Apa dampak bagi indonesia akibat kebijakan tersebut

Jogja, dprd-diy.go.id – Kondisi pandemi Covid-19 yang tidak kunjung menurun memberi dampak amat besar pada sektor ekonomi di Indonesia.

Dr. R. Stevanus C. Handoko S.Kom., MM anggota DPRD DIY yang juga menjadi pengamat kebijakan publik dan pelaku bisnis, menyampaikan minimal ada 5 dampak besar pandemi Covid-19 bagi perekonomian nasional.

Dampak yang pertama yang sangat terasa dan mudah sekali dilihat adalah melemahnya konsumsi rumah tangga atau melemahnya daya beli masyarakat secara luas.

Hingga saat ini, masyarakat mengalami penurunan daya beli yang sangat signifikan. PPKM yang terus berlanjut dengan berbagai aturan pengetatan menghambat masyarakat untuk beraktifitas ekonomi.

Regulasi pengetatan diberbagai sektor dari aturan PPKM memberikan pengaruh terhadap naik turunnya sektor ekonomi.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diharapkan mampu memberikan terobosan untuk dapat memberikan solusi agar kemampuan daya beli masyarakat tetap dapat bertahan.

Dampak kedua yang sangat terlihat di DIY sebagai bagian tidak terpisahkan dari ekonomi nasional adalah menurunnya angka Investasi diberbagai sektor usaha.

Ketidakpastian akibat pandemic mengakibatkan banyak masyarakat ragu untuk memulai investasi, pengusaha pun demikian. Ada keraguan apakah investasi yang dilakukan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.

Keraguan berinvestasi mengakibatkan dunia usaha tidak bergerak seperti yang diharapkan.

Investasi di sektor pariwisata, hiburan,seni budaya, travel, transportasi kuliner yang dahulu cukup ramai diminati di DIY saat ini turun sangat drastis. Di tambah PPKM yang membatasi pergerakan di berbagai destinasi wisata. Sebagai contoh kecil runtuhnya investasi usaha dikala pandemik.

Dampak ketiga adalah pelemahan ekonomi daerah dan nasional. Penurunan penerimaan pajak, perlambatan pertumbuhan ekonomi menjadi tantangan bagi pemerintah daerah dan nasional dikala pandemic.

Tekanan penerimaan sektor pajak mempengaruhi pendapatan yang diterima pemerintah sehingga cukup menghampat pendanaan program yang sudah direncanakan. Kondisi pandemic yang menuntut adanya pembatasan mobilitas dan aktivitas mendorong juga adanya realokasi anggaran dan refocusing anggaran selain didasari adanya tekanan pendapatan yang tidak sesuai dengan proyeksi sebelumnya.

Dampak keempat adalah pergeseran pola bisnis dan penerapan bisnis model yang tidak biasa.
Pembatasan akses mobilitas masyarakat untuk bertemu dalam berbagai kegiatan termasuk didalamnya kegiatan bisnis/ekonomi mengakibatkan tumbuhnya pergeseran bisnis model yang ada saat ini. Shifting ekonomi konvensional yang dahulu diprediksikan masih membutuhkan waktu untuk implementasi dimasyarakat ternyata dalam kondisi pandemik seperti saat ini, semua pihak dituntut untuk beradaptasi dengan bisnis model yang baru.

Dampak kelima yang cukup signifikan adalah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Pandemik covid-19 mendorong semua orang untuk tidak lagi beraktivitas secara konvensional. Pembatasan pertemuan, pembatasan aktivitas berkerumun menjadi pemicu perlu adanya inovasi dengan pemanfaatan teknologi.

Teknologi informasi dan komunikasi menjadi jembatan bagi semua pihak untuk terus dapat bertahan dalam berbagai kondisi.

Adaptasi dan implementasi teknologi informasi dan komunikasi di sektor ekonomi sudah tidak bisa dihindari. Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi tidak hanya dimonopoli oleh kalangan tertentu atau pengusaha kelas atas, namun sudah menjadi kebutuhan semua kalangan saat ini.

Namun demikian, menjadi hambatan bagi para pelaku bisnis yang belum mampu beradaptasi dan mengimplementasi teknologi informasi dan komunikasi dalam bisnis nya.

Hambatan secara teknis maupun hal lain menjadi tantangan bagi setiap pelaku bisnis disetiap level untuk tetap bertahan dalam kondisi pandemik.

Pemerintah daerah dan Pemerintah pusat perlu menyadari kondisi real yang terjadi di masyarakat. Pemerintah perlu hadir dan memberikan terobosan dan bantuan agar dampak effect pandemik covid-19 di sektor ekonomi tidak terus berlanjuta dan semakin mempengaruhi secara negative kehidupan masyarakat secara luas.

Regulasi yang memudahkan dan membuka kesempatan yang luas dibutuhkan masyarakat.

Sumber: //www.beritayogya.com/dr-stevanus-5-dampak-besar-pandemik-di-sektor-ekonomi/

Keterangan gambar,

Status negara maju Indonesia di mata AS diyakini bakal berdampak pada keringanan bea masuk barang impor dari Indonesia ke negara itu.

Kantor perwakilan dagang Amerika Serikat di Badan Perdagangan Dunia (WTO) sejak pekan lalu menyebut Indonesia berstatus negara maju, bukan lagi negara berkembang.

Status baru Indonesia di mata AS itu dianggap tak berbasis realitas di lapangan.

Sementara kelompok pengusaha yakin keringanan bea masuk akan tetap ada untuk bisnis ekspor mereka ke AS.

Di sisi lain, pemerintah belum mengeluarkan satu pernyataan resmi terkait status Indonesia di mata AS di WTO.

Kepala Badan Perencanaan Nasional, Suharso Monoarfa, berharap Indonesia tetap mendapatkan tarif rendah.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengklaim akan membahas status baru itu dengan pemerintah AS.

Ekonom di Institute For Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati, menilai secara makro Indonesia memang bisa dikategorikan sebagai negara maju.

Indikatornya, kata Enny, Indonesia merupakan anggota G20 atau kelompok negara dengan perekonomian besar di dunia.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun dalam beberapa tahun terakhir berada di kisaran 5%.

Meski begitu, menurut Enny pembangunan Indonesia tidak merata. Dampak positif sebagai negara maju disebutnya hanya dinikmati segelintir kalangan.

"Yang menikmati kue pembangunan tidak rata, hanya terkonsentrasi ke 1% penduduk. Jadi status negara maju itu bias," kata Enny via telepon, Senin (24/02).

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

Walau berstatus anggota G20, pertumbuhan ekonomi Indonesia disebut tidak merata.

Sayangnya, tak cuma bias, kata Enny, konsekuensi negatif status Indonesia sebagai negara maju kini harus ditanggung banyak kelompok penduduk.

Enny memprediksi Indonesia bakal kehilangan fasilitas bea masuk ringan untuk ekspor produk ke AS yang kerap disebut sebagai Generlizes System of Preferences (GSP).

"Saat diberikan status negara maju, kita kehilangan fasilitas untuk negara berkembang."

"Memang fasilitas GSP dari AS tidak dimanfaatkan Indonesia karena sebagian besar komoditas ekspor kita tidak termasuk yang mendapat fasilitas GSP. Tapi saat Vietnam masih mendapatkan fasilitas itu, barang-barang Indonesia jadi tidak kompetitif," tuturnya.

Pendapat berbeda diutarakan Shinta Kamdani, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN).

Ia yakin status baru Indonesia di mata AS tidak akan menghapus fasilitas keringanan bea masuk barang impor.

"GSP (Generalized System of Preferences atau sistem tarif preferensial, terkait tarif untuk berbagai produk) tidak akan terpengaruh. Itu akan tetap berjalan. Peningkatan status itu hanya berhubungan dengan WTO," kata Shinta.

"Ini mencakup penyidikan, batas toleransi subsidi yang mereka berikan. Dalam undang-undang di AS ada pembedaan batas toleransi subsidi untuk negara yang berdagang dengan AS."

"Sebagai negara berkembang Indonesia diberi toleransi 2%, sebagai negara maju lebih rendah sekitar 1%. Jadi ini hubungannya hanya dengan WTO, tidak ada kaitan dengan GSP," ujar Shinta.

Keterangan gambar,

Seorang pekerja memproses kacang soya impor dari AS menjadi tempe di Malang. Kemudahan dari pemerintah bagi produk impor AS disebut vital sebagai balasan keringanan bea masuk barang Indonesia ke negara itu.

Isu penghapusan keringanan bea masuk untuk produk Indonesia ke AS ramai diperbincangan sejak 2018.

Shinta berharap, pemerintah terus bernegosiasi dengan AS agar fasilitas itu tetap bisa dirasakan pengusaha Indonesia.

Menurutnya, kemudahan untuk pebisnis AS yang hendak mengekspor barang ke Indonesia merupakan tawaran yang seimbang dengan fasilitas GSP.

"Indonesia harus beri akses untuk produk AS yang masuk, produk holtikultura mereka yang sekarang masalah," tuturnya.

"Yang paling penting adalah mempertahankan GSP. Walau total ekspor ke AS US$1,8 miliar dari total keseluruhan eskpor yang mencapai US$14 miliar, kami ingin pertahankan itu.

"Pemerintah harus memastikan fasilitas itu tetap berjalan karena bisa menego kebijakan itu pemerintah," kata Shinta.

Keterangan gambar,

Pemerintah menyebut akan berdialog dengan AS terkait dampak status negara maju yang mereka lekatkan kepada Indonesia di WTO.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, berkata Indonesia tidak perlu khawatir merugi akibat status baru sebagai negara maju di mata AS.

Airlangga berencana membincangkan ini dengan AS secara langsung.

Kalaupun harga produk Indonesia yang masuk ke AS meningkat, ia yakin barang itu tetap laku karena memiliki daya saing.

"Justru kita berbangga, kita kan G20, kita sekarang ekonomi 15-16. Dan kita purchasing power parity kita nomor tujuh. Masa dianggap berkembang?" kata Airlangga di kepada pers di Jakarta, Senin (24/02).

"Kita kadang-kadang sudah maju tapi nggak mau maju."

"Kalau biaya ekspor impor ada nanti perjanjian yang sedang diproses itu bisa diselesaikan bilateral. Kami optimis. Kita punya GSP hanya 20%," tuturnya.

Bukan hanya Indonesia, AS pada saat yang sama juga memberikan status negara maju di WTO kepada China, Brasil, India, dan Afrika Selatan.

Berbeda dengan pandangan AS terhadap status Indonesia di WTO, Dana Moneter Internasional (IMF) masih menganggap Indonesia sebagai negara berkembang.

China, Brasil, India, dan Afrika Selatan pun menyandang status negara berkembang di mata IMF.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA