Bahan pengikat dalam pembuatan sosis umumnya mengandung titik-titik yang tinggi


File Microsoft Word Sosis

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNIK PENGOLAHAN DAGING

Tanggal           : 9-10-2012                  Nama Dosen   : M. Sriduresta s, S.Pt, M.Sc

Praktikum ke   : 4                                Nama Asisten  : Hesti Indri P.

                                                                                      Angritia Voreza

                                                                                      Gita Try L.

                                                                                      Sindya Erti J. S.

SOSIS

Oleh:

Yusuf Jafar Rizali

D14100064

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

PENDAHULUAN

Latar Belakang

            Daging merupakan salah satu bahan pangan yang menjadi sumber protein hewani. Tingginya tingkat konsumsi daging disebabkan nilai gizi yang terkandung di dalam daging lebih banyak bila dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Selain itu, daging mempunyai asam amino essensial yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan protein yang berasal dari nabati.

Sosis merupakan salah satu jenis makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di dunia. Bahan baku sosis adalah daging, sehingga karakteristik dari sosis itu sendiri menjadi mudah rusak, oleh karena itu diperlukan bahan pengawet untuk meningkatkan masa simpannya. Selain itu, cara pengolahan dan penyimpanan sosis sangat menentukan kualitasnya, sehingga sangat perlu bagi praktikan untuk mengetahui prosedur pengolahan sosis yang baik dan benar.

Tujuan

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui prosedur dalam membuat sosis, serta mengetahui palatabilitas berdasarkan uji hedonik terhadap sosis yang telah dibuat.

TINJAUAN  PUSTAKA

Daging

Daging menurut SNI-01-3947-1995 adalah urat daging yang melekat pada kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari hewan sehat pada saat dipotong (Dewan Standarisasi Nasional, 1995). Daging didefinisikan sebagai daging mentah atau flesh dari hewan yang digunakan sebagai makanan. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa daging merupakan bagan pangan yang mudah rusak oleh mikroorganisme karena ketersediaan gizi di dalamnya yang sangat mendukung untuk pertumbuhan mikroorganisme, terutama mikroba perusak. Menurut Elveira (1988), daging sapi yang biasa digunakan untuk membuat bakso adalah daging penutup (top side), gandik (silver side), dan lemusir (cube roll). Penggunaan daging gandik menyebabkan bakso mempunyai kadar protein, daya iris (shear WB), kecerahan dan kemerahan tertinggi, serta kadar lemak terendah (Indarmono, 1987).

Sosis Daging

Sosis merupakan produk emulsi yang membutuhkan pH tinggi (diatas pH isoelektrik). Nilai pH sosis ditentukan oleh pH daging yang dipakai dalam pembuatan sosis dan kondisi daging yang pre-rigor (Suparno, 1998). Menurut Forrest et al (1975) Adonan sosis merupakan emulsi minyak dalam air (oil in water) yang terbentuk dalam suatu fase koloid dengan protein daging yang bertindak sebagai emulsifier sehingga protein air dalam adonan sosis akan membuat matriks yang menyelubungi butiran lemak dan membentuk emulsi yang stabil. Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan emulsi yang berhubungan dengan penggunaan minyak atau lemak adalah jumlah yang ditambahkan, jenis minyak atau lemak yang ditambahkan dan titik cair dari lemak atau minyak tersebut.

Sosis merupakan produk olahan yang dibuat dari bahan dasar berupa daging (sapi atau ayam) yang digiling. Pada prinsipnya semua jenis daging dapat dibuat sosis bila dicampur dengan sejumlah lemak. Daging merupakan sumber protein yang bertindak sebagai pengemulsi dalam sosis. Protein yang utama berperan sebagai pengemulsi adalah myosin yang larut dalam larutan garam (Brandly, 1966). Daging yang umumnya digunakan dalam pembuatan sosis daging yang kurang nilai ekonomisnya atau bermutu rendah seperti daging sketal, daging leher, daging rusuk, daging dada serta daging-daging sisa/tetelan (Soeparno, 1994). Proses perebusan yang dilakukan pada pembuatan sosis ini dilakukan sebagai langkah terakhir untuk mendapatkan produk sosis. Pemasakan sosis ini menurut Effie (1980) bertujuan untuk menyatukan komponen adonan sosis, memantapkan warna dan menonaktifkan mikroba.

Kekenyalan dari sosis dipengaruhi oleh oleh kadar air sosis, bahan pengikat sosis yaitu susu skim bubuk dan bahan pembentuk yaitu susu skim bubuk dan tepung tapioka. Kadar air sosis menurut SNI 01-3020-1995 adalah maksimal 67.0% bobot basah. Kadar air yang dihasilkan berasal dari air yang ditambahkan atau dari bahan-bahan yang ditambahkan dengan kandungan air yang tinggi.

Bahan Pengisi

Bahan pengisi dan bahan pengikat diperlukan dalam pembuatan sosis. Perbedaan antara bahan pengikat dan bahan pengisi terletak pada fraksi utama dan kemampuannya mengemulsikan lemak. Bahan pengisi mempunyai kandungan karbohidrat yang lebih tinggi, sedangkan bahan pengikat mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi. Bahan pengikat memiliki kemampuan untuk mengikat air dan mengemulsikan lemak (Kramlich, 1971).

Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan sosis adalah tepung dari pati, seperti tepung tapioca dan tepung sagu. Tepung dari pati dapat meningkatkan daya mengikat air karena memiliki kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan (Tarwotjo et al., 1971). Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bahan pengisi dimaksudkan untuk mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan cita rasa, memperbaiki sifat irisan dan mengurangi biaya produksi. SNI 01-3818-1995 menetapkan penggunaan bahan pengisi dalam pembuatan sosis maksimum 50% dari berat daging yang digunakan.

Sodium Tripolifosfat (STPP)

Menurut Ockermann (1983), STPP memiliki fungsi untuk meningkatkan pH daging, kestabilan emulsi dan kemampuan emulsi. Jika nilai pH semakin mendekati titik isoelektrik protein, maka daya mengikat air akan semakin rendah. Penambahan STPP dapat meningkatkan pH sehingga diperoleh daya mengikat air yang semakin tinggi. Penambahan STPP dapat mencegah terjadinya rekahan serta terbentuknya permukaan kasar pada daging layu, dapat meningkatkan rendemen, kekerasa, kekenyalan dan kekompakan sosis (Elveira, 1988).

Garam Dapur (NaCl)

Sunarlim (1992) menyatakan bahwa hasil olahan daging biasanya mengandung 2-3% garam. Aberle et al. (2000) menambahkan bahwa garam yang ditambahkan pada daging yang digiling akan meningkatkan protein myofibril yang terekstraksi. Protein ini memiliki perasaan penting sebagai pengemulsi. Fungsi garam adalah menambahakan atau meningkatkan rasa dan memperpanjang umur simpan produk.

Es atau Air Es

Peningkatan suhu selama proses pelumatan daging akan mencairkan es, sehingga suhu daging atau adonan dapat dipertahankan. Selain itu, penambahan es atau air  juga penting untuk menjaga kelembaban produk akhir agar tidak kering, meningkatkan sari minyak (juiceness) dan keempukan daging (Forrest et al., 1975). Jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan akan mempengaruhi kadar air, daya mengikat air, kekenyalan dan kekompakan sosis (Indarmono, 1987). Oleh sebab itu, penggunaan es atau air es harus dibatasi.

Salah satu tujuan penambahan air dan es pada produk emulsi daging adalah menurunkan panas produk yang dihasilkan akibat gesekan selama penggilingan, melarutkan dan mendistribusikan garam ke seluruh bagian massa daging secara merata, mempermudah ekstraksi proterin otot, membantu proses pembentukan emulsi, dan mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah. Jika panas ini berlebih maka emulsi akan pecah, karena panas yang terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya denaturasi protein. Akibatnya produk tidak akan bersatu selama pemasakan (Aberle et al., 2001).

Lemak

Menurut Acton dan Saffle (1970), lemak dapat memepengaruhi kestabilan emulsi. lemak menghailkan fase dispersi (diskontinue) dari emulsi daging sehingga lemak merupakan komponen struktural utama. Lemak yang mengandung asam lemak jenuh lebih mudah diemulsi daripada asam lemak tak jenuh. Menurut Sulzbacher (1973), penggunaan lemak cair (minyak) pada produk daging olahan dapat menghasilkan emulsi daging yang lebih stabil daripada minyak padat. Sosis masak harus mengandung lemak maksimum 30%.

Bumbu

Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bumbu dalam pembuatan produk daging dimaksudkan untuk mengembangkan rasa dan aroma serta memperpanjang umur simpan produk. Merica dan bawang putih sering digunakan dalam beberapa resep produk daging olahan seperti sosis, bakso dan lain sebagainya. Tujuan utama penambahan bumbu adalah untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan dan sebagai bahan pengawet alami (Schmidt, 1988). Selain itu, bumbu juga mempunyai pengaruh pengawetan terhadap produk daging olahan karena pada umumnya bumbu mengandung zat yang bersifat bakteristatik dan antioksidan (Soeparno, 1998).

Merica adalah buah dari tanaman Piper nigrum L. dan memiliki rasa yang sangat pedas (Pungent) dan berbau (aromatic). Rasa pedas dihasilkan oleh zat piperin dan aroma sedap dihasilkan oleh terpen. Merica mengandung minyak essensial 1% – 2,7%. Bawang putih adalah umbi dari tanaman allium Sativum L. dan memiliki rasa pedas (Pungent). Bawang putih mengandung sekitar 0,1% – 0,25% zat volatile, yaitu alil sulfide yang terbentuk secara enzimatik ketika butiran umbi bawang putih dihancurkan atau dipecah. Di dalam bawang putih juga terdapat S-(2-propenil)-L-cistein sulfoksida yang merupakan prekursor utama dalam pembentukan alil thiosulfat (allicin) (Reinnenccius, 1994).

Bawang Putih

Bawang putih merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan dalam makanan atau produk sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera makan. Bau yang khas dari bawang putih berasal dari minyak volatile yang mengandung komponen sulfur. Karakteristik bawang putih akan muncul dengan sendirinya apabila terjadi pemotongan atau perusakan jaringan. Bawang putih dapat menghasilkan enzim alicin dimana enzim tersebut berperan dalam memberi aroma bawang putih serta merupakan salah satu zat aktif anti bakteri. Bawang putih memiliki jenis yang cukup banyak, namun tidak ada perbedaan yang menyolok. Senyawa allicin pada bawang putih merupakan penyebab timbulnya bau yang sangat tajam. Bawang putih juga mengandung yodium yang tinggi dan sulfur.

MATERI DAN METODE

Materi

Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah daging sapi, tepung tapioka 30%, lemak 15%, STPP 0.7%, garam 3.8%, susu skim 10%, bawang putih 1%, pala 0.3%, penyedap 0.7%, jahe 0.5%, merica 0.5%, mentega, bawang putih, dan es batu 50%. Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah food processor, stuffer, selongsong, dan peralatan dapur lainnya.

Prosedur

Bahan yang akan digunakan ditimbang sesuai resep. Daging sapi dan lemak ditimbang masing-masing sebanyak 135 gram, kemudian dibersihkan dan dicacah atau dipotong-potong. Selanjutnya cacahan daging sapi, lemak, garam, STPP, jahe, bawang putih, dan sebagian es batu dimasukkan ke dalam food processor. Setelah campuran pertama halus, kemudian dicampur lagi dengan merica, bumbu penyedap, pala, tepung tapioka, susu skim dan sisa es batu. Hasil campuran dimasukkan ke dalam stuffer dengan terlebih dahulu memasang casing sosis pada stuffer. Perlahan-lahan adonan dikeluarkan dengan memutar tuas. Didalam cassing tidak boleh diberi rongga untuk udara, sehingga cassing akan menjadi padat dan dihasilkan bentuk sosis yang baik. Setelah cassing terisi adonan, ujung cassing kemudian diikat menggunakan benang. Sosis kemudian direbus pada suhu sekitar 60 0C selama 45 menit, perebusan dilakukan dalam panci yang berisi air dan diukur suhunya dengan termometer. Setelah masak, sosis ditiriskan dan didinginkan. Cassing sosis dilepaskan, kemudian sosis disajikan sesuai dengan kreasi dari masing-masing kelompok.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

            Berdasarkan percobaan yang dilakukan, telah diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil uji organoleptik K4/G2 terhadap K3/G2

Parameter Panelis
1 2 3 4 5 6
Warna 4 4 4 4 4 4
Rasa 5 5 5 4 3 3
Tekstur 4 5 4 4 4 3
Penampilan 5 5 5 4 4 4
Kekenyalan 4 4 4 4 3 3

Tabel 2. Hasil uji organoleptik K3/G2

Parameter Panelis
1 2 3 4 5 6
Warna 3 3 4 4 3 5
Rasa 3 4 4 5 4 5
Tekstur 3 5 3 3 4 5
Penampilan 4 5 4 5 4 5
Kekenyalan 2 4 4 3 3 5

Keterangan:

Angka Interpretasi
1 Sangat tidak suka
2 Tidak suka
3 Netral
4 Suka
5 Sangat suka

Pembahasan

Sosis merupakan produk emulsi yang membutuhkan pH tinggi (diatas pH isoelektrik). Nilai pH sosis ditentukan oleh pH daging yang dipakai dalam pembuatan sosis dan kondisi daging yang pre-rigor (Suparno, 1998). Menurut Forrest et al (1975) Adonan sosis merupakan emulsi minyak dalam air (oil in water) yang terbentuk dalam suatu fase koloid dengan protein daging yang bertindak sebagai emulsifier sehingga protein air dalam adonan sosis akan membuat matriks yang menyelubungi butiran lemak dan membentuk emulsi yang stabil. Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan emulsi yang berhubungan dengan penggunaan minyak atau lemak adalah jumlah yang ditambahkan, jenis minyak atau lemak yang ditambahkan dan titik cair dari lemak atau minyak tersebut.

Sosis merupakan produk olahan yang dibuat dari bahan dasar berupa daging (sapi atau ayam) yang digiling. Pada prinsipnya semua jenis daging dapat dibuat sosis bila dicampur dengan sejumlah lemak. Daging merupakan sumber protein yang bertindak sebagai pengemulsi dalam sosis. Protein yang utama berperan sebagai pengemulsi adalah myosin yang larut dalam larutan garam (Brandly, 1966). Daging yang umumnya digunakan dalam pembuatan sosis daging yang kurang nilai ekonomisnya atau bermutu rendah seperti daging sketal, daging leher, daging rusuk, daging dada serta daging-daging sisa/tetelan (Soeparno, 1994). Proses perebusan yang dilakukan pada pembuatan sosis ini dilakukan sebagai langkah terakhir untuk mendapatkan produk sosis. Pemasakan sosis ini menurut Effie (1980) bertujuan untuk menyatukan komponen adonan sosis, memantapkan warna dan menonaktifkan mikroba.

Kekenyalan dari sosis dipengaruhi oleh oleh kadar air sosis, bahan pengikat sosis yaitu susu skim bubuk dan bahan pembentuk yaitu susu skim bubuk dan tepung tapioka. Kadar air sosis menurut SNI 01-3020-1995 adalah maksimal 67.0% bobot basah. Kadar air yang dihasilkan berasal dari air yang ditambahkan atau dari bahan-bahan yang ditambahkan dengan kandungan air yang tinggi.

Menurut Acton dan Saffle (1970), lemak dapat memepengaruhi kestabilan emulsi. lemak menghailkan fase dispersi (diskontinue) dari emulsi daging sehingga lemak merupakan komponen struktural utama. Lemak yang mengandung asam lemak jenuh lebih mudah diemulsi daripada asam lemak tak jenuh. Menurut Sulzbacher (1973), penggunaan lemak cair (minyak) pada produk daging olahan dapat menghasilkan emulsi daging yang lebih stabil daripada minyak padat. Sosis masak harus mengandung lemak maksimum 30%. Nitrit pada sosis berfungsi sebagai pengawet dan pencerah warna merah. Namun penggunaan nitrit pada sosis ternyata bersifat karsinogenik jika dikonsumsi terlalu sering.

KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa di dalam pembuatan sosis terdiri dari empat tahap, yaitu penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan sosis, dan pemasakan sosis. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa sosis yang dibuat oleh kelompok kami mempunyai palatabilitas yang sangat tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Aberle, H. B. Forrest, J. C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 2001. Principle of Meat Science. 4th Edit. Kendal/Hunt Publishing, Iowa.

Acton JC, RL Saffle. 1970. Stability of oil in water emulsion. J. Food Sci. 35(6): 852-854

Brandly, P.J., Migaki G., Taylor K.E. 1966. Meat Hygiene, 3rdEdit. Lea and Febiger, Philadelphia.

Dewan Standardisasi Nasional. 1995. SNI 01-3818, Bakso Daging. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Effie. 1980. Pembuatan Sosis Ikan Cucut (Centroscymus coelolepsi). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Elveira, G. 1988. Pengaruh pelayuan daging sapi terhadap mutu bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Forrest, J. G., E. D. Alberle., H. B. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman, San Fansisco.

Indarmono, T. P. 1987. Pengaruh lama pelayuan dan jenis daging karkas serta jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan fisikokimia bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kramlich, J. E. 1971. Sausage Product Technology. In The Science of Meat and Meat Product. J. E. Price and B. S. Schweigert Edit. W. H. Freeman and Colletotrichum., perilaku disruptif:485.

Kramlich, W. E., A. M. Pearson dan F. W. Tauber. 1973. Processed Meat. The AVI Publishing, Connecticut.

Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10th Edition. Departement of Animal Science. The Ohio State University and The Ohio Agricultural Research and Development Center, Ohio.

Schmidt, G. R. 1988. Processing. Dalam: Cross, H. R. and A. J. Oberby. (Eds). Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publishers, New York.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press, Yogyakarta.Sulzbacher WL. 1973. Meat emulsions. J. Sci. Food Agr. 24(5): 589-595.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan natrium klorida dan natrium tripolifosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press, Yogyakarta.

Tarwotjo, I. S., Hartini, S., Soekirman dan Sumartono. 1971. Komposisi Tiga Jenis Bakso di Jakarta. Akademi Gizi, Jakarta.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA