Apakah mental atau pikiran bisa mengalami revolusi atau perubahan radikal?


"Dalam kehidupan sehari-hari, praktek revolusi mental adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong."
"Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala."

Itulah adalah gagasan revolusi mental yang pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956. Soekarno melihat revolusi nasional Indonesia saat itu sedang mandek, padahal tujuan revolusi untuk meraih kemerdekaan Indonesia yang seutuhnya belum tercapai.

Revolusi di jaman kemerdekaan adalah sebuah perjuangan fisik, perang melawan penjajah dan sekutunya, untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kini, 70 tahun setelah bangsa kita merdeka, sesungguhnya perjuangan itu belum, dan tak akan pernah berakhir. Kita semua masih harus melakukan revolusi, namun dalam arti yang berbeda. Bukan lagi mengangkat senjata, tapi membangun jiwa bangsa.


Membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan dan hal-hal yang modern, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.


Kenapa membangun jiwa bangsa yang merdeka itu penting? Membangun jalan, irigasi, pelabuhan, bandara, atau pembangkit energi juga penting. Namun seperti kata Bung Karno, membangun suatu negara, tak hanya sekadar pembangunan fisik yang sifatnya material, namun sesungguhnya membangun jiwa bangsa. Ya, dengan kata lain, modal utama membangun suatu negara, adalah membangun jiwa bangsa.


Inilah ide dasar dari digaungkannya kembali gerakan revolusi mental oleh Presiden Joko Widodo. Jiwa bangsa yang terpenting adalah jiwa merdeka, jiwa kebebasan untuk meraih kemajuan. Jiwa merdeka disebut Presiden Jokowi sebagai positivisme.


Gerakan revolusi mental semakin relevan bagi bangsa Indonesia yang saat ini tengah menghadapi tiga problem pokok bangsa yaitu; merosotnya wibawa negara, merebaknya intoleransi, dan terakhir melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional.


Dalam kehidupan sehari-hari, praktek revolusi mental adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong. Para pemimpin dan aparat negara akan jadi pelopor untuk menggerakkan revolusi mental, dimulai dari masing-masing Kementerian/Lembaga (K/L). Sebagai pelopor gerakan revolusi mental, pemerintah lewat K/L harus melakukan tiga hal utama yaitu; bersinergi, membangun manajemen isu, dan terakhir penguatan kapasitas aparat negara.


Gerakan revolusi mental terbukti berdampak positif terhadap kinerja pemerintahan Jokowi. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ada banyak prestasi yang diraih berkat semangat integritas, kerja keras, dan gotong royong dari aparat negara dan juga masyarakat.


Pemberantasan ilegal fishing, pengelolaan BBM lebih bersih dan transparan, pembangunan pembangkit listrik terbesar di Asia Tenggara, pembangunan tol trans Jawa, trans Sumatera , dan Kalimantan, adalah sedikit hasil dari kerja keras pemerintah Presiden Jokowi. Ke depan, gerakan revolusi mental akan semakin digalakkan agar sembilan agenda prioritas pemerintah yang tertuang dalam Nawa Cita bisa terwujud. (Tim PKP-Kemenkominfo)


Info lebih lanjut : www.infopublik.id /email : /twitter @GPRIndonesia /Facebook: Indonesia Baik)

Pada tanggal 24 September 1964 Presiden RI ke-I Soekarno telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 249/1964 tentang penetapan tanggal 23 Septe Selengkapnya

Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meresmikan 16 kegiatan prioritas pembangunan kelautan dan perikanan secara simbo Selengkapnya

Setelah gencar melakukan berbagai pembangunan infrastruktur yang bermanfaat sebagai sabuk pemersatu bangsa, penguat interkonektivitas, serta Selengkapnya

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

OLEH: DIAZ HENDROPRIYONO

Revolusi mental membutuhkan sebuah perubahan radikal mengenai cara pandang bangsa mengenai dirinya, yang mana seharusnya perubahan tersebut akan membangkitkan kembali karakter bangsa Indonesia. Arti kata “revolusi” itu sendiri dapat dilihat dari sebuah buku yang berjudul The Structure of Scientific Revoultions (1962) yang ditulis oleh Thomas Khun. Ia mengatakan bahwa semua bentuk perubahan atau inovasi yang terjadi dalam sebuah paradigma (dalam sebuah spektrum cara pandang yang sama) disebut “normal” science. Namun, perubahan atau inovasi yang menimbulkan sebuah cara pandang yang baru, disebut revolution. Dengan kata lain, revolusi membutuhkan sebuah paradigm shift, atau perubahan cara pandang. Pertanyaan berikutnya adalah cara pandang seperti apa yang dibutuhkan untuk mewujudkan Revolusi Mental? Yaitu sebuah paradigma yang dapat membangkitkan lima karatkter bangsa, yang masing-masing ada di Pancasila, termasuk ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Dengan demikian, Pancasila bukan saja sebagai weltanschaung, tetapi juga merupakan karakter bangsa kita.

Merubah Pandangan Terhadap “Persatuan Indonesia”

Sebagai contoh, paradigma pembangunan kita terhadap “Persatuan Indonesia” masih salah kaprah. Seperti diketahui dan tidak dapat dipungkiri, pembangunan kita sampai saat ini masih fokus terhadap pembangunan di darat. Padahal, pada zaman Majapahit, kapal-kapal kita jauh lebih besar daripada kapal-kapal Cina. Sayangnya, setelah Portugis dan Belanda datang, kita dipaksa untuk menjadi bangsa inlander yang kerja dan hidup di darat, menjadi bangsa agraris, dan sengaja tidak mengembangkan jalur laut untuk memutuskan komunikasi antar pulau dengan tujuan mendisintegrasi nusantara. Presiden Sukarno ingin membangun paradigma “persatuan” tersebut dengan memberikan sebuah konsep yang menyatukan beberapa pandangan, yaitu wawasan benua, wawasan, bahari, dan wawasan dirgantara, menjadi sebuah pandangan baru yang bersifat holistik, menyatu dan menyeluruh, yaitu Wawasan Nusantara. Inilah teori ruang hidup (lebensraum) yang ditawarkan oleh Sukarno.

Teori ruang hidup Sukarno berbeda dengan teori barat. Misalkan, Karl Haushofer dalam Macht und Erde (1932) mengatakan bahwa sebuah negara seperti sebuah organisme hidup yang perlu berkembang, dan butuh kekuatan, yang dikembangkan di Jepang dengan nama Dai Nippon. Konsep ini mengutamakan penguasaan benua-benua dunia, sesuai dengan empat kawasan benua atau PAN region. Nicholas Spykman yang terkenal dengan teori “bulan sabit”nya mengatakan bahwa siapapun yang ingin menguasai dunia harus menguasai jantung dunia, yang memiliki akses daerah pantai. Secara spesifik negara-negara pantai mulai dari Skandinavia, Eropa barat, laut tengah, asia barat, asia selatan, asia tenggara sampai asia timur perlu di kuasai, yang digabungkan akan membentuk “bulan sabit.” Kenichi Ohmae dalam bukunya Borderless World (1991) mengatakan bahwa sekarang sudah tidak ada lagi batas negara karena globalisasi, dimana pengaruh asing bisa masuk ke dalam negeri kapan saja dan dalam bentuk apapun. Hal ini dapat dilakukan tanpa senjata.Karena itu Ohmae fokus kepada peranan Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam menghadapi kekuatan global, dimana peran Pemerintah Pusat harus dibatasi.

Sementara, Indonesia mempunyai teori ruang hidupnya sendiri. Sukarno mengatakan bahwa berdasarkan geopolitik, ruang hidup kita adalah tanah air kita, Indonesia yang bulat. Bukan hanya Jawa saja, Maluku saja, atau Borneo saja, sebagai contoh. Tapi juga segenap kepulauan di antara dua benua dan dua samudra dari Sabang sampai Merauke.

Manfaat yang paling besar dengan adanya Wawasan Nusantara yaitu adanya sebuah pandangan yang sama tentang bentuk fisik atau geografis negara kita, suatu pandangan berdasarkan teori geopolitik sukarno bahwa Indonesia adalah dari Sabang sampai Merauke (ex Hindia Belanda), dalam bentuk tiga dimensi (air, darat, dan laut) sebagai satu kesatuan. Pada intinya Wawasan Nusantara adalah sebuah kekuatan untuk menyatukan bangsa Indonesia yang majemuk, baik secara pandangan maupun secara geografis. Konsepsi Wawasan Nusantara lalu diperkuat setelah adanya Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 yang menyatakan bahwa laut teritorial Indonesia tidak lagi sejauh 3 mil dari garis air rendah dari setiap pantai pulau di Indonesia, tetapi melebar sampai 12 mil. Dengan ini maka, ketentuan tahun 1939 (Territoriale Zee En Maritime Kringen Ordonantie) yang mengatur hal terkait di nyatakan tidak berlaku lagi, digantikan dengan UU No 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Dengan demikian, pulau-pulau beserta laut yang menghubungkannya dinyatakan sebagai satu kesatuan yang utuh. Laut tidak lagi dipandang sebagai pemisah, tapi sebagai faktor penghubung. Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan semakin kuat setelah pokok-pokok asal negara kepulauan diakui oleh PBB dengan dikeluarkannya UNCLOS 1982, yang mana Indonesia meratifikasinya dengan UU No 17/1985. Tanpa adanya Wawasan Nusantara, pandangan kita terhadap bangsa ini sangat sempit dan bisa terpecah belah.

Sayangnya, setelah era Sukarno, budaya darat kita masih kental. Paradigma bangsa kita terhadap dirinya sendiri belum mencerminkan salah satu karakter bangsa tentang “Persatuan Indonesia” seperti yang dicita-citakan Sukarno. Sebagai contoh, dari pengamatan sehari-hari, makanan yang ada di meja makan mayoritas berasal dari darat, seperti nasi, daging ayam, telur, daging kambing, dan seterusnya. Kalaupun ada ikan, kemungkinan besar adalah ikan air tawar, seperti lele atau gurame. Sebagai negara kepulauan, seharusnya kita malu terhadap Singapura atau Malaysia, yang konsumsi ikannya mencapai 30-50kg/kapita/tahun, atau bahkan Jepang yang mencapai 110 kg/kapita/tahun. Memang di beberapa daerah seperti Maluku, konsumsi ikan bisa mencapai 52 kg/kapita/tahun, namun di daerah lain, banyak yang masih rendah, seperti Jogja, 16 kg/kapita/tahun. Contoh lain, jika kita memberikan selembar kertas kosong kepada anak-anak dan memintanya untuk menggambar pemandangan. Kemungkinan besar yang digambar adalah dua gunung dengan matahari di tengahnya, sebuah jalan panjang dengan sawah di kanan-kirinya. Pandangan bangsa mengenai daratan seperti ini sudah terbentuk sejak kecil. Selain itu, pandangan “daratan” tersebut terlihat dari perbedaan harga antara perumahan yang menghadap ke laut, danau, atau sungai, dengan harga rumah yang berada di “darat.” Hal ini berbeda misalkan dengan perumahan di Santa Monica atau Santa Barbara yang memiliki nilai ekonomi tersendiri karena letaknya di dekat laut. Bangsa kita masih melihat bahwa laut adalah sesuatu yang harus dihindari, dengan adanya berbagai mitos yang terkait dengan laut, seperti Nyai Loro Kidul, dan memandang bahwa laut, danau atau sungai sebagai penampungan sampah atau tempat pembuangan. Hal ini dapat terlihat dari perilaku orang yang tinggal di tepi sungai/kali. Sangat ironis memang jika mengingat bagaimana pentingnya sungai dalam sejarah, seperti Sungai Tigris dan Euphrates di Mesopotamia yang membantu berkembangnya peradaban pertama di bumi ini, atau bagaimana sungai Nil dapat membantu kehidupan di Upper Egypt dan Lower Egypt. Susah dibayangkan Mesir bisa berkembang tanpa sungai Nil. Pandangan daratan bangsa Indonesia juga bisa terlihat dari berlanjutnya pembangunan kereta api peninggalan penjajah di Sumatera dan Jawa, yang mana tujuannya bukan “to move people” tapi untuk mengekspoitasi sumber daya alam kita. Benar yang dikatakan Anies Baswedan bahwa jika kita melihat peta jalur kereta api kita, semuanya pasti melewati lokasi dimana sumber daya alam kita berada.

Contoh lain mengenai pandangan bangsa terhadap darat yang tidak seimbang juga dapat terlihat dari bagaimana kebijakan pertahanan militer kita selama ini yang selalu menganaktirikan Angkatan Laut. Alutsista AL kita masih lemah. Kapal selam tetangga dapat melewati salah satu dari ALKI tanpa sepengetahuan kita, karena teknologi SONAR kita belum canggih. Dalam hal ini kita masih harus menunggu bagaimana kemampuan helikopter Panther-nya PT Dirgantara Indonesia dalam mengamankan perairan kita, sehubung Panther tersebut dilengkapi dengan teknologi yang dapat mendeteksi kapal selam. Kapal selam kita pun juga hanya dua, dan sudah uzur. Padahal zaman Sukarno kita mempunyai 12 kapal selam kelas Whiskey/Tjakra buatan Uni Soviet, dan AL kita termasuk lima besar AL terbesar di dunia. Biar lebih fair, sebenarnya pemerintah juga sudah meningkatkan pertahanan laut dengan membeli tiga Kapal Selam U-209 Chang Bogo dari Korsel, yang akan diproduksi bersama dengan PT PAL dengan teknologi transfer. Tetapi hal inipun juga masih mendapatkan kritikan dari banyak pengamat maritim, yang memandang bahwa seharunya pemerintah bisa membeli KSU 214 dari Jerman atau Scorpene dari Perancis sekalian, daripada tanggung-tanggung.

Keseimbangan Pandangan Antara “Ketuhanan,” “Kemanusiaan” dan “Keadilan”

Untuk membangkitkan karakter bangsa dalam rangka mewujudkan Revolusi Mental, perlu adanya keseimbangan pandangan antara ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan. Sayangnya, bangsa kita masih menitikberatkan pandangan terhadap “ketuhanan” diatas segalanya dengan melupakan atau mengorbankan karakter-karakter bangsa lainnya, termasuk “kemanusiaan” dan “keadilan.” Padahal karakter-karakter tersebut sama tingginya dan sama pentingnya. Sebagai contoh, kita bisa melihat bagaimana banyaknya masjid di seluruh Indonesia. Memang saat ini, seperti yang dikatakan oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI), bahwa kita belum mempunyai data yang lengkap mengenai jumlah masjid di Indonesia, sehingga data mengenai jumlah masjid masih simpang siur. Misalkan, Yayasan Masjid Nusantara (YNM) mengatakan bahwa jumlah masjid tahun 2012 mencapai 239,497 bangunan, sehingga dengan jumlah pemeluk Islam sebanyak 207,176,162 jiwa, berarti masih dibutuhkan sebanyak 451,190 masjid yang harus dibangun. Peningkatan selama empat tahun terakhir secara persentase hanya 64%, jauh lebih kecil dibanding Vihara (368%), Gereja Katolik (153%), dan Gereja Protestan (131%) pada tahun yang sama, berdasarkan data dari Pusat Kerukunan Beragama Kementrian Agama. Namun jika ditambah dengan bangunan Mushalla, maka jumlah tempat beribadah untuk umat Islam mencapai sekitar 850 ribu-an, seperti yang dikatakan oleh M. Jusuf Kalla dengan kapasitasnya sebagai Ketum DMI tahun lalu.

Memang benar tidak ada yang salah dengan banyaknya (atau “sedikit”nya) jumlah masjid yang ada di Indonesia. Namun jika kita melihat jumlah Rumah Sakit yang ada di Indonesia, yang hanya berjumlah 2,803 bangunan, ditambah 9,510 Puskesmas, dengan banyaknya Kota di Indonesia yang belum memiliki RSUD (seperti kota Pariwisata Labuan Bajo; Bengkulu baru saja membuka RSUD pertamanya awal tahun 2014), maka menjadi sebuah kenyataan yang pahit, dimana kita hanya mementingkan sisi “Ketuhanan” tapi tidak memperhatikan sisi “Kemanusiaan” dan “Keadilan” dari Pancasila. Jika kita bisa bahu membahu membangun masjid, kenapa kita tidak bahu membahu juga untuk membangun Rumah Sakit? Sepertinya apa yang dikatakan Al-Zastrouw Ngatawi bisa jadi benar bahwa banyak dari kita hanya mengedepankan ritual keagamaan saja (puasa, shalat, dll) namun tidak melaksanakan nilai-nilai keagamaannya (khususnya yang menyangkut “Kemanusiaan”). Misalkan, jumlah kasus intoleransi umat beragama (terhadap agama minoritas seperti Ahmadiyah, Kristen, agama yang dituduh sesat, diantaranya) di Indonesiamencapai 264 peristiwa tahun 2012 (Setara Institute) atau 245 kasus tahun 2013 (Wahid Institute). Belum lagi banyaknya konflik antara pendatang dengan warga setempat, seperti yang terjadi dengan warga Bali di Kalianda, Lampung Selatan, dan warga Madura di Sampit, Kalimantan Tengah. Maka sebenarnya tidaklah mengagetkan jika World Value Survey melaporkan bahwa tingkat racial intolerance di Indonesia mencapai 30%-39%, seperti Mesir, Saudi Arabia, dan Iran (banyak dari repsonden survei tidak menginginkan tinggal bertetangga dengan orang dari ras berbeda). Hal ini berbeda dengan Uruguay yang tingkat intoleransinya hanya antara 0%-4.9%. Bahkan The Freethought Report 2013 yang dikeluarkan oleh International Humanist and Ethical Union melaporkan bahwa Uruguay adalah “free and equal” country, dimana tidak ada diskriminasi atau persecution terhadap orang yang tidak beragama (atheist), orang yang pindah ke agama lain (apostasy), atau orang yang telah melepaskan atau renounced kepercayaannya (blasphemy).

Bagaimana mengenai “Keadilan” seperti yang diamanatkan Pancasila? Seorang nenek bernama Rasminah dituntut oleh majikannya atas tuduhan pencurian piring, satu kantung plastik sop buntut, obat kumur, dan obat nyamuk. Walaupun PN Tangerang memvonis bebas, pada 2012 akhirnya Mahkamah Agung menyatakan bersalah dan memberikan hukuman 4 bulan kepada nenek berusia 55 tahun tersebut. Empat tahun yang lalu, seorang nenek, Minah, juga pernah mengalami nasib serupa setelah PN Purwokerto memberikan vonis 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan karena terbukti mencuri 3 buah biji kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan. Dua tahun yang lalu, seorang remaja berusia 15 tahun dengan inisial AAL dinyatakan bersalah oleh PN Palu karena terbukti mencuri sandal jepit milik seorang Briptu Polisi. Kenyataan tersebut menjadi sebuah ironi ketika melihat bahwa pencuri-pencuri kelas kecil terus mendapatkan vonis pengadilan, sementara para koruptor kelas kakap masih banyak yang berkeliaran dan tidak tersentuh oleh hukum. Jika kita memang ingin mewujudkan nilai-nilai Pancasila, seharusnya sisi “Keadilan” ini harus berlaku untuk semua orang, dan harus selalu ada keseimbangan antara “Ketuhanan,” “Kemanusiaan,” dan “Keadilan,” bukan hanya satu nilai saja yang dikedepankan.

Membangkitkan Nilai "Kerakyataan"

Terkait nilai “Kerakyatan,” sebenarnya kita bisa melihat apakah aspek pembangunan bangsa Indonesia sudah mencerminkan hal ini. Misalkan dalam segi ekonomi, pembangunan yang diharapkan oleh Pancasila adalah “gotong royong,” dan semangat ini dapat diwujudkan oleh koperasi, sebagai sebuah manifestasi dari ekonomi kerakyatan. Spirit of Entrepreneurship yang sudah tertanam di semua bidang usaha saat ini adalah sebuah kompetisi yang bersifat saling mematikan antara ekonomi besar dan kecil. Ekonomi Pancasila tidak mengagungkan entrepreneurship. Namun, lagi-lagi menjadi sebuah ironi ketika kenyataan berkata bahwa koperasi Indonesia masih jauh ketinggalan di ASEAN. Paling tidak sampai akhir 2011, tidak ada satupun koperasi Indonesia yang masuk dalam jajaran 300 koperasi dunia berskala global, dimana 60 diantaranya adalah koperasi negara ASEAN, tidak termasuk Indonesia. Koperasi Indonesia kalah bersaing dengan koperasi dari Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Bahkan di dalam negeri, mantan Gubernur Jabaw Danny Setiawan mengatakan bahwa koperasi masih kalah bersaing dengan BUMN dan swasta. Sumbangan koperasi terhadap PDB hanya sekitar 2%, sementara BUMN 20% dan swasta mencapai 78%.

Penutup

Pada akhirnya, jika kita sebagai bangsa Indonesia menginginkan sebuah perubahan yang radikal, kita membutuhkan sebuah “revolusi” atau perubahan paradigma. Perubahan yang dibutuhkan adalah perubahan yang dapat membangkitkan karakter bangsa, yang masing-masing telah dijabarkan di dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Tulisan ini memberikan thesis bahwa karakter bangsa Indonesia masih belum terbangun dengan baik karena nilai-nilai Pancasila belum terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Bangsa ini membutuhkan sebuah cara pandang baru untuk membangkitkan karakter-karakter tersebut untuk menjadi sebuah bangsa yang dicita-citakan oleh founding fathers kita. Bangsa ini membutuhkan sebuah “revolusi mental.”

Makalah tersebut dipresentasikan oleh Diaz Hendropriyono pada 3 Oktober 2014 di DPP Partai Hanura

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA