Apa yang diceritakan dalam puisi Sang perangkai kata

Minggu, 19 Desember 2021 10:33 WIB

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sapardi Djoko Pramono yang kerap dikenal dengan singkatan namanya, yaitu SDD. Beliau lahir pada 20 Maret 1940 di Surakarta. Beliau dikenal sebagai sastrawan Indonesia dengan memiliki banyak karya yang telah dituangkan dalam sebuah buku. Sepanjang perjalanan karirnya, beliau dikenal sebagai perangkai kata sederhana yang mengandung pesan mendalam. Itulah menjadi salah satu alasan karya - karyanya selalu populer di berbagai kalangan. Puisi “Menjenguk Wajah di Kolam” karya Sapardi Djoko Pramono merupakan salah satu puisi yang ada pada buku karya beliau dengan judul “Perihal Gendis”. Didalamnya menceritakan seorang gendis yang sedang beranjak dewasa dan dirundung sepi. Pada buku ini diceritakan bahwa orang tua sang Gendis tengah bercerai sehingga tersisalah Gendis dengan ribuan angannya. Dalam buku tercantum 15 puisi yang terdapat didalamnya, hampir keseluruhan berisi percakapan gendis dengan sesuatu. Mengisyaratkan gendis yang ingin memberitahukan sesuatu kepada gadis yang hanya sendirian di rumahnya, layaknya puisi yang tercantum.

Menjenguk Wajah di Kolam

“Jangan kau ulang lagi

menjenguk

wajah yang merasa

sia-sia, yang putih

yang pasi

itu.

Jangan sekali-

kali membayangkan

Wajahmu sebagai

rembulan.

Ingat,

jangan sekali-

kali. Jangan.

Baik, Tuan.”

Puisi perihal gendis ini merupakan puisi renungan. Dimana gendis merupakan pencerninan siapa saja yang selalu dirundung pertanyaan dalam keheningan. Kemudian akan bertikai dengan pikiran yang selalu bersama dengan segala kehawatiran. Banyak hal menarik dari buku tersebut, buku kumpulan puisi yang menceritakan perjalanan si gendis ini. Bahkan dalam puisi, tercantum layaknya gadis usia awal remaja yang tidak tahu menahu masalah kehidupan yang pelik. Sehingga muncul pertanyaan- pertanyaan mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada sekitarnya. Bertanya pada apa saja yang ia temui, seperti, kolam, dan angannya sendiri. Kehampaan, tergambar dalam setiap bait dalam puisi tersebut. Bahwa sang “Aku” didalam puisi tersebut tengah berangan akan apa yang tidak boleh ia lakukan.

“Jangan kau ulang lagi

menjenguk

wajah yang merasa

sia-sia, yang putih

yang pasi

itu.

Makna yang tercantum pada bait pertama terdapat kalimat “Wajah yang merasa sia-sia, yang putih, yang pasi itu” . Kata “Wajah” merupakan simbol ekspresi seseorang. Wajah yang merasa sia-sia, putih, pasi menandakan ekspresi yang tidak baik yang dirasakan seseorang. Wajah yang pucat biasanya terdapat pada orang-orang yang mengalami rasa sakit, hal ini bisa dilihat dari ekspresi wajah yang lemah dan putih pucat. Pada puisi “Menjenguk Wajah di Kolam” tidak diperbolehkannya melihat wajah yang putih pucat oleh Tuannya bertujuan supaya Gendis melupakan duka yang dialami dan tidak larut dalam kesedihannya. 

“Jangan sekali-

kali membayangkan

Wajahmu sebagai

rembulan.”

Pada bait kedua memiliki makna yaitu Jangan sekali-kali membayangkan wajahmu sebagai rembulan. Terlihat pada kata wajah yang disamakan dengan kata rembulan yang terdapat pada bait. Kata Wajah merupakan simbol ekspresi seseorang, sedangkan rembulan melambangkan gejolak perasaan seseorang yang selalu berubah-ubah. Pada puisi “Menjenguk Wajah di Kolam” menyamakan wajah dengan rembulan berarti orang yang tidak bisa mengontrol emosi, sehingga emosi yang ada dalam dirinya bisa berubah-ubah secara drastis. Hal ini dinilai tidak baik, karena sejatinya sebagai manusia kita harus bisa mengontrol emosi agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Puisi ini memiliki kajian Semiotika merupakan analisis terhadap simbol. Dimana simbol-simbol dalam puisi akan dibedah dan diberi makna dengan alasan yang konkret. Dengan membahas keseluruhan puisi, Puisi Menjenguk Wajah di Kolam ini memiliki banyak sekali simbol. Dimana memusatkan tokoh terhadap Gendis. Seperti yang sudah diceritakan, bahwasannya Gendis adalah gadis muda yang banyak tanya, ingin tahu. Keingin tahuannya terletak pada bagaimana ia dapat hidup dengan benar. Terlihat pada bait yang ditemukan pada kata: 

Ingat,

jangan sekali-

kali. Jangan.

Pada kata “Jangan”, kata ”jangan” merupakan simbol kehati-hatian yang dimana didalam bait puisi kata “jangan” disebut sebanyak 4 kali. 

Jangan sekali-kali membayangkan wajahmu sebagai rembulan. Teelihat pada kata wajah yang disamakan dengan kata rembulan yang terdapat pada bait keempat. Wajah merupakan simbol ekspresi seseorang, sedangkan rembulan melambangkan gejolak perasaan seseorang yang selalu berubah-ubah. Pada puisi “Menjenguk Wajah di Kolam” menyamakan wajah dengan rembulan berarti orang yang tidak bisa mengontrol emosi, sehingga emosi yang ada dalam dirinya bisa berubah-ubah secara drastis. Hal ini dinilai tidak baik, karena sejatinya sebagai manusia kita harus bisa mengontrol emosi agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Oleh : Zazuli Zamzam, S.Pd.SD

SD Negeri 1 Kelapa, Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung

Lingkaran bulan kuning tersenyum di langit Pulau Pinang. Sinarnya berlomba dengan lampu listrik Komplek SEAMEO RECSAM. Tak mampu. Tenaganya seperti hilang. Sungguh berbeda dengan purnama di kampung saya, Desa Mancung, tempat  dilahirkan, dibesarkan, dan mungkin dikebumikan. Sebuah desa kecil di pelosok Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Bagi kami purnama masih berarti. Tenaga purnama jelas kentara mengalahkan empat lampu penerangan jalan yang dipasang dengan jarak teratur agar jalan desa sepanjang dua kilometer terang benderang. Tak mampu. Itu pun kalau listrik tidak padam. Kalau padam?

Kontras dengan purnama di Pulau Pinang, Negeri Penang, Malaysia. Di sini mungkin orang telah melupakan bahwa ada bulan beredar di angkasa raya. Bahwa bulan diciptakan Tuhan untuk menghalau gelapnya malam. Bahwa bulan merupakan satu-satunya satelit bumi. Bahwa bulan dijadikan dasar perhitungan kalender Hijriyah, Jawa, dan China. Penduduk tidak sempat lagi melihat ke langit, sebab sinarnya pun telah gagal menghasilkan bayangan.

Hampir tidak ada bedanya antara siang dengan malam di sini. Kerajaan pun tidak perlu memikirkan keterbatasan suplai listrik. Fenomena “mati lampu” yang kerap terjadi di kampung saya dan mungkin juga terjadi di banyak tempat di Indonesia merupakan kejadian yang amat langka dan mencengangkan di Pulau Pinang. Bahkan saking rutinnya di Indonesia, fenomena “mati lampu” pernah dijadikan rekan guru alumni short course Pembuatan Soal HOTs SD Berbasis USBN, TIMSS, dan PISA di PPPPTK Matematika sebagai stimulus soal HOTs yang berkaitan dengan KPK. Ada-ada saja. Sekilas bagai sebuah humor parodi, namun itulah gambaran faktual yang terjadi di negeri kita tercinta. Bagaimanapun, Indonesia adalah negeri yang sangat layak untuk dicintai. Negara besar yang telah mengirim kami (1.000-an guru) ke luar negeri. Terimakasih Indonesia.

Dari balkon tingkat tiga International House SEAMEO RECSAM kulihat bulan. Purnama. Bertepatan dengan malam kedua belas kami berada di Malaysia. Terlintas di benak saya alunan merdu lagu Semalam di Malaysia yang meledak bersama filmnya di era 70-an. Sekarang pun lagu itu masih tidak lekang dimakan zaman. Saiful Bahri bukan sekedar pencipta lagu, tapi seorang komponis. Tidak semua pencipta lagu merupakan komponis. Lagu Semalam di Malaysia telah melambungkan namanya. Pun melambungkan grup band D’Lloyd. Juga film Semalam di Malaysia meraih penghargaan Festival Film Indonesia 1976 untuk kategori sutradara terbaik (Nico Pelamonia) dan pemeran utama wanita terbaik (Rima Melati).

Terlepas dari pro kontra tentang kenasionalismeannya, Saiful Bahri yang lahir di Sumatera memang seorang komponis. Dia berkontribusi dalam proses penggubahan lagu kebangsaan Malaysia, Negaraku. Dulu, Malaysia tidak lebih maju dari Indonesia. Untuk kepentingan lagu kebangsaannya pun perlu “bantuan” putra Indonesia. Sekarang?

Sekarang justru kami berada di Malaysia. Menjemput ilmu dan pengetahuan untuk menghadapi revolusi industri 4,0. Mengapa harus ke Malaysia? Telah begitu majukah pendidikan Malaysia dibanding kita? Dari segi ketertiban masyarakat, mungkin ya. Dari segi pendapatan per kapita, ya. Dari segi frekuensi terjadinya fenomena “mati lampu”, ya. Dari segi pendidikan, belum tentu. Berdasarkan peringkat Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme for International Student Assesment (PISA) Malaysia tidak sehebat program pariwisatanya.. Bahkan dalam laporan resmi PISA tahun 2015 kita tidak menemukan nama Malaysia di dalamnya. TIMSS 2015 pun sama, sampai rabun pun mata, tetap nama Malaysia tidak ditemukan dalam daftar rangking TIMSS 2015.  Mengapa tidak dikirim saja ke Singapura yang peringkat TIMSS dan PISA-nya berada di level atas?

Kami memang dikirim ke Malaysia, namun kami tidak berguru pada lembaga pendidikan di bawah otoritas penuh Kerajaan Malaysia. Kami ditempatkan di South East Asian Ministers of Education Organization-Regional Centre for Science and Mathematics (SEAMEO-RECSAM) yang kalau diterjemahkan secara bebas berarti “Pusat Sains dan Matematika Regional milik Organisasi Menteri-menteri Pendidikan Asia Tenggara. SEAMEO-RECSAM berdiri 1967, tidak berselang lama dengan ditandatanganinya Deklarasi Bangkok yang menjadi tonggak berdirinya ASEAN. Saya menganggap bahwa SEAMEO-RECSAM merupakan perwujudan kerjasama negara-negara ASEAN di bidang pendidikan. Buktinya di depan markas besar SEAMEO RECSAM berkibar bendera sepuluh negara anggota ASEAN. Berbeda dengan Institut Pendidikan Guru (IPG) Kampus Pulau Pinang yang bertetangga dekat dengan SEAMEO-RECSAM. Di depan IPG hanya berkibar dua bendera, bendera Negeri Penang dan bendera Kerajaan Malaysia Bersatu.

SEAMEO RECSAM memang layak disebut lembaga pendidikan dan pelatihan level internasional. Shortcourse Enhancing Primary Mathematics in STEM Environment yang kami ikuti telah dirancang secara sistematis, sehingga meskipun bahasa pengantarnya Malaysian English berlogat China, Thailand, Jepang, dan India namun kami mampu menyerap materi dan menyelesaikan tugas-tugas kediklatan tepat waktu dan sempurna. Kami dikenalkan dengan berbagai strategi, pendekatan, dan metode terkait Science Technology Engineering Mathematics (STEM) mulai dari Iquiry Basic Learning sampai dengan Heuristic, mulai dari yang bersifat teoritis sampai dengan praktik. Lengkap, tidak satu pun terlewat.

Kegiatan kami selintas memang seperti main-main. Saya contohkan satu, pembuatan prototipe dome paling efisien. Disediakan banyak sekali bahan mulai dari lidi, stik, kertas, gunting dan stapler sampai dengan tiga jenis lem. Bahan apa pun boleh digunakan asal memenuhi ketentuan bahwa tinggi prototipe dome harus lebih dari 30 cm. Setiap kelompok harus mempresentasikan hasil kerjanya dengan memaparkan beberapa kelebihan prototipe yang telah dibuat.

Memang seperti main-main, tapi itu adalah praktik dari Problem Based Learning yang bermuatan STEM. Berlatar satu masalah yang hanya dapat diselesaikan dengan melibatkan STEM. Luar biasa. Gambaran tentang STEM yang dulu masih abu-abu dan kabur, sekarang menjadi jelas dan berwarna. Warna yang juga tergambar dari latar belakang kami, 26 dari 1000-an guru dan tenaga kependidikan yang dikirim ke luar negeri.

Dari Widyaiswara PPPPTK Matematika ada Pak Agus Suharjana, Pak Sigit Tri Guntoro, dan Ibu Arfianti Lababa. Selain mengikuti seluruh proses kediklatan di sini mereka bertiga tentu saja merupakan kepanjangan tangan PPPPTK Matematika yang tugasnya memantau, mengarahkan, dan mengontrol kami agar tidak keluar dari pakem-pakem yang telah disepakati sebelumnya. Ibu Lababa bertugas di bidang souvenir, baik yang dibawa dari Indonesia maupun yang akan dibawa ke Indonesia. Beliaulah yang memilah-milah souvenir agar cocok dengan orang yang diberikan. Tentu sangat tidak pas kalau yang laki-laki diberi kalung mutiara dari Lombok misalnya.

Pak Agus punya keahlian di bidang filsafat. Hampir setiap pagi sebelum kegiatan dilaksanakan beliau merilis satu filosofi. Bagi Pak Agus semua bidang dan persoalan ada filosofinya, termasuk matematika. Ada filosofi bilangan negatif, ada filosofi perkalian dasar, ada filosofi bangun ruang, dan ada juga filosofi lima jari. Jika Pak Agus diberi kesempatan berfilsafat setiap hari satu kali maka waktu seribu tahun pun belum cukup untuk menghabiskan seluruh filsafat yang telah dikuasai Pak Agus.

Pak Sigit keahliannya di bidang humor. Pernah suatu kali Pak Sigit bertanya, “mengapa ya guru-guru kita banyak terkena penyakit kulit?”

“Penyakit kulit apa, Pak?” tanya balik Pak Agus.

“Itu lho… iritasi. Irit…asi.” Semua yang mendengar langsung tertawa. Kami sadar bahwa semua kami terkena penyakit itu. Selama di sini konsumsi memang disediakan SEAMEO RECSAM, kecuali makan malam. Jatah makan malam diganti dengan uang RM10. Nah, saat membeli makan malam itulah penyakit “iritasi” mewabah. Semua orang berupaya membeli makanan sebanyak-banyaknya namun harus kurang dari RM10. Saking iritnya, bahkan ada kawan yang rela tidak makan malam. Hehehe…

Menurut Pak Agus irit justru dianjurkan, sebab irit menandakan bahwa yang bersangkutan telah menguasai matematika. Irit berarti perhitungannya matang. Beda dengan kikir. Kikir diperbolehkan oleh matematika namun dilarang oleh agama.

Dalam jajaran guru SMP ada Pak Muhammad Suhadak dari Kabupaten Biak, Papua. Beliau mengaku sebagai putra asli Papua, namun lahir di Jawa. Kok bisa? Pak Suhadak diangkat secara aklamasi menjadi ketua kelas (the monitor) bukan karena paling tua, tapi karena penghargaan atas dedikasi dan loyalitasnya sebagai guru yang sejak diangkat bertekad untuk mengabdi di Tanah Papua, provinsi paling timur Indonesia. Untuk sampai ke Jakarta saja harus dua kali transit. Beliaulah yang paling banyak menghabiskan uang negara dalam program ini. Hitung saja berapa tiketnya pulang pergi, hehehe…

Berikutnya ada Pak M. Amiri yang mengaku sebagai guru yang paling ditakuti di grup ini. Kami terkejut mengingat posturnya tidak mencerminkan semua itu. Tidak ada rumus manapun yang berkorelasi dengan pendapat itu kecuali satu hal bahwa beliau berasal dari Kabupaten “Seram” Bagian Timur, Maluku. Beliau juga seorang guru matematika yang sangat matematis. Saking matematisnya beliau pernah mengingatkan isterinya yang berat badannya terus bertambah. Saat itu berat badan isterinya 78 kg. Katanya, “Sayang, jika berat badanmu bertambah 2 kg lagi, maka akan saya tukar dengan yang 40 kg, biar dapat dua.”

Hahaha…. Pak Taufik Novantoro yang merupakan kontingen dari Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah langsung terbahak mendengar guyonan Pak Amiri. Sungguh lucu. Pak Taufik yang “Sukamara” pun terbahak. Pak Taufik adalah guru yang banyak berkiprah di kampungnya, tidak hanya di bidang pendidikan, namun hampir semua bidang termasuk bidang perkebunan, peternakan, dan bahkan membantu urusan nikah-cerai. Namun beliau dikirim ke sini bukan karena hal itu, tapi karena namanya mirip dengan Acting Director SEAMEO RECSAM Mr. Taufek Muhammad. Begitu katanya.

Dari Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan muncul nama Pak Hadi Purwandi yang pernah ke Australia untuk melakukan studi banding tentang Pendidikan Luar Sekolah. Bersama istrinya beliau membuka lembaga kursus berbiaya murah bagi anak SD dan SMP di daerahnya. Posturnya lebih mirip ustadz dibanding guru matematika. Bahkan saking low profile-nya ada kawan yang berkomentar bahwa kaki kanan Pak Hadi sudah berada di surga, tapi kiki kirinya …? Ada-ada saja, hehehe…

Ada Pak Gunanto dari Lampung yang sekilas posturnya tampak gagah dan serius menggambarkan prototipe guru matematika yang banyak diceritakan dalam novel remaja era Dilan 91. Ternyata Pak Gunanto tidak seperti itu. Komentar-komentar lucu namun berisi sering terlontar darinya. Serius tapi santai atau kebalikannya.

Pak Tundung Memolo dari Jawa Tengah memiliki nama yang unik. Kata kawan yang paham bahasa Jawa kita tidak boleh memanggil namanya dengan Pak Tundung atau Pak Memolo. Harus Lengkap, Pak Tundung Memolo. Yang paham bahasa Jawa pasti langsung tersenyum dan yang tidak paham, ya bertanyalah pada orang yang paham. Hehehe …

Guru SMP dari barisan emak-emak antara lain Ibu Masrita Gani (Sulawesi Selatan), Ibu Arlina (Sulawesi Selatan), Ibu Ida Maryamah (Banten), dan Ibu Laila Wulandari (Jawa Tengah). Tidak banyak yang dapat diceritakan tentang mereka berempat, bukan karena tidak pernah berkomunikasi dan berkolaborasi ataupun ketiadaan informasi namun karena mereka bukan muhrim, hehehe… Tapi tak apalah, sedikit saja.

Tahukah berapa jenis huruf yang ada dalam microsoft office 2010? Banyak yang tidak tahu, begitu pun Ibu Laila, namun tulisan tangannya lebih indah dari microsoft office.  Hebatnya lagi, beliau dapat meniru seluruh bentuk hurufnya mulai dari calibri dan cambria sampai dengan yu mincho light. Tidak percaya? Berarti belum kenal dengan Bu Lalila, eh, Laila. Beda dengan Ibu Laila yang cenderung pendiam, Ibu Ida terkenal dengan alunan lembut suaranya yang mirip dalam sinetron Tukang Ojek Pengkolan, bahkan saking lembut alunannya justru yang terdengar adalah semacam kesengauan level tinggi. Setiap kata hampir mirip dengan tangisan. Meskipun begitu, beliau adalah juruhubung dengan pedagang souvenir di pasar Georgetown, Pulau Pinang sehingga untuk membeli souvenir bagi kerabat di tanah air kami cukup pesan ke Ibu Ida dan barangnya akan diantar pedagang langsung ke asrama. Terimakasih Ibu Ida.

Ibu Masrita dan Ibu Arlina memiliki keunikan tersendiri. Saat berbicara dalam bahasa Indonesia mereka tidak dapat menghilangkan logat daerah asalanya. Tapi, saat berbahasa Inggris dalam ruang kelas, semua logat daerah itu hilang entah kemana, yang ada hanya American English. Fasih. Aneh, kan?

Itu guru SMP dan ini guru SD. Jumlahnya 13 orang. Tiga di antaranya adalah puan (puan merupakan panggilan bagi perempuan yang sudah menikah di Malaysia) yang masing-masing punya kelebihan. Cahaya mata ketiganya memancarkan sinar kecerdasan yang tergambar dalam kinerja yang cepat dan tidak cengeng. Kekuatan fisiknya hampir tak berbeda dengan kami yang lelaki. Ada Ibu Ernawati Setyo Nugraheni dari Jawa Tengah dan Ibu Theresia Sri Rahayu dari Nusa Tenggara Timur yang bahasa Inggrisnya sefasih Ratu Elisabeth. Jika hanya mendengar suaranya saja maka kita tidak yakin kalau mereka orang Indonesia. Juga tidak percaya? Tak apa, tidak ada paksaan bagi siapapun untuk mempercayai hal itu, namun kami semua mengakuinya.

Lain lagi dengan Ibu Jamila K. Baderan dari Gorontalo yang saat di kelas sering diam dan tampak kalem. Tidak diketahui, beliau memang pendiam atau lagi mengantuk. Punya bakat besar di bidang puisi. Bersama Pak Hardani dari Jawa Timur mereka merencanakan akan menerbitkan buku antologi puisi yang diberi judul Puisi Matematis. Jadi, setelah menyelesaikan tugas jurnal belajar harian, mereka masing-masing membuat lima puisi sehingga kuota 100 puisi yang disarankan Pak Mahrani dari Pontianak terpenuhi. Ibu Jamila dan Pak Hardani memiliki karakter yang hampir mirip. Jarang bicara, namun sering senyum. Apa memang begitukah style para pujangga?

Nama lengkapnya Mahrani, M.Pd. Masih Perlu Duit, begitu katanya. Sebelum bertemu orangnya, banyak yang menyangka Mahrani seorang perempuan, padahal lelaki tulen. Jika kita sempat membuka laman ISBN Perpustakaan Nasional maka kita akan menemukan bahwa nama Pak Mahrani sudah lama bertaburan di dalamnya sebagai pengarang dan editor buku. Keterampilannya menulis tidak perlu diragukan lagi, dia punggawa di Forum Indonesia Menulis. Di tahun 2017 saja dia berhasil mencetak 7 buku yang beberapa di antaranya menjadi best seller hingga menghasilkan uang ratusan juta rupiah. Keren.

Di International House SEAMO RECSAM Pak Mahrani menempati kamar yang sama dengan Pak Dana Sundana dari Kepulauan Riau. Mereka sudah saling kenal sebelumnya. Pak Dana seorang guru aktif yang sering mengikuti kegiatan di PPPPTK Matematika dan kegiatan lain berskala nasional. Di sana lah mereka bertemu dan jadi akrab.

Masih seprovinsi dengan Pak Mahrani namun beda tempat tugas, Pak Nurlyanto. Jika Pak Mahrani bertugas di ibukota provinsi, maka Pak Nurlyaanto bertugas di pelosok terdalam Kalimantan yang terbebas dari listrik dan sinyal 4G. Pada saat diadakan wawancara videocall dari PPPPTK Matematika beliau perlu waktu 3 jam untuk mencari tempat yang ada sinyalnya. Beliau merupakan guru termuda dalam rombongan kami, namun prestasinya melebihi usianya. Dalam blog pribadinya kita dapat melihat bahwa beliau memang sangat layak menyandang gelar “guru hebat”.

Hebatnya lagi grup ini, setiap orang pasti telah kenal beberapa orang sebelumnya. Sebagai contoh, Pak Sigit sudah akrab dengan Pak Agus dan Ibu Lababa jauh sebelum kegiatan ini diadakan. Tentunya Pak Agus pun sudah akrab juga dengan Pak Sigit dan Ibu Lababa. Kalau tidak, tentu aneh, sebab mereka bertiga WI PPPPTK Matematika, hehehe…

Contoh ril lainnya, Pak Amiri sudah kenal Ibu Ida sebelumnya, bukan sebagai pacar, tapi sebagai sesama peserta dalam kegiatan PPPPTK Matematika (hindari suudzon). Saya juga telah kenal beberapa orang sebelumnya yaitu Pak Sigit, Pak Dana, dan Pak Yasri. Tentu saja bukan sebagai pacar.

Pak Yasri Nur Bakhtiar dari Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara memiliki ciri khas selama di Malaysia. Saban sore selepas kegiatan kediklatan beliau langsung menuju fitness centre. Hebat lho, SEAMEO RECSAM punya fitness centre. Meskipun tiap sore berlatih, namun tidak ada perubahan berarti pada struktur otot Pak Yasri. Rupanya ada tiga hal yang membuat beliau betah di fitness centre, salah satunya karena di sana ada mesin cucinya, hehehe… Dua alasan lainnnya tidak perlu diceritakan.

Guru hebat lainnya adalah Pak Anang Susanto dari DI Yogyakarta. Jabatannya di grup ini adalah sekretaris bersama Pak Amiri. Tugas mereka adalah mengumpulkan dan mengedit resume harian yang dikirim teman-teman setiap hari, kemudian disusun menjadi Laporan Kelompok. Itu merupakan hal gampang bagi Pak Anang. “No problem,” begitu katanya, “it’s soo easy”. Bahasa Inggrisnya memang fasih, bahkan yang paling fasih di antara kami. Saking fasihnya sampai-sampai Pak Anang tidak dapat lagi melafalkan huruf “r” dengan benar dalam bahasa Indonesia dan Jawa.

Di sini Pak Anang satu kamar dengan Pak Praja Mulyantoro yang juga dari DI Yogyakarta. Hobinya bermain bulutangkis. Hampir semua pembicaraannya dikaitkan dengan bulutangkis. Beliau mengaku pernah menjadi juara bulutangkis di tingkat nasional. (Pasti bukan PON apalagi Asian Games, mungkin dalam rangka HUT KORPRI, HUT PGRI, HUT IGI, dan perayaan HUT lainnya, hehehe…). Saking hobinya dengan bulutangkis, saat Pak Praja berhasil mengajak turis Eropa berfoto dalam suatu kegiatan outdoor study kami, foto itu buru-buru di-share ke grup WA dengan caption “Ganda Campuran Indonesia-Belgia”. Apa hubungannya ya?

Pak Praja bertetangga kamar dengan Pak Samsul Fahrozi dari Nusa Tenggara Barat, Duta Rumah Belajar Kemdikbud. Guru yang satu ini memang agennya Kemdikbud. Hampir semua bajunya bermerk “kemdikbud”. Jangan-jangan hp dan laptopnya pun bermerk kemdikbud. Hehehe … Kemanapun pergi, Pak Fahrozi pasti membawa tripodnya. Tujuannya bukan untuk gaya-gayaan, tapi memang diperlukan dalam kegiatan ini. Setiap kegiatan harus kami dokumentasikan dalam bentuk tulisan, foto, dan video. Bersama Pak Yasri beliau bertugas sebagai jurufoto dan juruvideo. Gara-gara tugas itu kemana pun kami pergi merekalah yang tampak selalu kerepotan karena menenteng kamera dan tripod.

Saya sekamar dengan Pak Alphian Sahruddin dari Kota Makassar, Sulawei Selatan. Meskipun sekamar namun kami hidup di dua alam berbeda. Beliau harus makan pagi (bila tak makan badannya gemetar), saya tidak. Saya harus makan malam (kalau tidak makan lapar), namun beliau tidak. Saya tidur larut malam, beliau tidak. Dia suka di dalam kamar, saya tidak. Dia suka menulis, saya tidak. Setiap malam, jika tugas kediklatan telah selesai, beliau segera beraksi. Rencananya beliau akan menerbitkan satu buku yang berkisah tentang kegiatan selama di Malaysia. Judulnya kira-kira “Riwayat 21 Hari”. Saiful Bahri saja kalah. Saiful Bahri hanya berani “Semalam di Malaysia”, Pak Alphian malah 21 hari. Memang beliau telah banyak merilis buku sebelum ini yang semuanya terkait dengan pendidikan.

Besok kami akan menuju ke Sekolah Kebangsaan Bukit Lanchang (setingkat SD) dan Sekolah Menengah Kebangsaan Bukit Lanchang (setingkat SMP dan SMA) guna melaksanakan school try out  (praktik mengajar) yang berbasis STEM. Kami terbagi menjadi 6 kelompok. Tiga kelompok guru SD dan tiga kelompok guru SMP. Dari jajaran guru SMP yang akan tampil adalah Pak Gunanto, Pak Tundung Memolo dan Pak Amiri. Sementara guru SD “dibebankan” kepada Pak Anang, Pak Samsul, dan Ibu Erna. Guru yang lain bertindak sebagai crew jika kelompoknya tampil dan sebagai observer saat kelompok lain yang berpraktik.

Hebat. Tanpa observasi sebelumnya (bahkan observasi tidak diperbolehkan fasilitator), tanpa mengenal medan, dan bahkan lokasinya pun belum diketahui Tim Indonesia akan praktik di negeri orang. Benar-benar pemberani. Suatu peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Apakah kami ragu? Tidak. Kami bukan hanya percaya, namun sudah yakin,  bahwa school try out akan berjalan lancar dan sukses. Kami adalah guru yang dikirim PPPPTK Matematika, dan PPPPTK Matematika tidak sekedar tunjuk dan pilih dengan strategi “tebak buah manggis”, namun ada beberapa kriteria penting yang harus terpenuhi kemudian dibuat perangkingan. Bukan seleksi “kaleng-kaleng” (meminjam istilah Maell Lee).

Seperti yang ditulis Pak Mahrani dalam puisi narasinya yang menyentuh bahwa “mereka bukan tanpa bekal sebelumnya” mengindikasikan bahwa tim ini tidak beranggotakan “anak kemarin sore”. Saya sependapat dengan Pak Mahrani bahwa tim ini memang terdiri dari orang-orang hebat yang dipilih oleh lembaga hebat. Bergabung dalam tim ini merupakan anugerah yang sangat layak untuk disyukuri. Banyak cerita dan kisah tentang “kesaktian” anggota tim ini yang jika saya tuliskan semuanya maka akan menghasilkan buku yang jauh lebih tebal dari triloginya Laskar Pelangi.

Saya sangat bersyukur telah tergabung dalam tim ini. Banyak hal penting yang telah saya pelajari yang tak dapat dilukiskan dengan sekedar kata-kata. Terimakasih.

International House SEAMEO RECSAM,  21 Maret 2019

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA