konsep belaka. Dengan demikian, keimanan kita akan memiliki fungsi sosial yang kaya. Dalam konteks inilah, kita dapat memahami kenapa begitu banyak ayat al-Qur’an yang selalu menggandengkan antar iman dan amal saleh. Iman adalah pilihan teologis dan amal saleh adalah ekspresi teologis yang selaras dengan iman. Iman tanpa amal saleh akan kehilangan pijakan sosial, dan amal tanpa iman kehilangan arah dan tujua.

Tajdid dalam ibadah mahdhah yang berbasis purifikasi atau pemurnian ajaran dalam praktek Muhammadiyah tidak dimaksudkan untuk membekukan fiqh dan syari’at pada perangkat formalism ritual keagamaan belaka. Aturan dan ibadah sudah jelas, seperti yang diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tajdid Muhammadiyah tidak berhenti. Muhammadiyah melakukan pengayaan makna, pendalaman hakekat dari fungsi ajaran Islam di tengah kehidupan. Dalam Muhammadiyah, kekuatan tajdidnya terletak pada upaya menjaga keseimbangan (tawazun) antara purifikasi dan dinamisasi, sesuai dengan bidangnya. Kalau keseimbangan ini goyah, tajdid menjadi kurang sempurna dan sulit disandingkan dengan perkembangan zaman (Syamsuddin, 2014: 20-21)

Untuk mengaktualisasikan tajdid yang bersifat pemurnian dan pengembangan itu, Muhammadiyah melengkapi diri dengan mengembangkan pendekatan pemahaman Islam yang dikenal dengan bayani, burhani dan irfani sebagaimana hasil musyawarah tarjih tahun 2000 di Jakarta serta dilakukan oleh musyawara nasional Tarjih dan Muktamar Muhammadiyah berikutnya. Pendekatan dalam memahami Islam harus dilakukan secara integrative melalui pendekatan dengan bayani, burhani dan irfani. Dengan manhaj pemikiran tarjih tentang tajdid dan pendekatan pemikiran Islam yang terintegratif itu, kita akan mampu mencandra pesan-pesan utama Islam yang komprehensif, sehingga Islam hadir di semesta ini sebagai agama alternative untuk peradaban dan benar-benar menjadi rahmata lil’alamin (Nasir, 2011: 182).

Selain itu, tajdid dalam pandangan Muhammadiyah merupakan salah satu bentuk implementasi nilai ajaran Islam setelah meninggalnya Nabi. Artinya, pembaruan dalam tubuh Muhammadiyah merupakan bentuk aplikasi dari ajaran Islam sebagai filterisasi percampuran ajaran Islam dengan varian lainnya. Munculnya gerakan tajdid menjadi jawaban terhadap tantangan kemunduran yang dialami dan/atau tantangan terhadap kemajuan oleh kaum muslimin. Tajdid juga didasarkan pada landasan teologis yang menyebutkan perlunya pembaruan setiap seratus tahun.

  • Model-Model dan Makna Gerakan Keagamaan Muhammadiyah.

Gerakan keagamaan Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan dari pendirinya yakni KH. Ahmad Dahlan. Sesuai dengan sikap dan pendiriannya KH. Ahmad Dahlan lebih suka mewujudkan gagasan dan pokok-pokok pikirannya melalui tindakan nyata atau gerakan dari pada sekedar pembicaraan dan tulisan. Pada awal perjalanannya, Muhammadiyah sangat miskin dengan rumusan formal mengenai apa yang menjadi gagasan dan pokok-pokok pikiran yang ingin diperjuangkan dan diwujudkan. Rumusan formalnya hanya dijumpai dalam Anggaran Dasar atau Statuta Muhammadiyah. Oleh karena itu, tindakan nyata atau model gerakan keagamaan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:

  1. Ke3mbali kepada al-Qur’an dan al-Hadits melalui gerakan pemurnian dalam bidang aqidah dan ibadah mahdhah. Dalam bidang muamalah duniawi, Muhammadiyah melakukan reinterpretasi terhadap al-Qur’an dan al-Hadits untuk menyeleraskannya dengan krmajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  2. Melakukan gerakan dakwah dan tajdid yang bersfat pencerahan (tanwir) diwujudkan dalam gerakan pembaruan pemahaman agama, reformasi sistim pendidikan Islam, pengembangan pranata pelayanan-pelayanan sosial dan pemberdayaan masyarakat berbasis penolong kesengsaraan umum, memajukan peranan perempuan muslim (Aisyiyah) di ranah public, pengorganisasian zakat dan haji, merintis taman pustaka dan publikasi, tablig yang mencerdaskan dan mengembangkan amaliah Islami yang memajukan kehidupan. Dalam kehidupan nasional, Muhammadiyah telah berkiprah untuk pergerakan kebangkitan bangsa, meletakkan fondasi Negara bangsa yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, menegakkan Negara Republik Indonesia agar tetap berada dalam koridor konstitusi dan cita-cita kemerdekaan, melakukan kerja-kerja kemasyarakatan dan usaha-usaha modernisasi sosial untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Muhammadiyah juga menjadi pilar kekuatan masyarakat madani (civil society) dan memelopori lahirnya era baru Indonesia yang demokratis, menghargai hak asasi manusia dan berwawasan kemajemukan (Nashir, 2011: 53-54).
  3. Membentuk dan memberdayakan organisasi otonom Muhammadiyah sebagai salah satu asset sumber daya manusia dalam rangka bahu-membahu demi tercapainya tujuan Muhammadiyah.
  4. Mengkaji kembali model dan semangat yang dilakukan oleh generasi awal Muhammadiyah.

Secara harfiah terdapat perbedaan antara kata “gerak”, “gerakan” dan “pergerakan”. Gerak sendiri merupakan perubahan suatu materi dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya, sedangkan gerakan berarti perbuatan atau keadaan bergerak, dan pergerakan adalah usaha atau kegiatan. Pergerakan identik dengan kegiatan dalam ranah sosial. Dengan demikian, kata gerakan atau pergerakan mengandung arti, unsur, dan esensi yang dinamis dan statis (lihat QS. Ali Imran: 104). “Perubahan” (change) adalah kehadiran untuk melakukan perubahan tertentu baik yang evolusioner maupun revolusioner. Gerakan sosial kemasyarakatan adalah suatu bentuk kolektif berkelanjutan yang mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau organisasi yang merupakan bagian dari masyarakat tersebut.

Terdapat tiga hal yang membedakan gerakan social dari bentuk prilaku kolektif lainnya, antara lain: Pertama, organized,yaitu gerakan social yang terorganisasi, sedangkan kebanyakan prilaku kolektif tidak terorganisasi, baik pemimpin, pengikut maupun proses pergerakannya. Kedua, Deliberate, gerakan social itu direncanakan dengan penuh pertimbangan dan perencanaan. Ketiga, enduring, keberadaan gerakan social itu berjangka waktu yang panjang hingga beberapa decade. Artinya, sebuah gerakan social terlebih gerakan keagamaan memiliki karakter yang kuat untuk bergerak secara terorganisasi, terencana dan berkelanjutan sehingga tidak muda tertelan zaman maupun badai tantangan zaman berikutnya.

Dalam teori perubahan social, sebuah pergerakan atau gerakan selalu lahir dan memliki makna tanpa putus. Hal ini dapat dilihat pada Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, pokok pikiran keenam. Terdapat tiga hal yang membedakan gerkan social Muhammadiyah dengan yang lainnya. Secara garis besar, tersirat bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam, amar ma’ruf dan tajdid yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits. Pada pokok pikiran ke enam tersebut, dinyatakan bahwa Muhammadiyah adalah satu oeganisasi yang bersifat gerakan dan mempunyai cirri-ciri tertentu antara lain :

  1. MUhammadiyah adalah subyek/pemimpin dan masyarakat semuanya adalah obyek/yang dipimpin.
  2. Muhammadiyah lincah atau dinamis, maju (progressif) selalu di muka dan militan.
  3. Muhammadiyah bersifat revolusioner, mempunyai pimpinan yang kuat, cakap, tegas dan berwibawa.
  4. MUhammadiyah mempunyai organisasi yang susunannya lengkap dan selalu tepat atau up to date ((Hambali. 2013: 31)
  • Gerakan Tajdid Muhammadiyah pada 100 Tahun Pertama dan Kedua.

Tajdid merupakan proses yang tidak pernah berhenti. Ia akan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan manusia. Dalam ranah agama, tajdid dimaknai sebagai uapaya untuk redifinisi makna di tengah-tengah kehidupan manusia yang progresif. Islam seringkali dimaknai penganutnya sebagai agama yang “Rahmatan lil’alamin” agama yang senatiasa susuai di setiap tempat dan zaman. Untuk mengejawantahkannya, Islam seringkali dihadapkan pada dilemma antara normativitas teks dan realitas social. Dalam menghadapi dilemma ini, yang harus diubah adalah cara pandang terhadap teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Amin Rais menyebut tajdid dilakukan secara koprehensif yang mengarah kepada future oriented (Rais, 1998: 10).

Muhammadiyah pada abad kedua sarat dengan perkembangan dan perubahan yang spektakuler di berbagai bidang, yang berada di pusaran dinamika globalisasi yang membawa idiologi kapitalisme dan neo-liberalism global yang masuk keseluruh relung kehidupan bangsa-bangsa. Muhammadiyah dengan cita-cita ingin wujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan menghadirkan Islam sebagai rahmatan lil-alamin memerlukan transformasi dalam aktualisasi gerakannya diberbagai bidang kehidupan, Muhammadiyah mempunyai potensi dan modal dasar yang kuat untuk memasuki abad kedua dengan gerakan pencerahan. Muhammadiyah diharapkan terus berkiprah untuk pencerahan dan kemajuan bangsa, serta mampu menjadi gerakan Islam kosmopolitan yang membawa Islam sebagai rahmat bagi semesta kehidupan.

Melalui gerakan pencerahan yang membawa misi dakwa dan tajdid yang membebaskan, memberdayakan dan memajukan kehidupan di tengah dinamika abad modern, tahap lanjutnya sarat tantangan. Muhammadiyah dituntut melakukan transformasi pemikiran, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan usaha-usaha lain yang bersifat unggul dan terobosan. Muhammadiyah dituntut untuk terus berkiprah dengan inovatif.

Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid menggunakan tiga paradigm dalam membaca teks, yakni bayani, burhani dan irfani. KLetiga paradigma ini diharapkan mampu menjawab dilemma antara teks dan konteks sehingga menghasilkan Islam yang rahmatan lil-alamin.

Pengetahuan dan peradaban manusia senatiasa berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai bagian dari narasi besar ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu keIslaman pun mengalami pergeseran paradigmatik. Hal ini terjadi karena ilmu-ilmu yang lahir tidak terlepas dari bingkai social yang mengkonstruk reaslitas. Bingkai social inilah yang selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, pergeseran paradigm merupakan tuntutan sejarah, sehingga senantiasa relevan dan kontekstual, bahkan berdaya guna.

Perkembangan peradaban manusia kini sampai pada era pluralisme dan multi kulturalisme. Agama-agama yang selama ini dianggap mapan ternyata mengalami problematika ketika berhadapan dengan realitas luar yang makin kompleks dan plural. Maka, harus ada redefinisi terhadap makna dan orientasi agama, sehingga agama senantiasa relevan dengan peradaban manusia.

Tantangan selanjutnya datang dari ranah budaya atau cultural social masyarakat local. Agama sebagai sistim nilai, norma dan ajaran yang dominan, berhadapan dengan sistim nilai yang dating dari tradisi atau adat masyarakat setempat. Sistim nilai itu lahir dari kearifan local yang secara turun-temurun dipegang oleh masyarakat sebagai suatu ajaran yang harus dijunjung tinggi. Dialektika antara agama dan budaya (kearifan) lokal ini juga sering memicu ketegangan konflik dan perpecahan.

Maka, gerakan tajdid Muhammadiyah untuk 100 tahun kedua memiliki beberapa agenda yang perlu diejawantahkan. Artinya Muhammadiyah pada abad kedua berkomitmen kuat untuk melakukan gerakan pencerahan. Gerakan pencerahan merupakan praksis Islam yang berkemajuan untuk membebaskan, memberdayakan dan memajukan kehidupan. Gerakan pencerahan dihadirkan untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dan persoalan-persoalan lainnya yang bercorak struktural dan kultural. Gerakan pencerahan menampilkan Islam untuk menjawab masalah kekeringan ruhani, krisis moral, kekerasan, terorisme, konflik, korupsi, kerusakan ekologis, dan bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan. Gerakan pencerahan berkomitmen untuk mengembangkan relasi social yang berkeadilan tanpa diskriminasi, memuliakan martabat manusia laki-laki dan perempuan, menjunjung tinggi toleransi dan kemajemukan dan membangun pranata social yang utama.

Dengan gerakan pencerahan, MUhammadiyah terus bergerak dalam mengemban misi dakwah dan tajdid untuk menghindarkan Islam sebagai ajaran yang mengembangkan sikap tengahan (wasathiyah), membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat dan martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjunjung tinggi akhalak mulia dan memajukan kehidupan umat manusia. Komitmen Muhammadiyah tersebut menunjukkan karakter gerakan Islam yang dinamis dan progresif dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus kehilangan identitas dan rujukan Islam yang autentik.

Dalam pengembangan pemikiran, Muhammadiyah berpijak pada koridor tajdid yang bersifat purifikasi dan dinamisasi, serta mengembangkan orientasi praksis untuk pemecahan masalah kehidupan. Muhammadiyah mengembangkan pendidikan sebagai strategi dan ruang kebudayaan bagi pengembangan potensi dan akal budi manusia secara utuh. Sementara itu, pembinaan keagamaan semakin dikembangkan pada pengayaan nilai-nilai aqidah, ibadah, akhlak dan muamalat duniawi yang membangun kesalehan individu dan social yang melahirkan tatanan social baru yang lebih religius dan humanistik.

Pada abad kedua Muhammadiyah, organisasi ini mrnghadapi perkembangan dunia yang semakin kosmopolit. Dalam perspektif kosmopolitenisme yang melahirkan relasi umat manusia yang semakin mendunia. Muhammadiyah sebagai bagian integral dari warga dunia dituntut komitmennya untuk menyebarluaskan gerakan pencerahan bagi terbentuknya wawasan kemanusiaan universal yang menjujung tinggi perdamaian, toleransi, kemajemukan, kebajikan, keadaban dan nilai-nilai yang utama. Orientasi gerakan yang cosmopolitan tidak serta merta menjadikan Muhammadiyah kehilangan pijakan yang kokoh dalam ranah ke-Indonesia-an dan lokalitas kebudayaan setempat serta mencabut dirinya dari keperibadian Muhammadiyah.

Pada deskripsi terakhir, penulis menampilakan pandangan dan harapan beberapa tokoh tentang Muhammadiyah di abad kedua, antara lain :

  1. Buya Ahmad Syafii Maarif (Mantan Ketua PP Muhammadiyah)

Agar dikemudian hari pemimpin di negeri ini dipegang oleh orang Muhammadiyah, sebagian orang Muhammadiyah yang punya bakat harus masuk ke politik, tetapi dia tidak boleh hilang kendali, sebab politik itu penting. Buya Syafii berharap orang Muhammadiyah melebarkan sayap, tidak hanya sibuk mengurus diri di organisasi, tetapi juga mengurus kemajuan bangsa ini. Kita punya presiden RI pertama, yaitu Bung Karno, pernah menjadi coordinator Muhammadiyah, kita punya presiden RI kedua, yang pernah sekolah di Muhammadiyah. Saya berharap orang Muhammadiyah bisa menjadi pemimpin negeri ini dengan mengesampingkan organisasi organisasi dan memberikan kemakmuran bagi bangsa dan Negara.

  • Azyumardi Azra (Guru Besar dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998-2006)

Kini, ideology puritanisme Muhammadiyah ditantang oleh paham dan praksis keagamaan ultrapuritan yang pada dasarnya bersifat transnasional. Tantangan kaum ultra puritan bukan hanya menyodot kalangan warga Muhammadiyah-walaupun masih dalam skala sangat terbatas- melainkan juga lembaga-lembaganya sejak dari mesjid, sekolah sampai universitas. Bahkan, bukan tidak mungkin infiltrasi kelompok ultrapuritan juga sudah merambah ke lembaga Muhammadiyah lain seperti rumah sakit, klinik dan rumah yatim piatu. Karenanya sangat urgen bagi pemimpin dan aktivis Muhammadiyah sejak tingkat nasional ke tingkat local untuk memberikan perhatian lebih pada pemeliharaan lembaga-lembaganya. Infiltrasi kaum ultrapuritan ke dalam Muhammadiyah secara potensial lebih besar dari pada ke ormas lainnya semacam NU. Hal ini tidak lain karena terdapat banyak afinitas ideologis antara Muhammadiyah yang pernah juga puritan dengan kelompok-kelompok ultrapuritan yang berkecambah khususnya sejak masa paska Suharto. Bagaimanapun, infiltrasi kelompok ultrapuritan dapat membawa potensi friksi di antara pimpinan dan warga Muhammadiyah sendiri.

Pemimpin Muhammadiyah dituntut mempertimbangkan kembali format lebih produktif dalam hubungan dengan rezim yang berkuasa. Memang tidak ada masalah lagi dalam hal format hubungan Muhammadiyah dengan Negara; Muhammadiyah menerima dan mendukung NKRI, UUD 1`945, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika. Masalahnya kemudian adalah hubunganantara Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan rezim berkuasa tidak selalu mulus, sehingga menimbulkan dampak tertentu pada lembnaga-lembaga Muhammadiyah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Ke depan, pimpinan Muhammadiyah seyogyanya dapat menemukan format baru dalam relasi dengan rezim penguasa tanpa harus kehilangan jati diri.

  • Din Syamsuddin (Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah)

Memasuki abad kedua, Muhammadiyah berbenah diri dengan melakukan revitalisasi amal usaha secara kualitatif dan kuantitatif. Muhammadiyah akan mendekatkan diri dengan masyarakat yang kini mulai termarjinalkan, seperti petani dan nelayan, melalui pemberdayaan masyarakat. Indonesia dirundung defiasi, penyelewengan dan penjajahan dalam bentuk lain yang mencakup bidang politik, ekonomi hingga budaya. Pada abad pertama, Muhammadiyah telah meluruskan kiblat umat Islam dalam pelaksanaan ibadah shalat. Pada abad kedua Muhammadiyah bertekad untuk meluruskan kiblat bangsa, yaitu meluruskan penyimpangan terhadap cita-cita nasional yang diletakkan  The founding fathers (Febriansyah, dkk, 2013: 157-162).

Sumber :

AIK III; Kemuhammadiyahan

Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

tahun 2016.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA