Apa yang dimaksud dengan diskresi

Penyelenggaraan pemerintahan tidak bisa lepas dari sebuah keputusan besar yang diambil. Setiap keputusan yang diambil tentu akan berpengaruh terhadap masyarakat secara luas di negara tersebut. Diskresi menjadi salah satu bentuk keputusan yang sangat memberikan pengaruh.

Mungkin Anda belum terlalu familiar dengan diskresi. Pada dasarnya, istilah ini memang erat kaitannya dengan pengambilan keputusan. Agar bisa memahaminya lebih lanjut, simak ulasannya di bawah ini.


Pengertian Diskresi

Sebelum membahas lebih jauh mengenai diskresi, ada baiknya memahami pengertiannya terlebih dahulu. Diskresi adalah tindakan atau keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintahan untuk menyelesaikan masalah konkret yang dihadapi. 

Adapun persoalan yang dihadapi dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan opsi, tidak mengatur, tidak jelas, tidak lengkap, baik dengan atau tanpa stagnansi dari pemerintah. Pada dasarnya, hal ini merupakan salah satu jenis instrumen yuridis yang diambil pemerintah. 

Pembahasan mengenai diskresi ini memang kerap kali dikaitkan dengan discretion power atau kewenangan bebas. Maksudnya adalah kewenangan ini sebagai salah satu sarana agar pemerintah bisa memiliki ruang bergerak untuk mengambil tindakan tanpa terikan undang-undang.

Kewenangan mengambil kebijakan ini dilakukan guna menyelenggarakan kesejahteraan terkait berbagai macam persoalan. Jadi, keputusan pemerintah ini lebih mengutamakan tujuan yang masih sesuai dengana aturan hukum yang berlaku.

Tujuan Diskresi

Dalam Undang-Undang No. 30/2014 tentang Administrasi Negara disebutkan secara eksplisit bahwa tujuan diskresi adalah:

  • Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan di suatu negara.
  • Mengisi kekosongan hukum mengenai perihal persoalan yang muncul.
  • Memberikan kepastian hukum terhadap masalah yang ada. 
  • Mengatasi stagnansi yang dialami pemerintah dalam keadaan tertentu. 

Jadi, bisa disimpulkan bahwa diskresi memiliki tujuan yang bagus agar pemerintah tegas menghadapi berbagai situasi dan kondisi yang tidak terprediksi. Terlebih ketika dihadapkan pada persoalan yang belum ada bahasan lengkapnya dalan suatu perundang-undangan. 

Syarat Diskresi

Selain tujuan, dalam UU No.30/2014 juga dibahas berbagai syarat yang harus dipenuhi agar diskresi bisa diwujudkan. Berbagai syarat di bawah ini harus dipenuhi agar kebijakan yang diambil bisa membawa kebaikan bagi rakyat banyak. 

Adapun syarat-syarat dari sebuah diskresi adalah sebagai berikut.

  • Kebijakan yang diambil sesuai dengan tujuan diskresi seperti yang terdapat pada UU No.30 tahun 2004.
  • Tidak berlawanan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
  • Keputusan diambil sesuai dengan AAUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik).
  • Kebijakan diputuskan berdasarkan alasan-alasan yang bersifat objektif.
  • Tidak menimbulkan konflik kepentingan pihak tertentu.
  • Keputusan diambil dengan itikad yang baik. 

Tidak hanya wajib memenuhi berbagai macam syarat di atas, diskresi juga harus memenuhi persyaratan lainnya. Terutama seperti yang sudah ditetapkan dalam dasar hukum UU No.30 tahun 2014.

Pada dasarnya, pejabat pemerintah yang menetapkan diskresi harus mendapatkan persetujuan dari pihak atasan. Nantinya, pejabat pemerintah tersebut akan menguraikan substansi, maksud, dan tujuan dari kebijakan yang diambil.

Peran Diskresi dalam Pelayanan Publik

Diskresi juga berhubungan dengan pelayanan publik karena adanya paradigma OPA (Old Public Administration). Sedangkan dikresi mulai diberikan secara luas pada NPM (New Public Mmanagement).

Namun, hal tersebut menimbulkan penyalahgunaan pengambilan kebijakan atau diskresi seara luas. Tak heran jika NPS atau New Public Service tetap dibutuhkan meski sudah dibatasi. Tidak hanya itu, proses ini harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. 

Apabila terdapat diskresi yang diambil tanpa rasa tanggung jawab, maka hal ini bisa merupakan kebablasan. Artinya, hal ini bisa menurunkan kualitas pelayanan publik yang ada di masyarakat.

Berdasarkan ulasan tersebut, bisa disimpulkan bahwa diskresi sangat dibutuhkan pada pelayanan publik di masyarakat. Terutama kaitannya dengan proses pembangunan dan peningkatan kualitas pelayanan yang disediakan. 

Pengujian Terhadap Diskresi

Apakah sebuah diskresi membutuhkan pengujian? Bagi pejabat pemerintah, alat uji atas diskresi sangat penting keberadaannya. Mengingat hal ini akan mempengaruhi hasil akhir dari pengujian yang dilakukan. 

Tindakan atau keputusan yang diambil perlu dinilai apakah masih termasuk kewenangannya atau tidak. Jika ternyata tidak, hal ini bisa disebut sebagai penyalahgunaan wewenang. Pada dasarnya, hal ini mengacu pada tujuan dari dibuatnya diskresi itu sendiri. 

Adapun alat uji dari kebijakan atau diskresi sudah seharusnya menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Tidak hanya itu, keputusan yang diambil harus memenuhi syarat formil dan materil yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Namun, hal ini berbeda jika membahas dasar hukum dalam UU No.30 tahun 2014. Pada undang-undang tersebut, diungkapkan bahwa salah satu syarat yang wajib dipenuhi adalah diskresi “tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan” yang berlaku.

Terlepas dari masalah pengujian diskresi, sangat penting untuk mencantumkannya pada ketentuan peraturan yang berlaku secara eksplisit. Dengan demikian, diskresi yang hendak diambil pun tidak sembarangan.

Contoh Kasus Diskresi

Setelah memahami tentang diskresi di atas, kini Anda bisa memahami contohnya agar lebih mudah. 

Salah satu contoh sederhana dari diskresi adalah seorang polisi lalu lintas yang mengatur arus lalu lintas di suatu jalan raya yang ramai. Nah, hal tentang lalu lintas seperti ini pada dasarnya sudah diatur oleh traffic ligt atau lampu lalu lintas.

Contoh lainnya dari diskresi adalah keputusan dan kebijakan yang sangat dibutuhkan di masa genting. Misalnya seperti situasi saat adanya pandemi Covid-19 yang masih terjadi seperti saat ini. Tak heran jika pemerintah dituntut untuk membuat keputusan secara tepat dan cepat.

Dengan memahami ulasan mengenai diskresi, Anda bisa memahami bahwa kebijakan seperti ini memang akan diambil pejabat pemerintah. Tentunya, dengan masih mempertimbangkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Calon Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Bangka Belitung, Maya Septiani


SHARE

Negara memiliki tujuan dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya (welfare state). Sehingga negara perlu melakukan berbagai hal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Agar pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat berjalan dengan baik, maka urgensitas terkait kualitas pelayanan publik sangatlah besar. Adapun yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik menurut Agus Dwiyanto (2009) adalah salah satunya faktor internal, yaitu kewenangan diskresi.

Diskresi dalam Pelayanan Publik

Diskresi dalam kaitannya dengan pelayanan publik dilatarbelakangi dengan paradigma administrasi publik yang pada mulanya diatur secara terbatas pada paradigma Old Public Administration (OPA). Kemudian, pada New Public Management (NPM) diskresi mulai diberikan secara luas. Namun, terdapat penyalahgunaan akibat adanya diskresi yang diberikan secara luas tersebut sehingga pada paradigma New Public Service (NPS) diskresi tetap dibutuhkan, akan tetapi dibatasi dan harus dilakukan secara bertanggung jawab (Denhardt & Denhardt, 2003). Sehingga apabila diskresi dilakukan secara tidak bertanggung jawab atau "kebablasan" maka akan berakibat pada menurunnya kualitas pelayanan publik.

Secara istilah, diskresi berasal dari kata discretion (Inggris), discretionair (Perancis), freies ermessen (Jerman) yang notabene mutlak dibutuhkan oleh pemerintah dan melekatnya suatu wewenang (inherent aan het bestuur) karena sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan pemerintah terhadap kehidupan sosial dan ekonomi para warga yang semakin komplek. Sedangkan secara definisi, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan (UU Nomor 30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan).

Berdasarkan hal tersebut sejatinya diskresi sangat dibutuhkan pada pelayanan publik terutama dalam percepatan pembangunan dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Namun, hal tersebut menjadi dilema bagi penyelenggara pelayanan publik terlebih dalam mengambil keputusan yang notabene kebijakannya belum diatur. Sehingga menurut Benyamin Hoessen (2011) diskresi didefinisikan sebagai kebebasan pejabat dalam mengambil keputusan berdasarkan pertimbangannya sendiri. Selanjutnya, Gayus T. Lumbuun (2008) mendefinisikan diskresi dalam memperbolehkan kebijakan yang diambil oleh pejabat baik pusat maupun daerah meskipun melanggar undang-undang dengan tiga syarat, yaitu demi kepentingan umum, dalam batas kewenangannya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB). Oleh karena itu, munculnya UU Nomor 30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan merupakan jawaban dari adanya kepastian hukum dalam diskresi. Diskresi pada pelayanan publik dibutuhkan untuk mewujudkan pelayanan publik yang efektif dan efisien.

Adapun contoh diskresi yang notabene sangat dibutuhkan pada masa genting, misalnya pada pandemi Covid-19 bahwa pemerintah perlu untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat dengan memperhatikan anggaran yang telah direncanakan. Meskipun pada dasarnya situasi dan kondisi masa pandemi Covid-19 seperti memberikan shock therapy bagi pemerintah.

Diskresi Rentan Maladministrasi pada Pelayanan Publik

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada dasarnya diskresi sangat baik untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sehingga diskresi dan pelayanan publik tidak dapat terlepas satu sama lain. Namun, hal tersebut perlu menjadi perhatian bagi penyelenggara pelayanan publik untuk memperhatikan aturan-aturan sehingga tidak merujuk pada terjadinya maladministrasi.

Adapun maladministrasi yang cenderung dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik dalam konteks diskresi adalah adanya penyalahgunaan wewenang. Penyalahgunaan wewenang yang merujuk pada tidak diindahkannya kepentingan publik atau menyimpang terhadap kepentingan umum. Adapun contohnya adalah penggunaan diskresi yang diduga melampaui wewenang dan dilakukan pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) baru-baru ini. Keputusan yang 'dianggap' diskresi tersebut menimbulkan beberapa implikasi. Adapun implikasi-implikasi tersebut antara lain berubahnya anggaran daerah namun tidak melampirkan persetujuan tertulis dari Atasan Pejabat atas diskresi yang telah dilakukan. Selain itu, menimbulkan kerugian bagi pihak terkait. Adapun contoh diskresi lainnya yang merujuk pada penyalahgunaan wewenang adalah kasus Bulog dengan merugikan negara sebesar 40 miliar rupiah.

Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa terdapat prosedur yang perlu diperhatikan oleh penyelenggara pelayanan publik dalam melakukan diskresi, yaitu mendapat persetujuan tertulis dari Atasan Pejabat. Terlebih untuk diskresi yang dapat mempengaruhi perubahan alokasi anggaran, menimbulkan keresahan masyarakat, dan untuk keadaan darurat serta mendesak seperti pada bencana alam maupun non alam.

Pada dasarnya UU Nomor 30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan telah mengatur persyaratan diskresi, yaitu sesuai dengan tujuan diskresi pada Pasal 22 (melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, serta mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum), tidak bertentangan dengan aturan, sesuai dengan AUPB, berdasarkan alasan-alasan objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan itikad baik. Sehingga dalam pelaksanaan diskresi perlu memperhatikan prosedur penggunaan diskresi yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral dan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU Nomor 30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Apabila diskresi tidak dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku akan menimbulkan konsekuensi hukum pada diskresi yang menjadi tidak sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 UU Nomor 30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

Peran Ombudsman dalam Mengawasi Diskresi

Berdasarkan latar belakang dibentuknya Ombudsman yang memiliki tugas pokok dalam melakukan pengawasan pada penyelenggaraan pelayanan publik demi mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Selain itu, penegakan prinsip-prinsip good governance akan lebih menjamin penyelenggaraan pelayanan publik yang bersih, transparan, jujur, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kemudian, mendorong adanya partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan sebagai wujud demokratisasi untuk mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan, jabatan, maupun wewenang yang notabene rentan terjadi pada diskresi. Oleh karena itu, pada dasarnya Ombudsman memiliki kewenangan penuh dalam hal mengawasi pelaksanaan diskresi. Adapun bentuk pengawasan tersebut adalah memastikan melalui pemeriksaan apakah dikresi yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik sudah sesuai dengan aturan atau sebaliknya memberikan bukti konkrit terjadinya maladministrasi.


Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA